by

Benarkah Rp 80 juta Sekali Kencan?

 

Sebagaimana dalam dunia jual-beli narkoba, jual-beli pelacur artis (atau artis pelacur?), sama saja tarifnya. Yang sebenarnya bisa dengan transaksi 50 dibilangnya 100 atau 500. Itu biasa dalam dunia itu. Dengan cara itu perkembangan harga di dunia itu tak peduli dengan laju inflasi atau kondisi ekonomi.

Dalam kenyataannya, para pemakai jasa pelacur (untuk alasan HAM kita harus menyebutnya PSK, pekerja seks komersial. Haduh, menyebut saja otak manusia sering alay) di dunia artis, bisa mendapatkan dengan harga tak sefantastis itu.

Cuma baik mucikari, pelacur, maupun pemakainya, suka menaikkan angka transaksi untuk gengsi mereka. Bagi mucikari dan pelacurnya, itu teknik dagang biasa. Bagi konsumennya, kadang dipakai sebagai taruhan, gengsi-gengsian, kompetisi. Seolah hebat kalau sudah bayar Rp 80 juta untuk ngesex. Besok setelah harga Rp 80 juta dianggap fantastis, akan ada lagi yang bertarif di atas itu.

Tarif pelacur berlatar profesi artis, konon tinggi. Ini juga kemudian dipakai sebagai modus. Mereka yang menjadi pelacur, mereka main film, atau sinetron, untuk menaikkan harga. Walau cuma figuran numpang lewat, mereka bisa klaim sebagai artis.

Dulu ketika menjadi orang yang punya kuasa untuk casting, tak sedikit perempuan menawarkan tubuhnya pada saya, agar dijadikan pemain. Bukan hal baru, bahkan menurut Pak Asmuni Srimulat, yang menjadi asisten Pak Teguh dan pernah bekerjasama dengan Ibu Srimulat (istri Pak Teguh), hal semacam produser merangkap mucikari, atau menjual anak buah ke pembeli jasa sex, biasa terjadi.

Sejak kita dikit-dikit ngomong agama, juga dikit-dikit ngomong moral dan HAM, makin sucilah kata-kata dan perilaku kita. Sehingga membicarakan masalah pelacuran pun, bisa dituding melanggar pasal kemanusiaan. Padahal, adakah perempuan bercita-cita jadi pelacur, pelayan sex dengan bayaran? Tak ada.

Tapi orientasi duniawi, ekonomi, dan pendidikan (serta agama) yang lamis, sering membuat kita lebih suka ribut kulitnya. Kadang hasilnya konyol, menghina-dina atau membela-bela pelacur. Dan abai membicarakan, kenapa pelacuran (prostitusi ding, biar sopan) ada di dunia?

Sama persis ketika kita membiarkan agama justeru dipakai menghina liyan, kepintaran dipakai alat jual diri pada kekuasaan, dan lebih-lebih pada yang hendak merebut kekuasaan.

Media mainstrem selalu hanya memberitakan peristiwa. Tak pernah menyentuh permasalahan, apalagi kehendak mengedukasi masyarakat, selain menyalahkan medsos. Tapi, setidaknya, ketangkepnya VA bisa membuat kita mengabaikan beberapa gosip politik sensitif.

(Sumber: Facebook Sunardian W)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed