by

Benarkah Nabi Muhammad Tidak Bisa Adil?

Masalah Pertama: Apakah Maksud Ayat 129 Adalah Nabi Muhammad Saw?

Saya ingin kutip bunyi ayat 129 dan terjemahannya:

‎وَلَنْ تَسْتَطِيعُوا أَنْ تَعْدِلُوا بَيْنَ النِّسَاءِ وَلَوْ حَرَصْتُمْ ۖ فَلَا تَمِيلُوا كُلَّ الْمَيْلِ فَتَذَرُوهَا كَالْمُعَلَّقَةِ ۚ وَإِنْ تُصْلِحُوا وَتَتَّقُوا فَإِنَّ اللَّهَ كَانَ غَفُورًا رَحِيمًا

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.

Terjemahan sederhana ayat 129 An-Nisa’, kata “kamu” dari asli teksnya bentuk jamak (antum/kalian) bukan “kamu” tunggal (anta), saya duga di sini Ust Arifin salah paham.

Bahwa “Dan kamu (kalian) sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian…” maksud kamu (kalian) adalah orang-orang muslim yang melakukan poligami, bukan “kamu” sama dengan Nabi Muhammad Saw. Karena ayat poligami hanya ditujukan kepada Umat Nabi Muhammad Saw dengan dibatasi 4 istri saja, sedangkan jumlah istri-istri Nabi Saw lebih dari empat. Ini yang disebut sebagai khushushiyyaat lil Nabi (kekhususan Nabi Muhammad Saw).

Apalagi dari pernyataan Ust Arifin seolah-seolah ayat ini ditujukan untuk Nabi Saw semata. Dari ucapan Ust Arifin di atas yang menafsirkan ayat ini dengan “Hei Muhammad, kau tidak akan bisa berbuat adil”. Pemahaman Ust Arifin di sini jelas-jelas sudah keliru.

Karena kalau ada ayat yang dimaksudkan secara khusus untuk Nabi, pasti menggunakan kata “anta” (kamu tunggal), bukan “antum” (kamu jamak/kalian).

Maka aneh sekali, sekaliber Ust Arifin yang sudah sangat terkenal–sampai-sampai Presiden Libya yang akhirnya ditembak mati rakyatnya, Moammar Ghadafi kepincut Ust Arifin dan membangun Ghadafi Islamic Center di Sentul, tapi sayangnya setelah Ghadafi jatuh, namanya dihapus–tanpa mengurangi penhormatan kepada Ust Arifin yang telah melakukan kesalahan fatal memahami teks Al-Quran yang sebenarnya masuk hal yang sangat dasar. Tidak bisa membedakan “anta” (kamu/tunggal) dengan “antum” (kamu/kalian/jamak).

Dan kalau kita membaca kitab-kitab tafsir, tidak ada penafsir yang berani menyebut “kamu tidak bisa berbuat adil” maksudnya kepada Nabi Muhammad Saw.

Ayat tadi dijadikan peringatan kepada kaum muslim yang poligami yang harus berbuat adil dan tidak boleh condong ke salah satu istrinya, kemudian ditambah contoh-contoh dan riwayat-riwayat bagaimana Nabi Muhammad Saw berbuat adil bukan malah “menuduh” Nabi Muhammad Saw pun tidak bisa berbuat adil, kemudian “ngeles” karena keadilan milik Allah semata.

Kalau cara ngeles ini dipakai secara luas bisa berbahaya. Misalnya saat pemimpin ditagih oleh rakyatnya untuk berbuat adil, maka bisa dengan “ngeles”, keadilan hanya milik Allah semata. Padahal keadilan menjadi tuntutan dasar dari Allah Swt yang harus dipenuhi oleh umatnya, tentu saja yang dimaksud adalah keadilan dalam perspektif manusia, bukan Keadilan Ilahi yang bersifat mutlak yang hanya dimiliki Allah Swt.

Adapun riiwayat-riwayat yang sering dikutip untuk ayat 129 ini menceritakan Nabi Saw yang telah berusaha seadil-adilnya bukan contoh Nabi tidak bisa adil. Bahwa komentar Nabi Muhammad Saw “tidak bisa adil” adalah karangan semata yang tidak memiliki dalil sama sekali.

Saya ingin menegaskan bahwa kekeliruan pertama Ust Arifin sudah terungkap, akibat salah paham maksud dari ayat 129, dari bunyi teks itu sudah jelas kalau lawan bicara “mukhathab” firman Allah Swt adalah kamu/kalian/jamak (antum) bukan khusus ke Nabi Muhammad Saw seperti pendapat Ust Arifin Ilham.

Masalah Kedua: Apakah Nabi Muhammad Tidak Bisa Adil?

Benarkah “Nabi Muhammad Saw tidak bisa berbuat adil dalam poligami?” Lagi-lagi ini komentar yang tidak benar.

Bahwa ada riwayat kalau ada niatan membeda-bedakan bagian istri-istri Nabi bukan Nabi sendiri tapi dari Sayyidina Umar Ra, yang kmudian Sayyidah Aisyah Ra protes keras.

Sayyidah Aisyah Ra protes keras karena membeda-bedakan istri-istri Nabi bertentangan dengan tradisi Nabi Saw yang bersikap adil dan menyetarakan semuanya.

Berikut saya kutip dari Tafsir “Mafatihul Ghaib” karya Imam Fakhrudin Ar-Razi yang mengulas tafsir ayat 129 An-Nisa’.

Dalam riwayat ini disebutkan protes keras Sayyidah Aisyah Ra karena Sayyidina Umar Ra membeda-besakan istri-istri Nabi berdasarkan suku, ras dan kabilah, antara yang Quraisy dan non Quraisy. Menurut Sayyidah Aisyah Ra hal ini bertentangan dengan tradisi Nabi Saw.

Sayyidah Aisyah Ra pun memohon kepada Nabi Muhammad Saw agar menegur dan berkata tegas pada Sayyidina Umar Ra agar tidak membeda-bedakan istri-istri Nabi Muhammad Saw berdasarkan suku dan kabilah.

Sayyidah Aisyah Ra berkata pada Nabi Muhammad Saw “irfa’ ra’saka wa qul li ‘Umar” “Hai Rasul angkat kepalamu dan katakan scara tegas pd Umar!” Bahwa “Sesungguhnya Rasulullah Saw telah berbuat adil di antara istri-istrinya baik dengan pembagian harta dan dirinya”

Riwayat ini bisa dipahami sebagai dukungan Sayyidah Aisyah Ra kepada Nabi Saw yang seolah-olah bisa “ditekan” oleh Umar Ra.

Riwayat tadi scara terang juga menyatakan bahwa Nabi Saw telah berbuat adil, bahkan didukung Sayyidah Aisyah agar tidak membeda-bedakan istri-istrinya brdasarkan suku/ras/kabilah.

Membeda-bedakan istri-istri Nabi berdasarkan suku/ras mungkin inisiatif Sayyidina Umar karena pertimbangan politis saat itu, dan bukan dari Nabi Saw yang mendapat dukungan dari Sayyidah Aisyah Ra.

Istri-istri Nabi Saw saat itu memang berasal drari beberapa kabilah, tapi kabilah yang terkuat saat itu adalah Kabilah Quraisy, dengan mengistimewakan istri-istri Nabi dari Kabilah Quraisy bisa dianggap untuk menyenangkan anggota dan pengikut kabilahnya. “Inisiatif” ini bisa dibaca untuk menjaga stabilitas dan harmoni sosial.

Padahal Nabi Muhammad Saw seperti dalam penegasan Sayyidah Aisyah Ra, tidak pernah membeda-bedakan istri-istrinya berdasarkan suku/ras/kabilah. Beliau benar-benar telah berlaku adil.

Walhasil Nabi Saw telah berbuat adil pada istri-istrinya, bahkan terhindar dari “godaan” agar membeda-bedakan istri-istrinya berdasarkan suku/ras/kabilah.

Maka, keliru besar pendapat Ust Arifin Ilham yang mengatakan “Nabi Muhammad Saw tidak bisa adil.”

Dari riwayat dan fakta sudah terang benderang kalau Nabi Muhammad Saw telah berusaha seadil-adilnya, kalau ada orang yang “cangkolang” (lancang) menilai kalau Nabi Muhammad Saw tidak bisa adil, ke siapa lagi kita merujuk keadilan? Bukankah Nabi Muhammad Saw juga menegaskan kalau putrinya Sayyidah Fathimah mencuri tetap akan dipotong tangannya? Lantas Keadilan jenis apa lagi yang dimaksud oleh Ust Arifin itu?

Saya teringat pada sebuah riwayat yang menceritkan orang Dzul Khuwaishirah yang nantinya menjadi kelompok Khawarij pertama dan keturunannya saat ini menjadi tokoh dan raja-raja Wahabi di Arab Saudi yang dengan lancang menggugat Nabi Muhammad Saw untuk berbuat adil.

Dari Abu Sa’id Al Khudriy radliallahu ‘anhu berkata: “Ketika kami sedang bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallama yang sedang membagi-bagikan pembagian (harta), datang Dzul Khuwaishirah, seorang laki-laki dari Bani Tamim, lalu berkata: “Wahai Rasulullah, berlaku adil lah kau!”

Maka beliau berkata: “Celaka kamu! Siapa yang bisa berbuat adil kalau aku saja (dituduh) tidak bisa berbuat adil. Sungguh kamu telah mengalami keburukan dan kerugian jika menuduh aku tidak berbuat adil!”

Kemudian ‘Umar berkata: “Wahai Rasulullah, izinkan aku untuk memenggal batang lehernya!”

Beliau berkata: “Biarkanlah dia. Karena dia nanti akan memiliki teman-teman yang salah seorang dari kalian memandang remeh shalatnya dibanding shalat mereka, puasanya dibanding puasa mereka. Mereka membaca Al Qur’an namun tidak sampai ke tenggorokan mereka. Mereka keluar dari agama seperti melesatnya anak panah dari target (hewan buruan).” (HR Bukhari).

Riwayat itu menjelaskan adanya kesombongan sampai-sampai Rasulullah pun dituduh tidak berbuat adil, kesombongan itu pula dengan menanggap agama mereka lebih benar dari yang lain, ibadah-ibadah mereka merasa lebih baik dari ibadah-ibadah yang lain, mereka membaca Al-Quran tapi tidak sampai ke tenggorokan karena hanya jadi bacaan saja tidak sampai ke dada, ke hatinya. Mereka itulah yang berani menuduh Rasulullah Saw tidak bisa berbuat adil. Na’udzubillahi min dzalik.

Semoga tulisan ini bisa meluruskan pemahaman Ust Arifin Ilham yang mengatakan “Nabi Muhammad Saw tidak bisa adil”, mohon maaf apabila ada kata-kata yang tidak layak dari hamba yang daif ini.

Wallahu A’lamu bis Shawab.

Sumber : Status Facebook Mohammad Guntur Romli

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed