by

BPJS dan Kapan Jokowi Jatuh

Pada waktu itu, saya mengetahui persis, rumah-rumah sakit di DIY membludag pasien, untuk pemegang BPJS kelas III. RS Sardjito Yogyakarta, seperti kapal pecah. Bukan hanya dikamar-kamar, tapi di banyak pasien ditempatkan di lorong atau luar zaal. Banyak RS kehabisan kamar untuk rawat inap. Rakyat tidak dilarang sakit lagi.

Bisa jadi, masyarakat merasakan dengan BPJS mereka mendapat layanan gratis. Rakyat miskin tak takut ke rumah sakit. Anggota keluarga saya, pernah dua kali menjalani operasi bedah. Total klaim pembayaran di atas Rp 70 juta. Sementara jika dihitung dari awal ikut 2014 hingga kini, dengan Rp 150.000 (untuk tiga kartu), saya hitung baru mencapai Rp 3,6 juta (2014 – 2020 x 12 bulan x total iuran 3 kartu BPJS). 

Di luar keluarga inti, ada dua saudara saya. Satu cuci darah sampai berbulan-bulan, satunya perawatan penyakit paru selama 1 bulan. Mereka juga menghabiskan puluhan juta. Padal jika dihitung total pasokan BPJS mereka, belum mencapai Rp 5 juta.

Saya sendiri mengikuti BPJS tidak dengan cita-cita memanfaatkannya. Sakit bukanlah cita-cita yang baik dan benar. Daripada sakit, mending jaga kesehatan. Kalau pun tak ikut asuransi kesehatan swasta, karena saya bukan PNS, bukan pula karyawan swasta yang punya gaji tetap. Dalam kriteria Kemenaker dan ILO, mungkin masuk kategori penganggur, jam kerja tak jelas. Lha, kenapa ikut BPJS, kalau tak ingin mendapat fasilitas layanannya, dan tak bisa narik duit seperti premi asuransi? 

Karena secara ideologis dan filosofis, saya setuju dengan konsep ini. Dalam konteks gotong-royong, tak semua hal bisa dan harus ditangani pemerintah. Negara dengan populasi penduduk besar, kekuatannya selalu muncul karena kemandirian warganya. 

Maka niatan ikut BPJS bukan karena ngarep agar memakainya. Tapi berdonasi untuk masyarakat banyak yang membutuhkan namun tidak mampu menanggungnya sendiri. Dengan bergotong-royong itu, banyak masyarakat miskin bisa ke rumah sakit, karena biaya kesehatan, dari dokter hingga obat dan rumah sakit, bukan barang murah dan gratis. Negara belum mampu memberi layanan gratis sebagaimana dicita-citakan GA Siwabessy, Menteri Kesehatan Indonesia yang pertama dulu di tahun 1949.

Berdasar Perpres 64/2020, Pemerintah memutuskan menaikkan iuran BPJS Kesehatan sebagai berikut: Iuran peserta mandiri kelas I naik menjadi Rp 150.000, dari saat ini Rp 80.000. Iuran peserta mandiri kelas II meningkat menjadi Rp 100.000, dari saat ini sebesar Rp 51.000. Iuran peserta mandiri kelas III juga naik dari Rp 25.500 menjadi Rp 42.000. Namun, pemerintah memberi subsidi Rp 16.500 sehingga yang dibayarkan tetap Rp 25.500 (hingga akhir tahun 2020). Baru pada 2021 mendatang, subsidi untuk kelas III ini berkurang menjadi Rp 7.000, sehingga yang harus dibayarkan peserta adalah Rp 35.000. Tapi kita tahu apa reaksinya? Kita tahu kelas I dan II untuk masyarakat yang dianggap mampu (yang mengalami kenaikan antara Rp 50.000 s.d Rp 70.000), sedang kelas III, baru akan terasa naik sebesar Rp Rp 10.000 mulai Januari 2021. Tahun ini, aturan itu sendiri akan mulai berlaku Juli 2020. Dan Jokowi dituding dzalim, sekaligus bodoh. 

Dalam sebuah negara yang warga negaranya masih campur aduk, bukan hanya kesenjangan ekonomi, melainkan kesenjangan otak. Jokowi tak bisa menerapkan sebagaimana dirumuskan Samuel P. Huntington, “Barat memenangkan dunia bukan karena keunggulan ide-ide, nilai-nilai, atau agamanya. Tetapi lebih karena keunggulannya dalam menerapkan kekerasan terorganisir.” Yakni dengan alasan demokrasi dan hukum. 

Bukan demokrasi doang kayak Indonesia, itupun demokrasi klaim. Padal, dalam kasus iuran BPJS ini, yang tak setuju kenaikan iuran, dengan mudah menolaknya. Tidak perlu ikut BPJS, kelar urusan. Tapi jika Jokowi menaikkan pajak, meski dengan UU, pasti akan lebih jancuk situasinya. Dan yang lebih jancuk, serta khas Indonesia, ikut BPJS juga kagak, nyolotnya paling heroik membela rakyat kecil. Walaupun bisa dipastikan, Jokowi tak bakalan berfikir seperti PM Singapura Lee Kuan Yew (1923 – 2015), “Saya harus memenjarakan lawan, tanpa pengadilan, baik komunis, sauvinis, atau ekstremis agama. Jika saya tidak melakukannya, negara ini akan hancur.”

Belum menjangkau 50% penduduk Indonesia, tapi BPJS pertahun bisa terhimpun dana Rp 107 trilyun. Bagaimana bisa defisit? Persoalan manajemen sejak SBY maupun Jokowi, sama parah. Catatan klaim pemakaian, defisit dialami pada kelas III. Tak sebanding antara jumlah iuran kelompok ini dengan klaim pemakaian mereka. Seperti yang saya alami, baru membayar Rp 3,6 juta, tapi keluarga saya memakai duit lebih dari Rp 60 juta. Surplus dari peserta kelas I dan II, tentu karena kondisi kesehatan fisik dan ekonominya lebih bagus. Hingga jarang sakit. Hal lain, klaim pelayanan kesehatan BPJS menangani semua, tanpa kecuali, bahkan untuk pasang gigi maupun kacamata.

Persoalannya, pemerintahan ini, terutama di era Jokowi, lemah dalam membangun narasi, di tengah buruknya literasi masyarakat yang mendadak ndangdhut pegang medsos. Mendadak ndangdhut ini dialami semua kelas. Tak peduli awam, ahli agama, rektor, sampai yang ngaku sosiolog, bahkan yang diangkat ‘presiden akal sehat Indonesia’ pun, kualitas otaknya sama dan sebangun. 

Direktur BPJS saja pun menganggap posisinya semata profesional, yang pantas digaji besar tapi menurutnya ‘hanya’ sekian ratus juta. Belum lagi soal akuntabilitas pengelolaan uang BPJS. Tiga pihak RS, Farmasi, dan BPJS, berpotensi korupsi, sendiri-sendiri maupun berkomplot. Sejak 2015, seingat saya pasien hanya dimintai tanda-tangan, tapi tidak bisa tahu, apalagi menyimpan berkas pembayaran. Berapa duit klaim pembayaran BPJS di situ? Pada titik itu, masing-masing pihak bisa memainkan angka, atau membuat kesepakatan. Dulu beberapa anggota IDI mengeluh dan menentang, karena pasien membludak tapi senyampang itu penghasilan mereka tak terimbas. Pelayanan masyarakat menjadi akibat. 

Kritik itu baik. Tetapi ketika kehilangan konteks, dengan sendirinya kehilangan kredibilitas. Celakanya dengan kualitas literasi buruk, berita bohong, fitnah dan hoax mudah dipercaya sejak dalam kebencian. Kalau dengan alasan BPJS Jokowi bisa dijatuhkan, terus yang naik siapa? Wakil Presiden tentu. Bisa pastikan, kaum salawi dengan latar-belakang cem-macem (dari oposan, kadrun, SJW baru, politikus gaek orba, akademisi yang kuciwa, analis medsos, tukang pemberi kultwit), akan bersorak-sorai bergembira. Ketika semua orang memikirkan hal yang sama, tidak ada yang berpikir banyak, begitu ujar Byron Dorgan.

Education is the cheap defense of nations. Pendidikan adalah pertahanan negara yang murah (Edmund Burke, politikus dan filsuf Inggris, 1729-1797). Dan sayangnya kita belum kuat di situ. Padal, kebahagian setiap negara lebih bergantung pada watak penduduknya daripada bentuk pemerintahannya (Thomas Chandler Haliburton, politikus Kanada, 1796-1865). Atau sesanti Sukarno sederhana saja, rakyat kuat negara kuat!

Tapi jangankan aturan presiden, aturan agama untuk infak atau zakat, dengan menyisihkan 2,5% dari penghasilan pun, bisa diabaikan. Cuma tak berani teriak-teriak. Nanti dikira murtad. Jika masyarakat kecil, kelas bawah lebih banyak diuntungkan dengan BPJS, ajakan untuk menjatuhkan Jokowi, sama sekali tak ada artinya. Memang sih, di medsos tampak menyebalkan. Tapi tidak dalam keseharian dunia nyata.

 

(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed