by

Cengkih, Antara Orba dan Masa Depan

Suatu hari ayah membawa pulang banyak bibit cengkih zanzibar, entah dibeli di mana bibit tersebut. Nah ketika hari Minggu bibit-bibit cengkih tersebut ditanam di lubang-lubang yang telah dibuat beberapa hari sebelumnya. Pohon cengkih membutuhkan perawatan yang ektra hati-hati, tidak boleh kekurangan air. Jika musim kemarau datang pohon-pohon cengkih yang baru ditanam harus disirami, dan jika terlambat menyirami maka pohon akan layu. Hal demikian juga dilakukan ayah terhadap pohon-pohon cengkih yang baru ditanam. Ketika musim kemarau tiba, ayahku menyirami pohon-pohon cengkih tersebut. Sumber air cukup jauh, harus mengambil dari kawasan yang lebih rendah. Pada waktu itu, tahun 1980an, tidak ada pompa air karena listrik juga belum ada di desaku.

Tiap sore ayah memikul air dari sumber air di bawah untuk keperluan menyirami pohon cengkih. Alat yang digunakan adalah dua ember yang cangkingannya disambung tali. Tali tersebut dikaitkan ke pikulan. Aku yang pada waktu itu masih kecil, baru kelas dua SD, oleh ayah disuruh membantu mengambil air. Alat yang aku gunakan bukan ember karena ember terlalu besar untuk ukuranku saat itu. Ayah membuatkan alat dari seruas bambu mirip dengan alat untuk menampung nira, sebuah bumbung yang pangkalnya tidak berlubang. Seruas bambu digergaji, bagian pangkal dibiarkan dengan ruasnya untuk menghalangi air tumpah, sedangkan bagian ujung digergaji berlubang. Jadilah ember bambu yang bisa digunakan untuk menampung air. Bagian ujung bambu dibuatkan dua lubang kecil untuk dipasangi tali yang akan dikaitkan di pikulan. Setiap ayah memikul air untuk menyirami pohon cengkih aku ikut serta di belakang dengan memikul air dengan ember bambu. Air yang diambil dari pancuran aku pikul naik ke kebun. Satu tanaman disiram dengan satu ember air yang dipikul ayah, atau dengan dua bumbung air yang aku pikul karena bumbung berisi air lebih sedikit. Pekerjaan tersebut dijalani ayah setiap sore selama musim kemarau. Aku kadang ikut, kadang tidak karena ketika teman-teman mengajak main kadang aku lebih tertarik ikut maijn daripada memikul air.

Saat aku mulai duduk di kelas empat SD, sebagian pohon cengkih yang ditanam paling awal sudah mulai berbuah. Ketika buah cengkih mulai menua pada malam hari kadang ayah pergi menengok kebun cengkih untuk mengawasi siapa tahu ada orang jahil yang mencuri buah cengkih. Kadang aku diajak juga ke kebun malam-malam. Buah cengkih pada waktu itu harganya cukup mahal sehingga harus dijaga. Anak-anak di kampungku jika sore hari akan datang ke kebun-kebun cengkih, baik ke kebun sendiri atau kebun orang lain, untuk mencari cengkih yang rontok dari pohon yang entah karena kena angina atau terkena hujan. Cengkih hasil temuan tersebut dijemur dan jika sudah kering dijual dengan harga murah, karena cengkih hasil rontokan harganya jauh lebih murah. Uang hasil penjualan bias untuk jajan.

Jika buah cengkih sudah cukup tua harus segera dipanen, karena jika terlambat dipetik cengkeh-cengkeh akan menua dan kualitasnya menjadi jelek. Cengkih yang terlalu tua ditandai dengan warnanya yang berubah dari hijau menjadi merah. Cengkih berwarna merah sulit dikeringkan karena kandungan airnya cukup tinggi. Musim panen cengkih merupakan musim yang membahagiakan bagi pemilik pohon cengkih. Pada tahun 1980an harga cengkih amat baik, sekitar Rp 10.000, padahal harga beras pada waktu itu hanya berkisar Rp 150. Sehingga, bagi pemilik pohon cengkih dalam jumlah yang banyak akan kaya mendadak jika panen. Salah satu warga kampungku yang memilki kebun cengkih cukup luas adalah Pak Karno, serta beberapa orang yang lain.

Memetik buah cengkih cukup sulit karena buah tersebut berada di pucuk-pucuk ranting. Jika memetik dengan cara memanjat batang, maka akan kesulitan karena buahnya malah tidak terlihat. Dengan demikian diperlukan tangga khusus yang bisa digunakan untuk memanjat sekaligus bisa melihat cengkih yang akan dipetik. Tangga tersebut di kampungku disebut “sige”, terbuat dari satu batang bambu yang pada setiap jarak sekitar 40 cm dipasang pasak untuk pijakan kaki. Sige biasanya terbuat dari satu batang bambu utuh yang panjangnya sekitar 10 meter sehingga bisa menjangkau ujung ranting yang paling atas. Pada musim panen, seluruh anggota keluarga yang sudah cukup umur akan dikerahkan untuk terlibat. Ayahku memanen, sedangkan aku beserta saudara yang masih anak-anak kebagian kerja pada malam hari, yaitu memisahkan buah cengkih dari gagangnya. Selama musim panen, setiap malam aku disuruh membantu mengerjakan pekerjaan ini, memisahkan buah cengkih dari gagangya. Pada esok pagi buah-buah cengkih yang sudah bersih dijemur di penjemuran yang disebut ‘gribig” atau “tampir” yang terbuat dari anyaman bambu.

Pada waktu itu penduduk desaku merasakan kemakmuran karena cengkih. Bagi orang-orang yang memiliki lahan dan menanam pohon cengkih mereka akan menikmati hasil panen, sementara bagi orang-orang yang tidak memiliki pohon cengkih juga ikut menikmati berkah cengkih dari mengambil buah cengkih yang jatuh sebelum dipanen karena kena angin atau hujan. Bahkan banyak orang yang waktu itu memanfaatkan daun-daun cengkih kering untuk dijual. Daun cengkih kering pada waktu itu juga laku dijual, kabarnya untuk disuling diambil minyaknya. Hampir tiap tahun ayahku panen cengkih. Memang tidak terlalu banyak karena pohon yang dimiliki juga tidak banyak. Namun, pada waktu itu kami merasakan berkah cengkih tersebut. Bahkan aku sempat dibelikan sepeda jengki bekas juga dari hasil penjualan cengkih.

Namun kemakmuran dan kebahagiaan kami dan penduduk kampung kami tidak berjalan lama. Tahun 1990, seorang pangeran anak dari Raja Jawa di Cendana ternyata tergiur dengan cengkih yang mendatangkan keuntungan cukup banyak. Kebahagiaan orang kecil dirampas oleh si pangeran tengik ini, ketika tiba-tiba ia membentuk sebuah lembaga yang disebut BPPC atau Badan Penyangga Pemasaran Cengkih. Dengan adanya BPPC, pabrik rokok tidak boleh membeli cengkih langsung ke petani. Sebaliknya, petani tidak boleh menjual cengkih langsung ke pabrik rokok. BPPC membuat aturan bahwa semua cengkih harus dijual kepada KUD, dan KUD harus menjual cengkih yang dikumpulkan kepada BPPC. Harga cengkih ditentukan oleh BPPC dengan seenak udelnya. Cengkih yang pada waktu itu harganya sudah mencapai Rp 20.000 di pasaran umum, kemudian dipatok oleh BPPC dengan harga Rp 6.000. Namun harga tersebut oleh BPPC tidak dibayar cash, melainkan dibayar dulu Rp. 2.000. Nah setelah BPPC berhasil menjual cengkih ke pabrik rokok, petani akan mendapat pembayaran tahap kedua Rp. 2.000. Sisanya yang Rp. 2.000 disimpan oleh BPPC sebagai simpanan wajib petani. Inilah cara si pangeran tengik mencekik petani.

Pasca dibentuknya BPPC banyak petani pemilik kebun cengkih yang frustasi. Harga cengkih di tingkat petani dijatuhkan sedemikian rupa di seluruh Indonesia oleh si pangeran tengik ini. Banyak petani cengkih akhirnya memilih menebang dan membakar pohon cengkihnya daripada memelihara pohon tersebut tetapi hasilnya malah merugi. Hal yang sama dilakukan oleh ayahku. Tabungan yang menjadi andalan seorang guru SD akhirnya dibabat habis menjadi kayu bakar. Saya waktu itu melihat pohon cengkih yang ditanam ayah bertumbangan satu persatu terkena hempasan kampak. Sedih sekali rasanya, karena aku ikut terlibat dalam kesusahan menanam cengkih. Tabungan yang amat berharga bagi orang kecil seperti kami melayang akibat ulah sewenang-wenang dari orang yang sedang berkuasa. Ayahku pasti lebih sedih lagi, karena waktu itu pohon cengkih merupakan “dana” abadi yang digunakan untuk membiayai sekolah anak-anaknya, sekolah kami lima bersaudara. Nasib kami saat itu juga dirasakan oleh jutaan petani cengkih di negeri ini, yang harus merelakan pohon cengkihnya bertumbangan dan berubah menjadi kayu bakar.

Sumber : Status Facebook Purnawan Basundoro

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed