by

Dan, Kau Tolak Jabatan Presiden Itu

Sebagai orang Indonesia yang lama di Jerman, paham kultur Jerman, dan berkarib dengan para petinggi Jerman, Habibie tahu pasti apa yang harus ia lakukan untuk menyelamatkan Indonesia dari kehancuran. 

Ia menelurkan UU Pers, sebuah regulasi yang meluluhlantakkan pembungkaman media yang jamak terjadi di Orde Baru. Ketika pemerintah, atau pihak manapun yang tidak setuju dengan sebuah pemberitaan yang diproses melalui kaidah jurnalistik, maka ia tidak boleh dibungkam, dibreidel, atau langsung dipolisikan. Untuk itulah dibentuk Dewan Pers, yang bertugas menjadi penyeimbangnya. Ketika saya ke Myanmar Desember lalu, bertemu dengan orang Dewan Pers-nya Myanmar, ia cerita, bahwa mereka sedang berusaha membuat ekosistem pers belajar dari Indonesia.

Krisis ekonomi yang menerjang Indonesia, membuat dollar yang tadinya 2.000, melambung menjadi 16.000. Namun Habibie berhasil dengan cepat menstabilkannya hingga di level 6.000-an. Habibie pun dengan cepat membebaskan tahanan politik yang ditangkap tanpa keadilan di era Soeharto. 

Namun semua capaian luarbiasa itu tidak dianggap oleh sebagian besar anggota SU MPR 1999. Mereka menolak pertanggungjawaban Habibie, karena diantaranya dianggap gagal mempertahankan Timor Timur dalam jajak pendapat yang sangat dikotori oleh peran Australia waktu itu.

Malam itu, banyak tokoh nasional berkumpul, dan mereka berusaha meyakinkan Habibie, bahwa esok ketika pemilihan presiden di SU MPR dilakukan, maka Habibie sudah pasti menang, karena didukung oleh partai-partai baru, bahkan fraksi TNI yang masih ada, serta Golkar, juga akan mendukung Habibie. Kalau dijumlah, sudah pasti akan menang. Waktu itu yang berpotensi menjadi lawan politiknya adalah PDIP dan PKB.

Habibie menjawab kurang lebih, “Bagaimana bisa saya mencalonkan lagi sebagai Presiden, sedangkan baru saja pertanggungjawaban saya ditolak oleh MPR”.

Sesungguhnya, tidak ada aturan yang melarang seseorang yang ditolak laporan pertanggungjawabannya oleh MPR untuk mencalonkan lagi sebagai Presiden. Tidak ada. Itu hanya persoalan rasa, etika.

Namun Habibie tetap berkeras menolak. Jiwa ksatrianya, sportivitasnya, jauh melebihi hasrat berkuasanya. Jabatan presiden yang sudah didepan mata, ditolaknya, karena ia tak ingin dikenang sebagai presiden yang dipersepsikan haus kekuasaan. Ia terbiasa hidup di Jerman yang dikenal kuat budaya sportivitas dan disiplin tinggi, membuatnya tak tergoda untuk mengorbankan nilai yang dianutnya untuk sebuah jabatan yang kalau orang lain akan mau menjual apapun, termasuk harga dirinya, untuk menjadi: Presiden NKRI.

Ia seolah ingin memberikan pelajaran berharga bagi negeri ini, apalagi bagi jutaan pemuda yang menjadikan Habibie sebagai role model dan idola.

“Jangan pernah menukarkan nilai yang kau yakini, dengan sebuah jabatan, meskipun itu jabatan tertinggi di negeri ini. Negeri ini hanya bisa jaya kalau warganya subur dengan nilai yang luhur.”

Sebuah pembelajaran dari Habibie yang akan selalu dikenang bangsa sebagai “Otak Jerman, Hati Mekkah”

Allahummaghfirlahu warhamhu wa’afihi wa’fu’anhu.

Selamat jalan wahai Guru dan Inspirasi kami.

 
(Sumber: Facebook Muhammad Jawy)
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed