by

Beragama Melampaui Formalisme dan Substansialisme

Sementara itu, kaum substansialis menganggap agama bukan segalanya. Bagi mereka, spiritualitas jauh lebih utama. Dan memang ini adalah cirinya: mereka suka membedakan antara agama dan spiritualitas, seolah yang terakhir lebih murni daripada yang pertama. Sudah tentu mereka melihat ritual, syariat, liturgi, kanon, dan berbagai teks ajaran agama lainnya sebelah mata. Dalam keseharian mereka sering disebut sekuler, pluralis, atau liberal. 

Namun mari kita perhatikan: baik kaum formalis maupun substansialis, dengan caranya sendiri-sendiri, merasa lebih dekat dengan Tuhan. Mereka sama-sama yakin bahwa pemahamannya mengenai agama adalah yang paling benar. Untuk mencapai keyakinan itu, anggota masing-masing mengklaim bisa melakukannya sendirian dengan akal-pikiran. Institusi keulamaan atau kepausan dianggap produk masa lalu yang harus ditinggalkan. 

Dalam kenyataannya baik kelompok formalis dan substansialis saling menyerang. Kaum formalis menuduh sekularisme, pluralisme, dan liberalisme adalah kebejatan moral. Pada saat yang sama kaum substansialis menyebut ritual, syariat, atau liturgi sebagaimana dijalankan oleh kaum formalis sebagai kedangkalan intelektual. 

Masalahnya baik kaum formalis maupun substansialis sama-sama kurang membaca. Tanpa merasa perlu belajar filsafat Barat, misalnya, secara baik dan benar, kaum formalis ujug-ujug menyerang sekularisme, pluralisme, dan liberalisme. Di sisi lain, tanpa merasa peru belajar ilmu-ilmu agama secara sungguh-sungguh, misalnya, kaum substansialis meremahkan arti penting ritual, liturgi, atau kanon bagi mereka yang menjalankannya. 

Singkatnya, menurut saya, pijakan kalangan formalis maupun substansialis dalam beragama adalah sekadar “common sense”. Seringkali dasarnya hanya rasa-merasa, pikiran-pikiran yang berkelebat sebentar, atau bahkan tontonan dan tulisan yang viral di media sosial, bukan pembacaan terhadap khazanah filsafat dan ilmu-ilmu yang terentang dalam sejarah pemikiran. Akibatnya opini yang muncul dari keduanya lebih banyak berupa bunyi-bunyian yang timbul-tenggelam daripada argumen-argumen yang berumur panjang.

 

(Sumber: facebook Amin Mudzakkir)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed