by

Bid’ah Sebagai Bahasa Politik Identitas

 

Oleh: K. Elkazhiem

Secara teologis, Islam didasarkan atas suatu konstruksi idealistik tentang suatu komunitas (ummah). Konsepsi idealistik ini mencakup suatu integrasi otoritas politik-keagamaan, suatu wilayah atau rumah tangga yang di dalamnya praktik-praktik Islam diikuti secara seragam, dan suatu perjuangan keagamaan eksternal atau yang mencakup perjuangan melawan orang-orang yang tidak percaya. Komunitas ideal ini tidak pernah bisa memecahkan persoalan otoritas sepenuhnya, khususnya persoalan kontrol politik baik melalui klaim keturunan atapun mereka yang dipilih sebagai pemimpin. Lebih penting lagi, Islam tidak menekankan otoritasnya atas kelompok-kelompok minor atau pinggiran yang muncul belakangan ini sementara diversitas etnis dan pluralisme pemikiran terus berkembang. Sejarah Islam sebagian berputar pada persoalan otoritas lokal dan global, yang menimbulkan gerakan-gerakan periodik, seperti yang digambarkan oleh Hamid Dabashi bahwa sepeninggal Nabi, timbul konflik komunal, yang kemudian meluas menjadi konflik politik oleh sebab persaingan antara kelompok-kelompok–sunni, shi’ah dan khawarij–yang saling mengklaim mempunyai atau mewarisi dan bahkan menegasikan otoritas Nabi.

Sentralnya posisi teks dalam Islam muncul dari satu keyakinan bahwa teks merupakan satu-satunya penjelas yang paling otoritatif. Dikatakan demikian karena teks diyakini sebagai jejak dari otoritas tertinggi, yaitu Tuhan dan Muhammad sebagai rasul-Nya. Akan tetapi sepeninggal Nabi, saat itulah umat Islam mengalami krisis otoritas, tiadanya wewenang yang sah dalam menyelesaikan urusan keagamaan dan publik sebagaimana dimiliki Nabi. Sebenarnya kaum Shi’ah telah menemukan kemapanan dengan konsep imamahnya yang oleh beberapa pengamat sering dianalogikan dengan sistem klerikal pada Katholik. Adapun di dalam Sunni, otoritas tersebut dikembalikan kepada ummah. Oleh karena itu Bryan S. Turner berpendapat bahwa ketegangan yang terjadi di antara umat Islam pra-modern adalah antara otoritas politik yang dikuasai dinasti-dinasti dan otoritas-otoritas lokal dari kalangan agamawan.

Kolaborasi antara otoritas lokal dan politik membuat masyarakat tersisihkan, sehingga di tingkat masyarakat akar-rumput (grass root). Perbincangan semisal mengenai persoalan hukum menjadi sesuatu yang abstrak dan transenden, seolah sesuatu yang asing dan datang secara absolut untuk mengontrol setiap individu. Situasi demikian, menurut Arendt dikarenakan masyarakat telah kehilangan argumentasi dan ‘terpesona’ sehingga mematuhi otoritas. Tak pelak stigma bahwa kalangan agamawan sebagai penjaga status quo semakin berkibar, implikasinya dalam masyarakat adalah dikotomi antara elit mazhab dan arus bawah yang berasal dari masyarakat awam kian nampak jelas. Fenomena ini membentuk sistem sosial baru, yakni adanya otoritas-otoritas lokal yang dikuasai ulama-ulama mazhab. Sementara para penguasa muslim juga mengambil momentum dalam sejarah sebagai instansi yang paling otoritatif dalam menerapkan hukum Islam. Otoritas sering disalahartikan menjadi kekuasaan untuk menekan proses perubahan, memperluas pengaruh, menegaskan legitimasi politik dan kebijakan mereka.

Esposito mencatat bahwa dalam perkembangan sejarah, konsep otoritas dan legitimasi Tuhan ini menjadi biang keladi konflik sektarian. Penguasa sekte, baik itu Sunni dan Shi’ah berusaha mendasari otoritas politik dengan merujuk pada al-Qur’an dan Sunnah. Akibatnya terjadi perebutan otoritas dan legitimasi Tuhan, umumnya antara teori sistem Khilafah dan sistem wilayat al-faqih. Esposito menilai hal ini disebabkan kurangnya tradisi dan pemahaman terhadap pluralisme. Sedangkan Adonis berpendapat bahwa hukum yang dibarengi dengan otoritas politik akan berbentuk koersif.

Ira Lapidus menambahkan bahwa ada pembedaan yang jelas antara institusi negara dan agama dalam masyarakat Islam. Bukti sejarah memperlihatkan bahwa tidak ada satu model institusi agama dan negara yang baku dalam masyarakat Islam; yang ada adalah sejumlah model yang saling bersaing. Bahkan, dalam setiap model terdapat ketidakjelasan mengenai bagaimana distribusi otoritas, fungsi dan hubungan antara institusi-institusi tersebut. Pergulatan syari’ah historis–meminjam istilah An-Na’im–yang menimbulkan pencarian otoritas keagamaan dalam mazhab-mazhab fiqh sebagai ciri dari ketidaksempurnaan hukum Islam itu sendiri. Ada sebuah adagium menarik bahwa ‘hukum itu cacat sejak dilahirkan’, artinya hukum tidak tercipta dalam suatu ruang hampa yang bebas nilai, hukum lahir melalui ‘pertempuran’ otoritas dalam situasi politik yang cenderung memihak dan subyektif untuk keuntungan golongan tertentu, maka hukum Islam bisa dikatakan ‘asli’ tetapi artifisal.

Argumen ini didasarkan pada perubahan-perubahan sosial yang terjadi dalam masyarakat muslim dewasa ini yang mensyaratkan dinamisasi hukum Islam ketika berhadapan dengan realitas sosial. Sedangkan benturan utama yang dihadapi adalah pada persoalan klaim sebagai agen-agen yang mempunyai otoritas penuh untuk menafsirkan dan memahami Teks sampai pada level metamorfosis gagasan ke dalam praksis sosial. Di samping itu adalah pola pikir atau mind set elitis yang gemar menganggap dan menciptakan kelompok-kelompok atau generasi tertentu sebagai ‘yang otoritatif’, bahkan membela mati-matian.

Menurut Wael B. Hallaq, hukum Islam pada dasarnya tidak dapat dipahami tanpa adanya kesadaran yang memadai dari struktur otoritas yang mendasari hal tersebut, terutama dalam hal penerapan hukum. Hallaq berpendapat bahwa konstruksi otoritas di dalam Islam bukan berarti kebetulan atau akibat dari proses historis semata, melainkan bisa jadi disengaja dan kental dengan anasir politik. Otoritas dikonstruk melalui proses dissosiasi terhadap para imam pendiri mazhab. Mereka disterilisasi dari semua yang telah dihasilkan pendahulunya oleh para pengikutnya. Padahal pada masa imam-imam mazhab itu, mereka tidak bisa melepaskan metode dan produk hukum di tempatnya berdomisili. Mereka juga mengambil pendapat-pendapat dari ulama sebelum mereka, akan tetapi mengapa para imam tersebut lantas menepati posisi puncak tertinggi dalam hierarki mazhab? Di sinilah pergeseran makna mazhab terjadi dari personal kepada doktrinal. Serangkaian peristiwa pada masa formatif mazhab-mazhab telah menghasilkan tradisi yang disakralkan. Tradisi ini kemudian dibakukan dan disucikan dengan menisbatkannya pada wahyu dan hukum rumusan ilahi.

Proses konkretisasi hukum pada era mazhab-mazhab fiqh dilakukan dengan menggunakan metodologi yang cukup kompleks secara bertingkat ke bawah; al-Qur’an, Sunnah, Qiyas, dan Ijma’, dan beberapa teknis lainnya, semua itu merupakan reduksi kesekian dari syari’ah yang ‘asli’ sebagai realitas langit. Peran aktif mereka dalam menelurkan hukum Islam dikenal dengan istilah fatwa (fatawa: plural). Pendapat para ahli hukum ini pada awalnya mengandung otoritas persuasif, tidak bersifat mengikat. Setiap orang bisa mengikuti fatwa dari seorang ahli hukum (jurist) atau tidak. Semenjak para imam mazhab itu tiada dan munculnya keinginan dari para ulama untuk ‘menutup pintu ijtihad’ maka kemudian dibuatlah beberapa tipologi mujtahid dan cara mengklasifikasikannya. Fenomena ini seperti mendapatkan sebuah legitimasi yang dianggap bisa menolong, yaitu dengan menganggap bahwa doktrin hukum yang dihasilkan adalah produk tekstual yang sempurna dan universal. Karena hukum Islam adalah jalan yang diwahyukan Tuhan maka ia bersifat abadi, teralienasi dari ruang dan waktu, sehingga masyarakatlah yang harus menyesuaikan diri dengan hukum tersebut. Akibatnya adalah perkembangan hukum Islam yang merupakan produk antara wahyu dan sumbangsih pemikiran manusia menjadi kabur. Perbedaan yang terjadi antara realitas dalam masyarakat dan konsep ideal dalam Teks, dinilai sebagai penyimpangan masyarakat dari hukum. Oleh karena itu umat Islam lebih suka menjaga keutuhan kesempurnaan hukum Islam dalam teori, kendati hal tersebut tidak mungkin diterapkan dalam praktik. Maka konsekuensinya jika suatu hukum dinilai tidak adil oleh masyarakat, tetapi demi ‘kepatutan’ akan tetap diterima sebagai risiko.

Ketika peradaban fiqh kian menggumpal dan bertahan selama ratusan tahun, hukum Islam yang hadir dewasa ini justru sebuah bangunan hukum dalam bingkai prosedural yang rigid (kaku). Dengan makin mengkristalnya doktrin-doktrin hukum Islam yang didengungkan oleh mazhab-mazhab hukum, pada gilirannya telah menyebabkan tertutupnya pintu Ijtihad dan diidealkannya capaian-capaian masa lampau. Mazhab-mazhab ini pun menjadi entitas kolektif dan otoritatif di tengah masyarakat.

Di dunia Islam, kesenjangan yang terjadi antara teori dan praktik yang diungkapkan dalam wacana fiqh dan politik coba untuk direkatkan kembali. Kelompok-kelompok dalam komunitas muslim yang bertahan hingga sekarang saling mengklaim sebagai yang paling otoritatif. Selama bertahun-tahun otoritas mereka menjelma ke dalam pelbagai institusi; seperti ulama, imam, kiai, mufti, dsb. Institusi-institusi ini berfungsi sebagai intermediasi di antara komunitas muslim dan dapat mengeluarkan ketetapan akhir tentang apa yang harus dilakukan. Karena hanya mereka yang dapat mengklaim sebagai pemilik pengetahuan yang benar, sekalipun setiap individu muslim dapat dengan mudah membaca teks-teks agama.

Sedangkan kaitannya dengan formulasi hukum di tengah masyarakat, perlahan tapi pasti, mereka membangun kembali metodologi dan pendekatan terhadap teks agama. Meskipun demikian, bangkitnya pelbagai macam gerakan pemikiran keagamaan, baik itu pada tataran keilmuan sampai kepada praktik-praktik dalam masyarakat juga menimbulkan kontestasi di antara mereka. Dalam cakupan yang sempit, kontestasi otoritas ini mengerucut pada otoritas akal sebagai pertimbangan-pertimbangan kemanusiaan untuk kesejahteraan manusia, dan otoritas wahyu sebagai intervensi dan perintah Tuhan.

Beberapa pengamat membuat kategorisasi untuk memetakan kecenderungan-kecenderungan tersebut, ada yang membaginya ke dalam gerakan-gerakan tradisionalis, revivalis dan liberalis. Ada pula yang membaginya ke dalam transformatik, reformistik, dan ideal-totalistik. Namun ada pula yang secara simplifikasi hanya membagi kepada dua kecenderungan arus utama, yaitu fundamentalisme dan moderatisme atau gerakan Islam puritan dan gerakan Islam moderat. Sementara kaitannya dengan reposisi agama di tengah dinamika sosio-politik, terdapat dua paradigma utama; Pertama, yang menempatkan agama (baca: Islam) semestinya mengikuti arus perubahan sosial. Kedua, pendapat yang menilai bahwa manusia hari ini semakin menjaga jarak dengan agama, maka arus perubahan sosial semestinya menyesuaikan diri dengan agama.

Meskipun di dalam komunitas muslim diyakini bahwasannya tidak ada sistem kependetaan dalam Islam, tetapi ironisnya sampai sekarang masih terjadi peristiwa pelarangan dan diskriminasi terhadap interpretasi-interpretasi yang dianggap menyalahi mainstream pemikiran keagamaan, hal ini seolah menyatakan secara tak tertulis keberadaan sistem tersebut. Tatkala metode-metode interpretasi terhadap teks kemudian menjadi mapan dan digunakan sebagai kriteria penentu, metode-metode tersebut menjadi prinsip-prinsip yang dengannya ‘interpretasi yang benar’ dan ‘yang salah’ bisa dibedakan –‘yang benar’ menjadi bagian dari ortodoksi, dan ‘yang salah’ dianggap suatu deviasi atau heresi (bid’ah). Sampai sini semakin jelas bagaimana peranan otoritas dalam mendefinisikan ortodoksi itu sendiri.

Salah satu yang menjadi perhatian dalam dasawarsa terakhir adalah maraknya praktik otoritarianisme sebagai akibat dari sikap sewenang-wenang dalam memegang otoritas. Dalam diskursus keislaman, otoritarianisme nampak pada proses penafsiran dengan tindakan mengunci dan mengurung kehendak Tuhan atau kehendak teks dalam sebuah penetapan makna, yaitu penafsiran otoriter yang menganggap hasil penafsirannya memiliki kompetensi yang sama dengan teks asal. Akan tetapi otoritarianisme juga dapat ditimbulkan dari ketidakmampuan seseorang dalam mencapai tingkatan ‘yang otoritatif’ sehingga hal tersebut mempengaruhi kepribadian seseorang, atau dalam bahasa Freud, mengalami frustasi dan kemudian meminta kompensasi pada masyarakat–untuk menutupi kelemahannya–dengan bentuk tindakan-tindakan antagonis dalam masyarakat, seperti rasa ingin menguasai atau berkuasa, praktik-praktik kekerasan, dan agresifitas berlebihan.

Menurut Antony Black, teks-teks fondasi Islam memungkinkan sebagian orang untuk menegaskan kembali hubungan yang sangat ‘khas’ antara kekuasaan politik dan otoritas agama dalam bentuk-bentuk yang lebih keras dan lebih tegas. Maka bukan mustahil jika gerakan-gerakan fundamentalisme Islam semakin berkembang. Noam Chomsky berpendapat bahwa fundamentalisme keagamaan (religious fundamentalism) tidak akan terjadi pada negara atau komunitas yang mengalami proses modernisasi. Jika dalam pemikiran Weber bahwa agamalah yang berjasa melahirkan perubahan sosial yang paling spektakuler dalam sejarah peradaban manusia, tetapi menurut Chomsky, pendapat tersebut tidak dapat berlaku sepenuhnya di era modern. Contohnya saja Kapitalisme yang dulu dilahirkan oleh semangat agama, tapi kapitalisme yang jaya hari ini tidak lagi memerlukan dukungan agama. Demikian pula dengan fundamentalisme keagamaan yang seharusnya memudar seiring kemajuan zaman, tetapi justru gerakan tersebut lahir dari modernisasi itu sendiri.

Adapun Stephen Sulaiman Schwartz secara implisit dalam bukunya seolah menegaskan bahwa gejala fundamentalisme keagamaan justru dapat ditemui dalam masyarakat yang mengalami proses modernisasi, perkembangan teknologi, dan industrialisasi. Bahkan gerakan fundamentalisme keagamaan tidak selalu dilatarbelakangi motif keagamaan itu sendiri, tapi bisa jadi motif yang lain, seperti kepentingan ekonomi dan politik. Dalam teori Marketizing Religion, Keith A. Roberts mengatakan bahwa agama sama seperti institusi sosial lain dalam masyarakat, memerlukan saluran untuk tumbuh berkembang, dan modernisasi menyediakan fasilitas untuk hal tersebut. Maka di era modern inilah, agama semakin mengukuhkan posisinya. Apapun paham, atribut, simbol dan ritual keagamaannya.

Pernyataan senada datang dari Richard Higgot bahwa di era global seperti sekarang, negara-negara di dunia bukanlah faktor penentu perubahan zaman, melainkan terdapat aktor-aktor selain negara (non-State) yang berperan dalam melahirkan perubahan. Lalu bagaimana dengan agama, apakah saat ini agama mempunyai peranan besar dalam proses perubahan sosial, atau justru masyarakat itu sendiri yang kian berubah mengikuti perkembangan zaman. Jika demikian kenyataannya, paling tidak hingga hari ini, terdapat tarik-menarik kepentingan yang begitu besar. Pendapat berbeda datang dari Bryan S. Turner bahwa fundamentalisme keagamaan bukanlah anti-modernisasi, akan tetapi anti-westernisasi dan sekulerisasi. Sehingga modernisasi pada dasarnya tidak menjadi bahaya laten bagi gerakan ini. Justru persoalan utama yang kerap diangkat oleh mereka adalah yang berkaitan dengan hubungan antara pluralisme kultural, estetika, dan nilai-nilai tradisi lokal. Dengan demikian, fundamentalisme keagamaan lebih merupakan suatu defensi kultural modernitas melawan postmodernitas. Berbeda dengan Bassam Tibi yang secara gamblang menuding fundamentalisme keagamaan sebagai ideologi politik untuk mendapatkan hegemoni dalam struktur politik global. Ideologi politik ini difungsikan untuk melawan dan menggantikan sistem sekuler. Gerakan ini bukan hanya menentang kekuatan Barat yang dipercaya sebagai patron pemerintahan sekuler anti-Islam, tetapi juga diperuntukkan guna memelihara kontrol sosial pada tingkat lokal.

Akan tetapi tidak selalu terdapat kesamaan pendapat dalam memandang fenomena fundamentalisme keagamaan ini, seperti Yusuf Qardhawi yang lebih percaya bahwa problem pemahaman terhadap ajaran dan doktrin agama merupakan faktor dominan dari munculnya fundamentalisme. Namun tidak menutup kemungkinan juga terdapat faktor eksternal; seperti rasa khawatir bahwa modernitas akan mengikis bahkan memberangus keyakinan religius dan moralitas.

Pernyataan senada datang dari Ernest Gellner yang secara lugas memahami fundamentalisme sebagai ketaatan literal terhadap agama, tanpa kompromi, pelenturan, reintepretasi maupun pengurangan. Tidak jauh berbeda, Bruce Lawrence melihat fundamentalisme sebagai penegasan otoritas keagamaan yang holistik dan absolut, yang tidak memberikan tempat bagi kritisisme serta reduksi dan diekspresikan lewat tuntutan kolektif agar prinsip-prinsip ketaatan dan etika spesifik yang diambil dari teks suci secara umum dikenal dan secara legal dijalankan.

Salah satu varian dari fundamentalisme Islam di abad modern ini, sebagaimana yang dinyatakan oleh Olivier Roy adalah sebuah gerakan yang dikenal dengan sebutan salafy. Pelbagai pendapat mengatakan bahwa terdapat keterkaitan erat secara ideologis antara gerakan ini dengan paham wahabi. Perlu dicatat bahwasanya terdapat pendapat yang mengatakan gerakan neo-salafisme atau wahabi ini sebagai sekte tersendiri selain Sunni dan Shi’ah, sekalipun dalam ajarannya terdapat kesamaan dengan sekte mayoritas seperti Sunni akan tetapi terdapat perbedaan mendasar, di mana mereka menyebarkan ajaran mereka secara kaku, tekstualis, dan menempatkan akidah di atas segalanya dengan pemahaman yang keras terhadap segala bentuk pelanggaran nilai-nilai agama.

Pemikiran mereka, sebagaimana kalangan konservatif pada umumnya berpijak pada paradigma monolitik dalam memahami ajaran agama, sehingga sikap yang melihat perubahan dan ketidak beraturan sebagai sesuatu yang menakutkan. Maka yang dipergunakan adalah cara-cara pengendalian melalui pendekatan keamanan, keseragaman, dan keberaturan total. Oleh karena itu mereka sangat antusias sekali dalam mengedepankan klaim-klaim Sunnah versus Bid’ah. Perebutan otoritas untuk memberikan makna dianggap semakin menjauhkan umat ke dalam jurang perpecahan, sehingga solusi terbaik adalah menegasikan penafsiran-penafsiran yang dianggap menyimpang sebagai suatu kesesatan bersamaan dengan penegasan otoritas tunggal yang berada di bawah panji generasi salaf. Namun pertanyaannya kemudian adalah bagaimana dengan otoritas mereka sendiri dalam menetapkan praktik apa saja yang mengandung heresi (bid’ah) dan siapa saja yang tergolong di dalamnya?

Dengan demikian dapat dipahami bahwa bid’ah merupakan suatu bentuk kebijakan, dan setiap penerbitan kebijakan pastinya dipengaruhi oleh berbagai hal di dalam komunitas kebijakan, yakni para pihak yang membuat dan menjalankan kebijakan tersebut. Ketika otoritas agama mengeluarkan suatu kebijakan, maka dibutuhkan suatu mekanisme dan strategi agar kebijakan tersebut dipraktekkan, diterima dan dilihat oleh khalayak sebagai kebenaran, karena kebenaran berada di dalam jaringan relasi-relasi sirkular dengan sistem kekuasaan yang memproduksi kebenaran serta menjaga kebenaran tersebut.

Abdelmajid Sharfi berpendapat bahwa bid’ah bukanlah praktik deviasi terhadap norma dan ajaran agama, melainkan juga sebagai sebuah norma yang dipraktikkan oleh umat beragama. Ortodoksi merupakan produk fosilisasi dogmatis dari generasi-generasi awal yang dijadikan preseden oleh umat muslim setelahnya. Akan tetapi masyarakat itu sendiri mengalami perubahan dan perkembangan, masyarakat bukanlah mesin yang telah diprogram terlebih dahulu teknik dan mekanismenya, berbeda dengan ortodoksi yang merupakan produk dari otoritas sekaligus mendefinisikan otoritas itu sendiri. Dengan demikian, masih menurut Sharfi, doktrin mengenai bid’ah adalah doktrin yang dimapankan oleh otoritas-otoritas dari tiap kelompok, organisasi atau institusi keagamaan yang dimaksudkan untuk meminimalisir adanya bentuk latency yang mengancam eksistensi otoritas mereka dan ortodoksi yang mereka bangun.

Kebijakan, ide, konsep, atau gagasan tidaklah berdiri sendiri, melainkan sebuah diskursus yang menentukan apa yang dikatakan dan siapa yang bisa mengatakannya. Slogan anti bid’ah yang mereka sarikan dari teks hadis, “…Setiap bid’ah sesat, dan setiap kesesatan tempatnya berada di neraka.”  Makna yang tertangkap dari pernyataan itu bukan hanya sekedar teks, tetapi terdapat konteks tertentu yang mempengaruhi cara berpikir dan bertindak mereka sekaligus efek yang ditimbulkan. Seperti tradisi talqin dan tahlil selama atau setelah pemakaman. Kedua istilah ini menjadi isu sentral perdebatan antara kaum reformis dan tradisionalis. Pada 1929, A. Hassan menolak talqin atas beberapa dasar. Pertama, al-Qur’an (Q.S. 27: 80, dan 35:22), yang menurutnya teks tersebut menunjukkan bahwa orang mati tidak bisa lagi diajar, dan bahwa taubat orang yang sudah mati tidak diterima (Q.S. 4:7). Kedua, tidak ada satu ayat al-Qur’an atau satu hadis yang menganjurkan talqin. Ketiga, talqin tidak pernah dipraktekkan oleh Nabi, para Sahabat, atau para pendiri mazhab hukum. Menurut sebuah riwayat oleh Ibn Hanbal, dia tidak pernah melihat satu orang pun yang melaksanakan talqin kecuali orang Syiria ketika Abu al-Mughirah meninggal. Yang jelas, menurut Hassan, melaksanakan talqin dan tahlilan merupakan perbuatan sesat.

Pada sisi lain, kalangna tradisionalis mendukung praktik talqin juga atas beberapa dasar. Abbas, misalnya mengelaborasi argumen-argumen dari para ulama Syafi’iyyah, seperti al-Nawawi, Syarbini, dan Ibn Hajar al-Haitsani, yang mengeluarkan fatwa bahwa membaca talqin adalah sunnah, berdasarkan hadis Abu Umamah al-Bahili yang meriwayatkan bahwa Nabi Muhammad pernah menganjurkan para sahabatnya untuk membacakan talqin. Walau demikian, fatwa-fatwa ini berdasarkan pada hadis yang dha’if atau lemah karena salah satu periwayatnya adalah ‘Ashim ibn Ubaidillah yang memiliki kelemahan dalam segi menghafal hadis. Namun hadis itu dipakai lantaran dua alasan; pertama, di kalangna mazhab syafi’i, sebuah hadis yang lemah bisa dipakai untuk fadhail amal. Alasan kedua, status hadis Abu Umamah terangkat menjadi hasan lantaran adanya dukungan dari data-data lain. Selanjutnya Abbas berpendapat bahwa para mufassir generasi tabi’ tabi’in, seperti al-Thabari dan al-khazin menafsirkan kata al-mawta dalam Q.S. 27:80 dan 30:52, sebagai “orang-orang kafir,” dan bukan secara literal sebagai “orang yang mati.” Demikian pula kata man fi al-qubur, seperti yang terdapat dalam Q.S. 35:22, ditafsirkan sebagai “orang-orang kafir,” dan bukan sebagai “orang-orang yang berada dalam kubur.” Jadi, menurut Abbas, ayat-ayat ini tidak memiliki hubungan dengan masalah talqin.

Kemudian perayaan mawlid Nabi untuk memeringati kelahiran Nabi, menurut orang-orang yang mengatakan bahwa perayaan tersebut adalah bid’ah, karena menganalogikan bentuk perayaan sebagaimana yang dilakukan oleh orang Kristen ketika merayakan kelahiran Yesus. Pandangan mereka berdasarkan hadis yang mengatakan bahwa barang siapa yang mengikuti suatu kaum, maka mereka termasuk ke dalam kaum tersebut. Tradisi mawlidan ini juga menjadi isu kontroversi di kalangan umat Islam Indonesia. Kendati demikian, Imam Muslim dalam Shahih Imam Muslim, meriwayatkan bahwa pada suatu ketika Nabi Muhammad sampai ke Madinah dan menemukan orang-orang Yahudi tengah berpuasa pada hari Asyura (hari ke-10 di bulan Muharram). Saat Nabi menanyai mereka, maka jawabnya: “Ini adalah hari ketika Tuhan menenggelamkan Fir’aun dan menyelematkan Musa. Karena itulah kami berpuasa di hari ini sebagai sebuah ungkapan rasa syukur kepada Tuhan yang maha agung.” Jadi, menurut Ibn hajar, sebagai sebuah ungkapan rasa syukur kepada Allah, maka bentuk-bentuk ibadah yang serupa dapat pula dilakukan untuk merayakan hari tersebut.

Kemudian sebagaimana yang dikatakan al-Suyuthi dalam bukunya Husn al-Maqashid fi ‘Amal al-Mawlid, bahwa al-Bayhaqi meriwayatkan hadis berdasarkan Anas Ibnn Malik bahwa Nabi melaksanakan penyembelihan kambing untuk hari lahirnya setelah ia ditunjuk menjadi seorang Nabi. Beliau melakukan ini walau ia tahu bahwa pamannya, Abu Lahab ibn Abd al-Muthalib, telah melaksanakan pemotongan kambing untuknya pada hari ketujuh setelah Nabi dilahirkan, dan ritual pemotongan kambing setelah kelahiran anak atau aqiqah sejatinya adalah tradisi budaya Arab yang telah turun temurun dilakukan oleh penduduk Mekkah. Kemudian dalam Shahih Bukhari (jilid 7, 25-26) dan dikutip pula oleh Syamsuddin Ibn Nashiruddin al-Dimasyq dalam bukunya Mawrid al-Shadi fi Mawlid al-Hadi, dikatakan bahwa Abu Lahab, paman Nabi yang langsung dijebloskan Allah ke dalam neraka, tetap mendapat keringanan untuk meminum air dari kedua ibu jarinya setiap malam isnain (senin). Keringanan ini diberikan lantaran Abu Lahab adalah orang yang paling bergembira ketika mendengar kabar perihal kelahiran Muhammad, dari berita yang disampaikan budak perempuannya, Suaibah. Abu Lahab langsung memerdekakan budak itu sebagai ungkapan rasa senangnya, dan setelah itu Suaibah juga pernah menyusui Muhammad. Analogi dari riwayat ini, menurut al-Suyuthi, menunjukkan bahwa kalau orang kafir seperti Abu Lahab saja diberikan keringanan lantaran merasa gembira dengan kelahiran Nabi, sudah barang tentu rahmat yang lebih besar menyertai umat Islam yang tidak cuma gembira dengan kelahiran itu, tapi sekaligus menunjukkan cintanya kepada Nabi melalui perayaan mawlid.

Menurut Ahmad Haris dalam bukunya Islam Inovatif: Eksposisi Bid’ah Dalam Teori dan Praktik, menyetarakan antara bid’ah dengan kesesatan bukan cuma tak mendasar, tetapi merusak semangat ijtihad yang sudah terbukti sebagai kekuatan dinamis dalam masyarakat Islam dari sejak awal. Muslim Indonesia adalah contoh umat Islam yang terkenal memiliki ragam tradisi agama dan budaya, namun telah berusaha memertahankan tradisi-tradisinya itu dan melacak asal-muasalnya lewat jalan ijtihad dari sumber-sumber Islam yang dapat diterima. Ijtihad melahirkan perbedaan pendapat yang seharusnya bisa menjadi rahmat bagi umat Islam.

 

Sumber: kupretist.wordpress.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed