by

Belajar Malu Dari Ulama Tawadhu

Ulama-ulama seperti Kiai Ja’far Shodiq dan Mbah Bawor ini teramat dicintai oleh masyarakat. Mereka datang tak hanya untuk mengaji, namun juga mengadukan persoalan-persoalan hidupnya kepada kiai. Dari mulai perkara sosial politik lokal, rumah tangga, hutang-piutang, sakit badan, sampai hal-hal yang lebih privat lagi.

Semuanya diterima para kiai dengan lapang dada. Semua disuguhi minuman dan makanan. Semua didengarkan keluh-kesahnya. Semua didoakan dengan doa-doa yang baik, bukan malah dikutuk atau dimurkai karena keburukannya.

Pun saat saya dan kawan-kawan datang kepada Kiai Ibnu Hajar Sholeh Pranolo di rumahnya di komplek Masjid Aolia, Panggang, Gunung Kidul, Yogyakarta. Lantaran berangkat dari Sumpiuh ba’da Ashar, kami baru tiba di kediaman kiai pada jam 21.00. Seorang putranya, yang tentu sedang menikmati waktu istirahat malam, mempersilakan kami ke ruang tamu dan menyuguhkan hidangan. Oleh karena Kiai Ibnu masih menyampaikan pengajian di desa lain, kami diminta untuk bersantai. Di sinilah kami belajar sabar, menunggu lima jam hingga kiai pulang.

Apakah kami capek? Ya, tentu saja. Tapi, Kiai Ibnu niscaya lebih capek lagi. Turun dari mobil, sekira jam 02.00, ia langsung menemui kami. Sejenak menyambut, kiai berusia 76 tahun ini kemudian permisi sebentar untuk salat tahajud.  “Saya tadi sempat tidur di mobil. Sabar sebentar, ya, saya perlu menghadap Allah, mumpung masih ada waktu.”

Selesai salat di kamar yang pintunya dibiarkan terbuka, saya lihat Kiai Ibnu masih menyempatkan diri membaca Al-Qur’an dan berzikir. Lantas, ia temui kami, bercengkerama panjang lebar hingga menjelang waktu Subuh.

“Setua ini, saya masih tidak tahu apa-apa. Saya hanya bisa mengingatkan agar diri saya pribadi dan orang lain menjaga salat. Selebihnya, saya membenarkan perilaku orang lain pun tidak berani, lebih-lebih menyalahkannya. Saya memilih untuk memperbaiki diri sendiri, menjaga jarak, dan memohon petunjuk Allah,” ungkap Kiai Ibnu.

Sebagaimana Kiai Ja’far Shodiq dan Mbah Bawor, Kiai Ibnu juga tidak pernah membiarkan bibirnya berhenti tersenyum. Ia memaparkan kepada kami betapa Islam yang dibawa Rasulullah Muhammad Saw. itu penuh keberkahan.

“Jangan pernah berhenti berdoa, apalagi lupa berdoa. Sebab, doa mendatangkan azimat, bukan azimat yang mendatangkan doa. Doa mendatangkan pusaka, bukan pusaka mendatangkan doa,” paparnya.

Petuah Kiai Ibnu mengingatkan betapa doa adalah senjata paling utama bagi setiap orang beriman. Senjata yang bahkan ampuh memerangi nafsu dan bisikan setan ke dada manusia. Kiai mengingatkan agar jangan mau dikuasai nafsu dan diadu domba setan untuk bertengkar dengan sesama manusia. “Jagalah jarak. Jangan lampaui batas.”

Bersamaan dengan matahari terbit di hari Sabtu, saya dan kawan-kawan tiba di kediaman saya yang di Soloraya. Saya menamai rumah ini: Omah Mulih, rumah untuk pulang. Sebagian dari kami tidak berlama-lama dalam istirahat. Langsung melanjutkan perjalanan ke Banyuwangi. Sebagian yang lainnya, termasuk saya, masih bisa menaruh punggung hingga sore.

Malamnya, Sabtu malam tadi, saya mengasuh Suluk Badran, majelis kecil untuk membicarakan hal-hal mengenai agama dan budaya. Tengah malam, saya menyusul kawan-kawan ke Banyuwangi.

Hidup memang untuk perjalanan. Untuk diperjalankan. Dari satu guru ke guru lainnya menimba ilmu, dari satu kiai ke kiai lainnya mengolah hati, dari satu manusia ke manusia lainnya untuk belajar akhlak mulia. Bahwa dalam kehidupan sering kita berjumpa dengan hal-hal yang tidak kita inginkan, pun tidak kita sukai, itu juga pelajaran yang bisa diolah jadi hikmah.

Soal ilmu dan hikmah, saya berniat sowan pada Gus Hanif di Caruban dan Kiai Taufik di Ngawi. Mereka berdua inilah penerus duo murid Kiai Munawwir Kertosono: Kiai Amnan dan Kiai Abdul Jabbar.

Semasa hidup, Kiai Amnan lebih dikenal dengan sebutan Mbah Balok. Oleh Kiai Munawwir kala itu, ia dan Abdul Jabbar muda diperintah menaiki sebatang kayu balok, mengarungi perjalananan, dan mendirikan rumah di mana balok yang mereka tumpangi berhenti. Nama-nama pemberian masyarakat inilah yang abadi di hati masyarakat pula.

“Nama saya Ibnu, tapi lidah orang desa susah mengucap. Mereka memanggil saya Mbah Benu,” kata Kiai Ibnu. Lagi-lagi, ulama berhati mulia membuat orang macam saya, yang mengejar gelar dan kehormatan duniawi, menjadi sangat malu hati. (bersambung)

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed