by

Bisnis Prostitusi, Salah Satu Bisnis Tertua Di Dunia

Berapa besar putaran uang dari setiap tingkatan proses bisnis ini….?

Kita pasti tidak bisa menghitung secara pasti…, tetapi ada gambarannya sebagai berikut…:

Harga bandrol untuk wanita pemijat satu paket (termasuk esek esek) Rp 350.000,-.

Harga itu dibagi…:

– Untuk pengelola tempat, Rp. 150.000,-.

– Untuk Mami, Rp. 50.000,-.

– Untuk Agen, Rp. 100.000,-.

– Wanita yang punya asset dan kerja…, hanya dapat Rp. 50.000.

Jadi kalau tidak dapat tip dari tamu…, maka wanita hanya dapat Rp. 50.000.

Itu kelas kambing…., untuk kelas premium…:

Wanita penghibur asing bertarif Rp. 2.300.000,-…., dan dibagi…:

– Untuk Mami, Rp. 100.000.

– Untuk pengelola tempat…, sesuai tarif kamar VVIP Rp. 800.000.

– Untuk Agen, Rp. 1.000.000,-.

– Dan untuk pemilik asset…, hanya kebagian Rp. 400.000,-.

Rata rata sehari para pemilik asset itu melayani tamu sedikitnya 4 orang.

Ada ribuan pemilik asset…, yang berada di tempat hiburan berkedok izin resmi.

Hitung saja berapa uang tunai mengalir sehari…, seminggu…, sebulan…, dan seterusnya.

Menurut data…, ada kurang lebih Rp. 60 triliun uang berputar setiap tahunnya dari bisnis ini.

Jadi…, ini benar benar bisnis ekploitasi.

Tetapi masalahnya…, semua happy…, buktinya selalu ada barang baru.

Ini seperti film Mafia juga…, karena biasanya godfather itu bukan hanya satu orang…, tetapi pasti ada saingan satu orang lain lagi.

Tentu tujuannya agar sang Godfather tidak terlalu berkuasa.

Sedangkan oknum pejabatnya bermain di dua kaki…; satu mereka dukung namun dengan yang lainnya main mata.

Sehingga oknum pejabat yang sebetulnya ada di balik Godfather…, dapat menciptakan persaingan secara tidak langsung…, dan persaingan ini tentu meningkatkan uang setoran kepada oknum penguasa.

Sangking rumitnya bisnis ini…, jaman gubernur DKI Ahok tidak mau mengganggu jaringan ini…, kecuali mereka bersinggungan dengan narkoba.

Tetapi Ahok caranya sangat smart…, melarang secara halus agar tempat hiburan itu tidak diakses oleh orang berpenghasilan pas pasan.

Bagaimana caranya…?

Di Era Ahok…, fenomena bisnis hiburan ini dipetakan dengan baik.

Ahok melihat…, potensi Pendapatan Asli Daerah (PAD) ada pada bisnis ini.

Makanya dia tidak melarang secara ketat…, walau dia sering nyinyir soal bisnis ini.

Itu mungkin sebagai bentuk penolakannya…, sebagai pribadi krisitiani yang taat.

Ahok menetapkan aturan pengawasan terhadap tempat hiburan itu dengan menempatkan CCTV di tempat tersebut…, dan cashier online ke database pendapatan daerah untuk memastikan tidak ada penyelewengan pajak.

Kemudian…, menetapkan pajak hiburan setinggi tingginya.

Jadi…, sama dengan kebijakan penjualan rokok di luar negeri.

Silahkan beli…, tapi pajak 4 kali lipat dari harga.

Kalau bandel anda harus bayar ongkos sosialnya…, tapi kalau tidak mau itu memang lebih baik.

Yang pasti…, kelas menengah bawah sudah tidak bisa datang.

Bayangkan saja…; bir bisa dijual Rp. 150.000,- per botol…, padahal harga eceran di supermarket hanya USD 50.000.

Aqua dijual Rp. 50.000,- per bitolnya…, padahal kita pasti tahu berapa harga Aqua di pasaran.

Itulah contoh pajak yang diterapkan Ahok…, dia menentukan harga bandrol makanan dan minuman agar PAD besar.

Keren emang jamannya Ahok…

Makanya waktu itu banyak pengusaha hiburan marah ke Ahok.

Era Anies memang tidak berubah tarif pajak…, namun pengawasan longgar.

Jadi…, bisa dinegokan dengan pejabat Pemda.

Tetapi sejak era Jokowi…, bisnis hiburan esek esek drop sampai 50%.

Mengapa…?

Karena sejak pengawasan dari KPK ketat sekali…, banyak pejabat yang kena OTT.

Jadi pelanggan berkurang…, apalagi era kejayaan bisnis tambang batubara udah berakhir.

Jadi…, tidak ada lagi entertainment pengusaha kepada aparat.

Ternyata oh ternyata….

Rahayu

Sumber : Status Facebook Buyung Kaneka Waluya

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed