by

Cina Baik-Baik Saja vs Cina Sok Jago; Pancingan Rasisme Sang Jenderal

Oleh: Made Supriatma
 

“Race Baiting” atau Pancingan Rasisme: Saya kira tidak ada istilah yang lebih bagus untuk menggambarkan berita tentang Letjen TNI (Pur.) Johanes Suryo Prabowo. Idenya adalah Sodara melempar pendapat yang kelihatan netral, obyektif, tidak bias, namun sesungguhnya Sodara menggiring orang untuk berprasangka buruk.

Istilah bahasa Inggris ini sangat umum di Amerika Serikat. Ronald Reagan pernah bicara tentang ‘welfare queen’ yaitu mereka yang menerima tunjangan dari pemerintah dan tidak mau bekerja. Karena yang paling banyak menerima tunjangan itu adalah orang Amerika keturunan Afrika maka istilah itu sekaligus mengacu pada ras orang yang berkulit hitam yang dicap pemalas. Tujuannya? Untuk menimbulkan kebencian orang kulit putih agar memilih Reagan yang berjanji akan memperketat pemberian tunjangan itu.

Persis disitu letak pemikiran Suryo Prabowo yang saya persoalkan dalam tulisan ini. Seolah-olah dia kasihan dengan ‘Cina yang baik-baik’ yang akan dikorbankan oleh ‘Cina sok jagoan.’ Dia menuduh relawan pendukung Ahok (‪#‎TemanAhok‬) memainkan isu SARA. Namun sebenarnya dia sendirilah yang memancing SARA ini.

Saya sebenarnya ingin menambahkan banyak hal. Seperti misalnya, ‘skenario terburuk’ yang digambarkan oleh Suryo Prabowo. Alur pikiran dia begini. Kalau Ahok menang dalam Pilkada DKI 2017, maka akan terjadi euforia pendukungnya. Ini akan memancing kemarahan kaum Muslim (yang dia maksud sebenarnya ‘pribumi’) dan akan terjadi kerusuhan. Kalau terjadi kerusuhan maka akan terjadi intervensi asing dengan alasan ‘humanitarian intervention.’

Alur berpikir seperti ini adalah khas alur berpikir militer Indonesia. Saya tidak tahu apakah Suryo Prabowo, dan banyak petinggi militer yang sering sekali bicara soal senada, memang tidak mengerti konsepnya ataukah mereka memang sengaja memakai ini sebagai alat politik atau pengelabuan opini umum. Selalu saja kita dengar bahwa kita dalam bahaya diintervensi oleh asing karena soal HAM (antara lain kerusuhan adalah pelanggaran besar HAM). Pada akhirnya, ketakutan akan intervensi ini pastilah berujung pada pembungkaman.

Terus terang, selama tiga semester saya pernah menjadi asisten pengajar mata kuliah ‘humanitarian Intervention’ yang diasuh oleh seorang professor yang sangat saya hormati, Henry Shue. Tidak ada yang istimewa sebenarnya karena tugas mengajar itu hanya tugas sebagai mahasiswa paska sarjana. Dan, yang lebih penting, saya harus makan. Tapi mata kuliah ini memaksa saya untuk mempelajari sisi legal, etik, dan politik dari humanitarian intervention.

Ada dua hal yang saya kira menjadi dasar dari humanitarian intervention. Yang pertama adalah kerusakan yang sangat besar yang ditimbulkan oelh sebuah peristiwa di negara lain. Contoh yang paling jelas adalah intervensi dunia internasional di Aceh ketika terjadi tsunami tahun 2004. Korban yang berjumlah hampir seperempat juta itu terlalu besar untuk ditanggung oleh Indonesia sendirian. Negara lain wajib membantu. Pihak Indonesia sendiri meminta intervensi pihak asing ini. Amerika mengerahkan kapal-kapal perangnya untuk dijadikan rumah sakit. Demikian pula militer dari negara-negara lain.

Namun ada intervensi yang tanpa diminta oleh negara yang bersangkutan tapi komunitas internasional wajib melakukan intervensi. Itu adalah situasi ketika terjadi genosida — pembantaian besar-besaran baik oleh pemerintah yang bertindak sebagai pelaku pembantaian atau pemerintah yang bersangkutan tidak berdaya menghadapi permbantaian ini. Saya ingat persis, kami mendiskusikan genosida Rwanda pada saat itu dan mengkajinya dari berbagai aspek. Pada saat itulah selalu keluar pendapat bahwa komunitas internasional melakukan ‘pengabaian’ (negligence) terhadap Rwanda. Saya masih ingat ada insiden kecil dalam kelas. Saat itu ada diskusi mengenai Chile. Setelah kelas selesai, kami baru tahu bahwa cucunya Pinochet ada di kelas itu.

Syarat yang kedua adalah bahwa humanitarian intervention harus dilakukan sebagai upaya multilateral. Artinya, intervensi ini harus mendapat persetujuan internasional. Dalam hal ini, persetujuan dari PBB adalah hal yang mutlak diperlukan. Sekalipun biasanya sulit untuk mencari kesepakatan dari PBB dan ketika kesepakatan itu dicapai genosida sudah terlanjur menghabiskan komunitas yang jadi sasaran.

Kalau dilihat dari sisi ini, sangat sulit untuk melakukan humanitarian intervention. Sangat jauh dari gambaran yang diberikan oleh Letjen TNI (Pur.) Johanes Suryo Prabowo yang saya lampirkan disini.

Sulit untuk memahami bahwa seorang perwira militer tidak memahami konsep yang demikian mendasar dalam hubungan internasional ini. Mungkin saja mereka sesungguhnya tahu karena banyak sekali perwira-perwira Indonesia yang bergabung dalam Pasukan Perdamaian Internasional namun mereka memilih untuk melakukan ‘deception’ (pengelabuan) khususnya dalam upaya penggalangan opini publik.

Pada akhirnya, untuk saya ini bukanlah soal Ahok dan #TemanAhok. Saya tidak mendukung siapapun dalam Pilkada DKI ini. Untuk saya yang lebih penting adalah upaya menggunakan rasisme sebagai alat politik. Ini adlaah upaya yang gampangan, murah, namun efeknya sangat mematikan.

 

(Sumber: Indoprogres/Facebook Made Supriatma)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed