Karena sesungguhnya, unsur subjektifitas sangat kuat pada kasus ini. Jadi biarkan saya yakin dengan subjektif saya.
Ini jauh berbeda, dengan kasus korupsi, misalnya. Selama dibuktikan dia nyolong, ada duitnya, ada kerugian negara, ada oknumnya, hukumnya terang. Apalagi yang tertangkap tangan. Duduk perkaranya bisa diputus objektif. Apapun pembelaa tersangka, kalau sudah tertangkap tangan, ke laut aja deh lu…
Lalu bagaimana membuktikan sebuah kasus sebagai penodaan agama? Pasti bukan perkara mudah. Ahli-ahli agama saja berdebat panjang sebagai saksi di sidang Ahok kemarin. Kenapa berdebat? Karena sebelum menafsir penodaan, perlu tafsir yang tegas juga pada hujah agama yang merasa dinodai itu.
Demikian juga hakim yang memutuskan perkara di pengadilan. Bukankah mereka juga orang beragama? Pertanyaannya, mungkinkah ada bias keyakinan beragama seorang hakim dalam memutuskan perkara penodaan agama, yang juga agamanya sendiri? Karena kasus ini adalah perkara yang tingkat subjektifitasnya sangat tinggi, faktor bias itu bisa jadi sangat kuat.
Salah seorang hakim yang memutuskan perkara Ahok, misalnya, dalam akun medsosnya terlacak sering men-share tausiyah Felix Siauw (tokoh HTI) atau Aa Gym. Kita tahu, di mana posisi pandangan keagamaan kedua tokoh ini dalam kasus Ahok. Artinya, jika share artikel itu mewakili fikiran orang yang men-share, maka kecenderungannya dalam melakukan penilaian terhadap kasus Ahok juga bisa tidak netral.
Langkah Ahok dan tim kuasa hukumnya untuk menguji kembali kasusnya dengan melakukan banding, rasanya adalah cara yang tepat. Jika banding belum memuaskan hasilnya, bisa ajukan kasasi sampai PK. Kita dukung Ahok untuk memperjuangkan hak-nya.
Lalu bagaimana dengan kasus Rizieq Shihab dan HTI? Ini jelas tidak ada sangkut-pautnya sama sekali dengan kasus Ahok. Desakan pada aparat hukum untuk memproses kasus-kasus ini sampai tuntas, karena memang begitulah seharusnya. Desakan itulah yang harus terus dikumandangkan agar semua orang mendapatkan perlakuan setara di muka hukum.
Sedangkan kepada Rizieq Shihab, ulama yang sering berkoar-koar sebagai pejuang agama, kita imbau, berhentilah bermain sandiwara. Hadapilah kasusnya dengan jantan, bukannya ngeles terus dengan alasan sniper-lah, umroh-lah, sakit-lah, inilah, itulah.
Anda sering mencaci maki Ahok sebagai kafir. Tapi, dalam menghadapi sebuah konsekuensi dari tindakan, nilai Anda jauh di bawah Ahok. Ahok tidak pernah lari dari tanggungjawab. Tidak pernah absen memenuhi pangggilan polisi. Tidak pernah meminta pendukungnya untuk mengarak ramai-ramai ketika mau diperiksa polisi.
Setiap sidang, dia datang dengan kepala tegak. Dan ketika diputuskan bersalah pun, kepadanya juga masih tegak. Padahal Ahok adalah orang yang sering Anda caci-maki sebagai kafir, Cina, kutil babi.
Ahok mengajarkan kepada masyarakat, begitulah sikap seorang warga negara. Begitulah sikap seorang ksatriya. Padahal Ahok adalah pejabat biasa.
Sedangkan Anda seorang ulama, sikap pejuang agama seperti apa yang mau diajarkan kepada umat? Apa mau terus-terusan main tebak-tebakkan : jago tembak sedunia sama jago ngeles sedunia, kalau bertarung menang yang mana? **
Sumber : facebook Eko Kunthadi
Comment