by

Cadar Wal Cingkrang

Lebih bahaya lagi kalau negara yang cawe-cawe pelarangan berbusana ini, pun pemerintah. Bisa-bisa negara dan pemerintahan yang menerapkan pelarangan itu dianggap “anti” Islam, thogut, dan lain-lain. 

Saya paham, sejumlah negara sekuler di Barat, khususnya Eropa, melarang perempuan muslim mengenakan cadar atau burqa di tempat umum (publik) dan pelarangan itu tidak ada gejolak. Ya ‘kan mereka negara non-muslim di mana muslim minoritas di sana. Beda kalau larangan itu diberlakukan secara eksplisit di sini yang mayoritas penduduknya muslim.

Akibatnya kamu tahu sendirilah, negara/pemerintah bakal dijadikan sasaran tembak dan musuh bersama oleh orang-orang yang menentang pelarangan berbuasana khas muslim ini. Soal apakah cadar atau burqa dan celana cingkrang yang memperlihatkan mata kaki bagi pria adalah busana muslim, biarlah para ahlinya ahli saja yang bicara. 

Saya di sini bicara soal sketsa kehidupan sehari-hari yang sebenarnya bisa saja teralami siapapun… 

Soal cadar atau burqa misalnya, bagi saya bukan barang aneh dan baru, biasa saja. Wong, di kampung saya Tasikmalaya, tepatnya di Ponpes Al Idrisiyah, Pagendingan, semua santriwatinya mengenakan cadar. Mereka biasa wara-wiri ke sana ke mari, berinteraksi dengan masyarakat lainnya. 

Tetapi memang sejak remaja saya tidak pernah berkeinginan pacaran sama perempuan bercadar, soalnya saya masih konvensional dalam berasmara, yang masih percaya “cinta mengalir dari mata ke aorta lewat getar-getar pandangan pertama”, termasuk dengan mantan terindah.

Jujur, saya akan kesulitan memilih wanita bercadar untuk saya jadikan pacar karena di sana tidak ada pandangan pertama yang menggetarkan sukma itu. Tetapi di sini inilah, niat perempuan bercadar justru untuk “membunuh” pandangan pertama itu, yang bisa menjurus perbuatan yang disukai setan jika cinta sudah melekat seperti aica aibon.

Pun dengan celana cingkrang, masak iya selalu dilekatkan dengan busana pria muslim. Bukankah celana cingkrang sudah menjadi mode dunia, yang dikenakan para selebritis “kafir”? 

Saya di rumah biasa mengenakan celana cingkrang kok, celana cingkran gedombrongan meski tidak diniatkan sebagai identifikasi diri bahwa saya seorang muslim. Cuma sekadar kepraktisan saja, sebab lebih banyak angin mendesir dari mata kaki naik ke rimbunnya ibukota di dataran lebih tinggi.

Pun ketika saya bepergian, dengan celana cingkrang bisa langsung shalat mushola tanpa berganti kain sarung umum yang dipakai secara bergantian. Bagaimanapun saya masih memperhatikan kebersihan.

Mungkin kalaupun terpaksa harus diberlakukan larangan mengenakan cadar/burqa bagi muslimah, harus dilokalisir di tataran ASN atau PNS, termasuk anggota polwan dan kowad. Toh untuk mengenakan jilbab saja tidak dilarang, meski ada penyeragaman terkait estetika. 

Demikian pula dengan celana cingkrang yang memperlihatkan mata kaki, masak iya anggota polisi atau tentara saat berbaris ada yang celana cingkrang ada yang celana panjang, ‘kan lucu jadinya. Intinya dilokalisir sajalah, misalnya cadar dan burqa dikenakan para santriwati di lingkungan ponpes khusus akhwat seperti di Al Idrisiyah itu. 

Hei kamu cowok! Iya, kamu…. kok masih larak-lirik ke orang lain, jangan sekali-kali kamu mengenakan cadar atau burqa nekat menyusup ke santriwati bercadar hanya karena naksir salah satu di antara mereka. Juga kamu cewek! Iya, kamu…. jangan sekali-kali kamu bercadar tetapi celanamu cingkrang!

Kenakan busana itu dengan semestinya, oleh orang yang seharusnya mengenakan.

 

(Sumber: Facebook Pepih Nugraha)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed