by

Bubarkan Saja Dewan Pers

Apa sih buzzer itu? Mendefinisikan buzzer sebagai peliharaan pemerintah (bahkan menyamakan fungsi dengan pejabat humas pemerintah), sungguh naif. Kalau buzzer ditiadakan, maukah misal Dewan Pers juga menghilangkan buzzer bagi Dewan Pers, buzzer bagi Tempo, buzzer FPI, buzzer kadrun, buzzer SJW (social joker warrior)?
Kalau Dewan Pers maunya menjaga dan melindungi, pers macam apa yang mau dilindunginya di abad digital? Kini dengan teknologi komunikasi dan informasi kiwari, semua anggota masyarakat adalah tokoh masyarakat. Apalagi dengan kenyataan ada 175,4 juta penduduk Indonesia yang memanfaatkan internet dalam kehidupan kesehariannya, dan ada sebanyak 338,2 juta pengguna ponsel (data tahun 2020 dari Dirjen Informasi Komunikasi Publik Kemenkominfo).
Dengan jumlah seperti itu, hampir melebihi pemilik hak suara ketika Indonesia menentukan nasib demokrasinya dalam Pemilu. Padal, hak bersuara mereka, yang diampu bebas oleh perkembangan teknologi, berada dalam ancaman sistem hukum yang ketat. Tanpa perlindungan dan sistem peradilan yang fair, ketika UU-ITE acap dijalankan dengan tebang pilih.
Dengan jumlah seperti itu, hampir menyamai pemilik hak suara ketika Indonesia menentukan nasib demokrasinya dalam Pemilu. Padal, hak bersuara mereka, yang diampu bebas oleh perkembangan teknologi, berada dalam ancaman sistem hukum yang ketat. Tanpa perlindungan dan sistem peradilan yang fair, ketika UU-ITE acap dijalankan dengan tebang pilih.
Orang kecil bisa dipenjara, tapi yang punya temen elite atau politikus bisa diselamatkan. Padal, ancaman penjara tak main-main. Bisa 5-6 tahun untuk kasus sumir ‘perlakuan tidak menyenangkan’. Sementara jika ada anggota pers melakukan ‘kesalahan’, Dewan Pers bisa melindungi dengan pasal karet kebebasan pers. Cukup memberikan ruang ‘hak jawab’. Hak bertanyanya diberikan tidak?
Sekali lagi, kayak MUI, lembaga Dewan Pers juga bakalan sirna tanpa harus dibubarkan paksa. Apalagi kalau kita lihat, lembaga ini juga tak mampu menjaga marwah media pers di jaman berubah ini. Merespons hadirnya media online saja, Dewan Pers tak punya rumusan memadai. Apalagi dengan pemahaman definisi buzzer yang naif dan reaktif.
Karena gagal atau gagap menanggapi perubahan, kekuatan ke-4 demokrasi ini (di Indonesia), ternyata hanya mitos. Demokrasi di Indonesia, mungkin saja dipelopori oleh pers. Namun di jaman ini, revolusi teknologi komunikasi dengan hadirnya berbagai platform medsos, adalah sebuah keniscayaan, tak terbendung. Dengan tingkat literasi yang rendah, tak bisa menyalahkan pada satu sisi.
Jangan pula lupa, dengan penduduk 270 juta, oplah tertinggi yang pernah dicapai koran di Indonesia, hanya diraih oleh Kompas dengan 600 ribu eksemplar. Itu pun dulu. Sekarang sudah turun drastis dengan adanya android di tangan masyarakat Indonesia.
Apalagi ketika Dewan Pers senyatanya, juga tak bisa membasmi adanya wartawan amplop (baik amplop gede maupun kecil), atau media yang jadi ‘buzzer’ bagi lawan kepentingannya. Ini proses disrupsi yang menyakitkan. Tapi jika karena itu kemudian yang menulis opini seperti ini terus disebut ‘BuzzerRp’? Atau hanya akan dipuji mereka kalau mengritik Jokowi? Adillah sebelum kentut. Tabik! |
 
Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed