Oleh: Kajitow Elkayeni
Jika FPI tak bisa memahami pentingnya Tan Malaka bagi Indonesia, ia adalah organisasi paling tolol di negeri ini. Dan peristiwa pembubaran acara pentas monolog di Bandung dengan tema Tan kembali menegaskan, ada yang salah dengan Jawa Barat. Apakah pernyataan ini termasuk SARA? Kita bicara data.
Jawa Barat menduduki peringkat pertama soal intoleransi beragama. Kita lihat bagaimana gubernur dan wakilnya dipilih. Jargon hapal quran dan terkenal di layar kaca jadi tolok ukur. Hasilnya, begitu ada banjir, Aher, gubernur barokah itu mengambil langkah cerdas, berdoa agar hujan jangan diturunkan sekaligus. Begitu juga ketika kali penuh sampah setembal satu meter itu bikin geger, gubernur pilihan rakyat Jawa Barat itu akan mengeluarkan fatwa haram buang sampah sembarangan. Subhanallah, bijak sekali.
Saya percaya bahwa wakil rakyat atau pemimpin suatu daerah mencerminkan pola pikir rakyatnya. Jika wakil rakyat atau pemimpin korup, perlu diperiksa, kebiasaan korup di tengah rakyatnya. Jika wakil atau pemimpinnya bodoh, patut diperiksa juga, kondisi pemilihnya bagaimana. Saya tidak mengatakan Aher bodoh, tapi kalau lucu iya. Maka ketika keluar pernyataan lucu itu, patut ditelusuri juga, mungkin warganya juga lucu-lucu. Setidaknya, mayoritas mereka menerima kelucuan itu.
Kembali pada FPI, organisasi yang mirip rumah makan padang ini terus membuka cabang di mana-mana. Di beberapa daerah di Jawa Tengah ia diusir dan dilawan karena arogan. Tapi alhamdulillah, di Jawa Barat ia mendapat tempat. Kita tak perlu heran. Sejak DI/NII berkobar di Jawa Barat, api dalam sekam terus hidup sepanjang jaman. Meskipun pemberontakan itu telah padam. Fundamentalisme memiliki akar penopang yang kokoh. Maka tak heran banyak perempuan memakai burqah di beberapa tempat, bahkan sebagian jamaah celana cingkrang berhasil menguasai masjid di Bogor. Kantong-kantong fundamentalis tumbuh subur. Dana asing masuk dengan deras pula. Bukan hanya dari kawin kontrak orang arab di Puncak. Tapi petro dolar wahabisme.
Di Jawa Tengah juga ada radikalisme serupa. Baasyir, Abu Jibril, dll, cukup sebagai bukti. Grup santoso yang bikin heboh Sarinah malah lari ke luar jawa. Tapi Jawa Barat tetap unik, karena ada gubernur barokah dari partai barokah, yang diukur dari kekuatan hafalannya. Soal kecakapannya dalam memimpin, itu nomor 79. Soal provokasi tentang syiah pada Saudi wahabi di youtube itu hanya dianggap kabar burung. Provinsi satu ini memang mantap sekali.
FPI dengan Rizieq sebagai dedengkotnya, adalah jamaah yang paling sibuk. Soal isu apa saja mereka masuk. Apalagi jika berkaitan dengan bau komunisme. Tanpa mendapat mandat dari siapapun mereka mengklaim berhak mewakili islam. Polisi dikepret saja sama mereka. Maka ketika tak satupun payung hukum yang membenarkan tindakan ormas anarkis ini, aparat penegak hukum yang mestinya melek hukum, malah sering mengawal mereka dalam proses sweeping. Aparat saja menunjukkan rasa takutnya jika berhadapan dengan FPI. Hebat sekali. Ini barangkali karena karisma ketua FPI yang barokah itu.
Lalu Rizieq ketua FPI yang juga pendatang di Indonesia itu sering merasa paling pribumi. Menyoal Ahok misalnya, isu yang sering dicuatkan adalah perkara cina-kristennya. Soal Tan Malaka, maka isu komunisme yang dijadikan tajuk. Ia barangkali lupa, Tan adalah salah satu pahlawan nasional. Pribumi asli yang berjuang dengan darah dan air mata. Saat Rizieq yang pendatang itu enak-enakan ongkang-ongkang kaki di tanah air ini. Lalu ketika sekelompok orang hendak membuat acara seni dengan tema Tan Malaka, sekelompok orang yang mengaku dari FPI datang mebubarkan. Amazing.
Saya jadi ragu, Indonesia ini negara hukum atau bukan ya? Ada presidennya tidak ya? Ada aparat hukumnya tidak ya? Ada umat islam yang toleran tidak ya? Jika ada, kenapa ormas kutu kupret macam FPI dengan bebas berkeliaran dan berbuat keonaran? Maka pada akhirnya saya perlu bertanya pada Rizieq, minum jamu apa? Eh maksud saya, bekingnya siapa ya?
(Sumber: Facebook Kajitow Elkayeni)
Comment