by

Berkaca dari Amerika

Dengan menjadikan negara sebagai pelayan pasar, neoliberalisme memberi terlalu banyak pada kebebasan individu, melupakan bahwa individualisme yang bersifat predator juga bisa membawa sumber-sumber penindasan dan ketidakadilannya tersendiri. Neoliberalisme dengan doktrin pasar bebasnya juga mendorong pelarian modal Amerika bersama komplek-komplek industri manufakturnya ke berbagai negara lain yang lebih menguntungkan. Secara perlahan, hal ini mengempiskan peluang kerja kepabrikan bagi kelas pekerja kulit putih. Saat yang sama, peluang kerja di sektor-sektor pekerjaan “kasar” lainnya sudah diambil oleh para imigran baru.
Untuk pertama kali dalam sejarah Amerika Serikat, kelas pekerja kulit putih merasa sesuram kulit hitam di masa lalu. Saat yang sama, kulit berwarna dengan jumlah yang terus bertambah memiliki posisi tawar yang lebih tinggi. Ekspektasi politik yang meninggi bisa berubah menjadi frustrasi saat menghadapi diskriminasi laten dalam struktur dan budaya politik AS. Dua kelompok dipersatukan oleh rasa terancam dan saling tak percaya, yang dengan sulutan demagogi populisme ala Trumpisme atau propaganda black live matter bisa menjadi kobaran amuk.
Prahara Amerika memberi pesan moral. Pertama, daya sintas suatu negara memerlukan komitmen pada keadilan, baik secara domestik maupun internasional. Jangan sampai kepentingan perseorangan, golongan dan negara membuat kamu berbuat tidak adil, karena setiap ekspresi ketidakadilan akan melahirkan karma ketidakadilan yang lain.
Kedua, kuasa harus dipertahankan sebagai sesuatu yang bersifat timbal-balik; tidak menjelma sebagai relasi dominasi yang bersifat satu arah. Harus dihindari pemusatan “modal finansial”, “modal politik” dan “modal budaya” di satu tangan, yang bisa menghancurkan rasa saling percaya dan persaudaraan sebangsa. Untuk itu, setiap desain sistem politik dalam kerangka transformasi sosial harus mengupayakan terjadinya inklusi ekonomi, inklusi politik dan inklusi budaya.
Ketiga, bagi masyarakat majemuk dengan multi-identitas seperti Indonesia, model multikulturalisme kosmopolitan ala Amerika, yang hanya menekankan kesamaan hak-hak individu tampaknya tidak memadai. Masalah multikulturalisme bisa dijelaskan dengan fakta bahwa setiap warganegara, bahkan jika dipandang sebagai subjek hukum, bukanlah individu-individu abstrak yang tercerabut dari akar-akar sosialnya. Pengakuan terhadap hak-hak budaya kelompok, terutama golongan minoritas, harus dibuka terlebih dahulu sebagai prakondisi menuju pembentukan individu warganegara yang bisa melampaui identitas etniknya (post ethnic condition).
Multikulturalisme Indonesia berbasis konsepsi “bhinneka tunggal ika” merupakan pilihan yang lebih tepat. Di satu sisi, Indonesia mengakui ”model pluralis” dengan mengakui hak-hak aneka kelompok etnis-budaya untuk mempertahakan identitasnya masing-masing. Di sisi lain, Indonesia juga mengantisipasi ”model kosmopolitan”, dengan cara mendorong setiap individu dari berbagai kelompok identitas untuk saling berinteraksi dan berpartisipasi di ruang publik dengan sama-sama menjunjung keyakinan, nilai, simbol dan konsensus kewargaan.
Sumber : kompas.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed