by

Catatan Awal Tahun 2017

 
Oleh : Hasanuddin Ali
 
Tahun 2016 telah meninggalkan kita beserta segala jejak rekam peristiwa yang kita kenang bersama. Sejumlah peristiwa ditahun 2016 penting untuk kita catat sebagai salah satu momentum kita untuk melihat masa depan.
 
Berikut adalah catatan awal tahun 2017 yang terdiri dari tiga bagian: Politik Kebangsaan, Ekonomi, dan Sosial Keagamaan.
 
POLITIK KEBANGSAAN
Tahun 2016 ditandai dengan semakin stabilnya kondisi politik Indonesia. Konsolidasi politik yang dilakukan Presiden Joko Widodo berhasil menurunkan tensi politik yang sempat meninggi akibat persaingan yang keras saat PilPres 2016. Berbalik arahnya Golkar dan PAN dalam barisan pendukung pemerintah menjadikan “jarak” antara senayan dan istana semakin dekat
 
Bila konsolidasi ditataran elit telah selasai, tidak demikian halnya dengan yang terjadi dimasyarakat akar rumput. Imbas hiruk pikuk Pilkada Jakarta tidak hanya terjadi di Jakarta, tapi menyebar secara masif ke seluruh penjuru tanah air. 
 
Tampilnya Basuki Tjahaja Purnama sebagai salah satu kandidat Gubernur DKI Jakarta yang kebetulan berasal dari kelompok minoritas berhasil membelah publik Indonesia secara diametral antara yang pro dan kontra. Aroma kebencian dan fanatisme kelompok tiba-tiba merasuk semakin dalam hati dan pikiran sebagian publik Indonesia.
 
Pilihan demokrasi sebagai jalan yang telah dipilih oleh bangsa Indonesia seharusnya dibarengi dengan sikap kerelaan bahwa siapapun boleh tampil sebagai kandidat pemimpin. Konsitutisi kita menjamin setiap warga negara, tidak peduli mayoritas atau minoritas, untuk dicalonkan sebagai pemimpin. Soal kemudian terpilih atau tidak tergantung dari bagaimana publik berpihak. Oleh karena itu tidak benar juga apabila ada pernyataan bahwa demokrasi pancasila akan sempurna bila ada seseorang dari kelompok minoritas yang akan memimpin di republik ini.
 
EKONOMI
Berbagai lembaga ekonomi dunia seperti Wordbank, IMF memprediksikan pertumbuhan ekonomi Indonesia tahun 2016 akan berkisar di angka 5,02%, sebuah pencapaian yang tidak jelek, meski juga tidak istimewa. Pertumbuhan ekonomi kita masih lebih tinggi dibanding negara-negara tetangga terdekat kita, Malaysia (4,1%), Singapura (1,8%), dan Thailand (3,2%), tapi pertumbuhan ekonmi kita masih dibawah negara Vietnam (6,0%), Filipina (6,4%), dan Myanmar (8,4%)
 
Salah satu prestasi terbaik Pemerintah Joko Widodo dibidang ekonomi adalah program Tax Amnesty. Menjadikan pembangunan infrastruktur sebagai panglima ditengah minimnya likuiditas modal menyebabkan pemerintah harus mencari sumber dana baru. Dana yang berasal Program Tax Amnesty seakan menjadi “darah segar” yang mengalir menghidupi pembangunan infrastruktur yang menjadi prioritas utama program ekonomi pemerintah Joko Widodo.
 
Ketimpangan ekonomi masih menjadi PR  terbesar Pemerintah Joko Widodo, distribusi kekayaan yang hanya berputar-putar di orang-orang “itu” saja. Data dari Credit Suisse mencatat 10% orang kaya Indonesia menguasai 77% kekayaaan dan aset di Indonesia. Bila dipersempit lagi, separuh dari kekayaan dan aset di Indonesia hanya dikuasai 1% dari total penduduk Indonesia.
 
Potret ketimpangan juga terlihat dari koefisien gini Indonesia yang tinggi dikisaran 3.9 – 4.0. Ketimpangan ekonomi ini semakin nyata terjadi di kota-kota besar bahkan pada periode Mei 2016 BPS mencatat koefisien gini di Jakarta mencatat rekor sebesar 4.6.
 
Ekonomi Indonesia kedepan juga menghadapi dua tantangan yang tidak mudah. Pertama, Middle Class Trap. Indonesia saat ini dalam transisi dari negara berpendapatan rendah menuju negara berpendapatan menengah keatas, hal ini bisa terlihat dari perubahan pola konsumsi masyarakat Indonesia, secara aggregat konsumsi non makanan mulai lebih tinggi dari konsumsi makanan. Namun demikian yang perlu diwaspadai adalah adanya acaman jebakan kelas menengah yang akan menyambangi Indonesia jika kita tidak berhasil naik menjadi negara berpenghasilan tinggi.
 
Kedua, Bonus Demografi. Tahun 2020-2030 akan menjadi puncak bonus demografi Indonesia dimana usia produktif penduduk Indonesia 15-64 tahun) mencapai 70% dari total penduduk Indonesia. Jumlah tenaga kerja yang melimpah harus diantisipasi pemerintah dengan penyediaan lapangan kerja yang luas, bila tidak bukan tidak mungkin potensi bonus demografi malah menjadi bencana demografi.
 
SOSIAL KEAGAMAAN
Tahun 2016 ditandai dengan semakin retaknya struktur dan bangunan ikatan sosial keIndonesian kita. Hadirnya sosial media justru membuat ujaran hasutan dan fitnah semakin mudah menderas ke benak kita. Berita bohong (hoax) justru banyak diproduksi dan disebarkan oleh orang-orang yang mengaku beragama. 
 
Sikap ketawadluan dan hormat-menghormati juga sudah mulai luntur. Bagaimana tidak? Seseorang yang belum memiliki pemahaman agama yang cukup berani menghina kealiman seorang kyai, ulama yang telah mendedikasikan hampir seluruh hidupnya memperdalam ilmu agama dan melayani umat
 
Kepongahan beragama secara berjamaah telah menjauhkan nilai-nilai agama yang mengajarkan kerendahan hati.
 
Telah terjadi upaya-upaya pemaksaan kehendak atas nama agama untuk menghilangkan kemajemukan dan kebhinekaan Indonesia. Keyakinan akan kebenaran ajaran agama kita tidak lantas kita memiliki hak untuk menghujat dan menghina agama yang dianut orang lain.
 
Radikalisme agama telah menjangkiti semua agama, karena itu setiap elemen agama perlu kembali kepada titik tolak kita sebagai bangsa untuk menemukan titik temu yang mempersatukan kita dalam ikatan keIndonesian.
 
Trend dunia yang semakin menuju konservatisme, dari soal Brexit di Inggris, Trump di Amerika, Duterte di Filipina, membuat kita bertanya apakah hal yang sama akan terjadi di Indonesia?
 
Semoga ditahun 2017 Indonesia semakin damai dan penduduknya semakin sejahtera 
 
Selamat Tahun Baru 2017
 
Hasanuddin Ali
CEO Alvara Strategic Research
WasekJend PP GP Ansor**

Sumber : Wa

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed