by

Bencong Filipin

Oleh : Sumanto Al Qurtuby

Salah satu yang saya amati sejak mendarat di Saudi adalah warga Filipina. Kaum migran dari Filipina ini cukup besar di kawasan Arab Teluk, termasuk Saudi. Sejak negara-negara Arab Teluk “kebanjiran duit” karena lonjakan harga minyak dunia (oil booms) pada 1970-an dan 1980-an, mereka membutuhkan banyak tenaga kerja asing untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang meroket.

Ketika “Perang Teluk” meletus: baik Perang Teluk antara Irak-Iran maupun Irak-Kuwait, banyak kaum migran asing bubar kembali ke negara mereka masing-masing. Tapi setelah perang selesai, mereka kembali didatangkan karena negara-negara Teluk, khususnya Uni Emirat Arab, Kuwait, dan Saudi, “kehabisan tenaga kerja”.

Kaum migran non-Arab yang banyak didatangkan di Arab Teluk biasanya dari India, Pakistan, Bangladesh, Sri Lanka, dan Filipina. Karena itu tidak heran jika mereka cukup dominan di kawasan ini dan membentuk “sindikat” tersendiri. Arab Teluk memang terkenal sebagai “daerah migran” non-Arab. Negara-negara Arab Teluk sendiri, daripada mendatangkan pekerja migran Arab, lebih aman dan nyaman mendatangkan pekerja migran non-Arab karena dianggap tidak berpotensi menciptakan “revolusi politik” dan “kekacauan sosial”. Karena kaum migran non-Arab ini lebih berorientasi pada ekonomi, maka dianggap tidak membahayakan stabilitas dan keamanan politik regional.

Seperti negara-negara Arab Teluk lain, Saudi juga kebanjiran kaum migran non-Arab dari India, Pakistan, Bangladesh, dan juga Filipina tadi. Mereka tersebar di berbagai kota besar di Saudi. Di kawasan tempat saya tinggal juga banyak warga Filipin. Sangking banyaknya kaum migran dari Filipina ini sampai-sampai ada sebuah kawasan di Al Khobar yang disebut sebagai “Little Manila”. Di kampusku juga cukup banyak warga Filipin, mereka pada umumnya bekerja sebagai staf administrasi, bukan tenaga edukasi, karena memang mereka dikenal sebagai “pekerja rajin” dan administrator yang lumayan. Selain itu, mereka juga bekerja di berbagai toko, sebagai perawat di rumah sakit, atau membuka usaha sendiri seperti salon, restoran, dlsb.

Salah satu hal menarik yang saya perhatikan dengan seksama tentang mereka adalah “perilaku keperempuan-perempuanan”. Meski tentu saja tidak semuanya tetapi cukup banyak saya perhatikan fenomena “bencong Filipin” ini. Cukup banyak dari segi dandanan dan gaya mereka yang “bences” banget bok. Harap dicatat bahwa mayoritas kaum migran (yang bukan “ekspat profesional”) adalah kaum laki-laki. Oleh pemerintah Saudi, mereka tidak dibolehkan membawa istri-istri mereka. Karena itu kaum migran di Arab Teluk didominasi oleh para lelaki.

Mungkin saja “kebencesan” itu akibat “efek samping” dan “efek depan” dari pergaulan dengan sesama lelaki itu. Sudah menjadi “rahasia publik” jika Arab Teluk yang merupakan “kawasan lelaki” adalah “rumah yang nyaman-aman” buat “kaum homo” dan “kaum bencong”. Di Barat, jika ada sesama lelaki (atau sesama perempuan) bergandengan tangan di publik, maka serta merta akan dicap “homo” tapi kalau di Arab jelas tidak ada masalah karena bergandengan tangan adalah simbol persahabatan. Mau chek-in hotel juga bebas bas mereka, karena tidak mungkin petugas hotel menanyakan ID suami-istri he he. Jadi sebetulnya, kawasan Arab ini “surga” buat mereka. Larangan hanya ada di atas kertas tetapi dalam praktekknya sangat susah untuk diterapkan…

Jabal Dhahran, Arab Saudi** (ak)
 

Sumber : Facebook Sumanto Al Qurtuby

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed