by

Beragama Harus Tambah Arif Bukan Makin Bodoh

Maka saya pun berucap penuh penghakiman, “Karena memang itulah kepribadian sebagian besar dari kita. Frekuensi yang sama.”

“Bisa jadi. Tetapi bisa juga karena kebodohan. Acara-acara kebencian itu begitu heboh, serangkaian kata-kata kebencian yang diucapkan berulang kali. Repetitif. Menghipnotis….”

Saya mengangguk. “Apakah gaya bicara yang tenang, kalem, ilmiah sulit dimengerti?”

Teman mengangkat bahu. “Itu juga pertanyaanku. Aku pribadi lebih suka bercakap-cakap dan mendengarkan orang yang tenang. Dari segi insting primitif, bagiku yang tenang itu tidak mengancam. Seperti saat berpapasan dengan ular, kita harus setenang mungkin. Ular menangkap gerakan kita sebagai agresivitas yang mengancamnya. Ular cenderung menyerang orang yang tak tenang…. “

” Hihihihi, “saya tertawa mengikik.” Itu kita, karena kita bersifat seperti ular. Mereka mungkin lebih mirip hewan lain. Seperti kambing yang suka mengembik, atau bebek yang ribut, atau anjing peking dan anjing kecil lainnya yang selalu ribut. Beda dengan Herder yang tenang…”

Kami tertawa bersama. Melanjutkan pembicaraan tentang kemungkinan penyelesaian dari semuanya adalah pendidikan budi pekerti saat anak-anak. Sebab banyak dari kita begitu tak berpengetahuan tentang nilai-nilai, etika, moral dan telah menjadi pribadi yang enggan belajar. Sulit diberi masukan dan subyektif. “Semoga kita tidak begitu.”

“Kau tahu,” kata teman lagi. “Hewan cerdas itu seringkali adalah predator. Dan predator jarang sekali hewan yang ribut. Selalu tenang.”

“Maksutmu kita tidak perlu takut pada sekumpulan bebek? Bagaimana bila jumlahnya banyak sekali? Bising luar biasa….”

“Gampang… Sebagai singa, sesekali memang harus mengaum.” Teman lalu nyengir. Nyengir kuda….

Sumber : Status Facebook Vika Klaretha

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed