by

Dana Politik Ala Prabowo

Bahkan maling itu kadang membentuk kartel untuk mengontrol memperbesar kekuatan tawar menawar mereka. Kadang mereka dikuasai oleh orang kuat yang didukung sanak keluarganya. Nepotisme tumbuh subur di dalam demokrasi. Bapak mantan bupati, ibu jadi bupati, anak ketua DPRD. Itu soal biasa. Tepatnya, kita menganggapnya sebagai hal biasa.

Kemudian, muncul tawaran: Mengapa bukan orang kuat model Suharto dulu? Seingat saya, tawaran inilah yang sebelum ini muncul dari Prabowo Subianto. Dia memproyeksikan diri sebagai pemimpin yang kuat, tegas, tanpa tedeng aling-aling. Banyak orang ngeri membayangkan kemungkinan dia menjadi presiden (termasuk saya).

Masalahnya dengan orang kuat, seperti yang kita saksikan pada Suharto adalah dia tidak bisa dikontrol. Dia sesungguhnya tidak berbeda dengan oligarkh-oligarkh yang banyak kita jumpai sekarang ini menjadi penguasa-penguasa lokal. Lebih buruk lagi, memperkaya dirinya dan keluarganya tanpa ada yang bisa mengontrol. Hingga sekarang pun kekayaan itu masih bisa dipakai oleh anak-anaknya untuk membangun partai keluarga.

Demokrasi membutuhkan partisipasi. Dan, partisipasi akan membuat kedua belah pihak – baik yang dipilih maupun yang memilih – merasa terikat dalam tanggungjawab. Jika Anda memilih sesuai apa yang Anda pikir baik, maka ditengah jalan Anda berhak menuntut orang yang Anda pilih kalau dia Anda rasa menyeleweng. Tidak demikian halnya jika Anda membiarkan suara Anda dibeli dengan sepuluh bungkus IndoMie.

Persis ketika Anda menerima pemberian itu, Anda memberikan cek kosong kepada orang yang Anda pilih. Anda tidak berhak menuntut apapun dari dia karena Anda sudah dibayar lunas ketika menaikkan dia.

Akan lebih baik, kalau orang yang Anda pilih itu maju bertarung dalam pemilihan atas beaya Anda. Sekarang ini pun banyak orang bertarung di pemilu dengan beaya orang lain. Bedanya, mereka maju dengan dukungan segelintir penguasa uang yang luar biasa kuat. Ketika berkuasa, mereka inilah yang oleh Prabowo disebut sebagai ‘parasit’ itu.

Demokrasi adalah partisipasi. Namun bukan melulu partisipasi individu. Demokrasi adalah tindakan kolektif untuk memajukan kepentingan bersama. Oleh karena itu, demokrasi tidak hanya membutuhkan dukungan suara Anda, tetapi juga sumberdaya Anda (uang dan tenaga), dan juga pikiran Anda (deliberation).

Sekali lagi, langkah Prabowo ini patut diapresiasi. Kabarnya, satu hari pertama saja, dia sudah berhasil mengumpulkan Rp 88 juta. Cukupkah jumlah itu? Sangat jauh. Saya mendengar bahwa untuk menjadi bupati di daerah miskin saja butuh Rp 5 milyar.

Selain itu, seperti di Amerika Serikat, pengumpulan donasi kecil ini beayanya sangat besar. Pihak yang mau menggalang dana ini harus melakukan kampanye penggalangan dana. Kampanye ini sendiri membutuhkan dana sangat besar. Ada estimasi bahwa kampanye untuk menggalang dana ini pengeluarannya sebesar 60-70% dari dana yang berhasil digalang.

Namun mengapa politisi di Amerika mau melakukannya? Yang dipentingkan dalam donasi kecil itu bukan jumlah yang berhasil digalang. Namun data dari pemberi donasi. Hampir pasti mereka untuk menyumbang mereka harus melampirkan email, nomor telpon, atau alamat rumah mereka, yang akan dikirimi tanda terima. Semua alamat inilah yang penting. Dengan alamat itu, saluran komunikasi dibuka.

Sekali Anda memberikan sumbangan, maka Anda akan menerima permintaan sumbangan (solicitation) terus menerus. Ada saja cara untuk membangkitkan gairah (passion) Anda untuk menyumbang. Satu peristiwa atau ujaran dari lawan politik yang diperkirakan akan membuat Anda marah akan diikuti dengan permintaan sumbangan. Seperti misalnya, kebijakan “zero tolerance’ dalam imigrasi yang dilakukan Trump, yang memisahkan anak-anak dari orangtuanya, hampir pasti politisi dari partai Demokrat akan mengirim email dan surat yang isinya: sekaranglah waktunya menyumbang untuk mengalahkan kebijakan setan dari Trump.

Dengan memperhatikan bagaimana rumitnya pengumpulan donasi kecil ini berjalan (membutuhkan investasi dalam teknologi yang relatif mahal), kita boleh mempertanyakan apa yang sesungguhnya menjadi motivasi Prabowo.

Kalau saya boleh berspekulasi, tindakan ini tidak lebih dari sebuah ‘political gimmick” yang bertujuan menarik perhatian. Jika pun lima juta followers Prabowo di Facebook memberikan Rp 20 ribu seorang maka akan terkumpul uang Rp 100 milyar. Itu cukup membeayai 50 bupati di daerah miskin! Atau, mungkin hanya cukup untuk membeayai pemilihan gubernur di Bali. Pilgub di daerah besar seperti Jawa Timur konon butuh lebih dari Rp 500 milyar.

Sekali pun demikian, saya berharap langkah ini ditiru oleh politisi lain. Menurut saya, politisi selain didukung rakyat juga harus dibeayai pemilih. Adalah sebuah skandal, jika sebagai politisi Anda mendapat jabatan dari membeli suara pemilih dengan memakai uang dari pengijon politik Anda. Namun itulah yang terjadi di Indonesia sekarang ini. Demokrasi ini rusak karena kita menolak untuk berpartisipasi didalamnya.***

Sumber : Status Facebook Made Supriatma

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed