by

Bebas Meneriaki, Bukan Kebebasan Pers

Oleh: Supriyanto Martosuwito

Saya tidak habis mengerti bahwa penertiban kepada wartawan saat acara kenegaraan dianggap melanggar kebebasan pers.

Mendadak ada media kita yang menulis; “Kebebasan Pers di Indonesia Jadi Sorotan Dunia Usai Jurnalis VoA Teriak di Pertemuan Jokowi-Kamala Harris”.

Apalagi organisasi selevel AJI (Aliansi Jurnalis Independen) – yang membela membabi buta dan tak bisa membedakan pencegahan orang berteriak di ruangan dan kebebasan pers.

Sebab, isu yang dihadapi si jurnalis bukan terkait jurnalistik/kebebasan pers melainkan soal kepatutan di tengah acara resmi, di Indonesia. Soal adab alias tata krama.

Jurnalis yang jadi sorotan itu adalah Patsy Widakuswara dari VoA – Voice of America. Dia berdarah Indonesia, pernah kerja di radio Prambors, ANTV dan Metro TV dan kini disebut sebagai Kepala Biro Gedung Putih VoA. Patsy hadir dalam acara itu sebagai salahsatu reporter “press pool” media cetak dan radio AS yang meliput KTT ASEAN ke-43 di Jakarta, Rabu (6/9/2023) lalu.

Dia juga memperlihatkan identitasnya sebagai wartawan VOA.

Sebagai seorang jurnalis “pool,” Patsy Widakuswara merupakan salah satu dari sedikit jurnalis yang dipilih untuk meliput KTT ke-43 ASEAN dan berbagi informasi dengan awak media lain yang tidak bisa hadir.

Patsy melontarkan dua pertanyaan – dengan berteriak – kepada Kamala Harris mengenai apakah AS sudah hampir mencapai kesepakatan mengenai nikel Indonesia, dan dalam bahasa Indonesia, kepada Presiden Jokowi mengenai apakah ia kecewa karena Presiden AS Joe Biden tidak hadir dalam pertemuan tersebut.

Tidak disangka, pernyataan jurnalis itu membuat situasi menjadi tegang. Insiden itu membuatnya dia sempat diusir dari ruangan. “Saya langsung dikepung oleh sekuriti Indonesia yang menyuruh saya (pergi) keluar, karena saya sudah berteriak. Mereka bilang saya dilarang mengikuti acara lainnya,” ungkapnya.

Tindakan penghalangan tugas peliputan ini sempat disampaikan oleh Patsy melalui unggahan video di platform X.

Dirinya dibiarkan masuk kembali atas desakan pejabat AS. “Saat @USAmbIndo Kim mendekat, mereka akhirnya mengizinkan saya masuk, setelah bersikeras,” jelasnya.

Patsy yang berasal dari Gunung Kidul, Jogyakarta, memulai karirnya sebagai jurnalis di radio dan teve di Indoensia hijrah ke AS dan ke kampung halamannya dengan pesawat Air Force Two bersama rombongan Wapres AS Harris Kamala untuk meliput KTT.

Laman Media Indonesia menulis, perjalananannya kini, “merupakan momen yang membanggakan baginya sebagai seorang imigran yang kini telah memiliki kewarganegaraan Amerika. Saya sangat bangga dengan warisan Indonesia saya,” tegasnya kepada VOA.

ADA DUA masalah terkait insiden VoA itu – sebagaimana penjelasan dan pembelaannya di Twitter @VoAIndonesia. Pertama, Patsy Widakuswara menyebut, “berteriak itu wajar dan sangat biasa di kalangan pers Amerika Serikat”. Ke dua, ”Ini situasi setelah bilateral yang amat sangat lazim melontarkan pertanyaan dalam tradisi Amerika Serikat”

Dia menekankan, standar Amerika di sini, di Indonesia, notabene negeri kelahirannya dan negeri yang membesarkannya, kampung halamannya, meski dia bukan lagi WNI . Melainkan sudah menjadi Warga Negara Amerika.

Karena itu, netizen mengritik adabnya, bahwa berteriak di tengah acara kenegaraan bukan kebebasan pers. Bukan bagian dari “freedom of the press”. Sebab, jangankan kepada pejabat negara, kepada atasan – berteriak sesama saja harus dihindari. Kecuali adanya kegentingan dan ancaman adanya bahaya yang berpotensi mencelakakan bersama.

“Wajar dalam tradisi AS”, komentar @jazzcoustic, “si Patsy lupa dia ada dmana. Dia lupa peribahasa dmana kaki dpijak dsitu bumi djunjung. Kl logika bule kan dmana kaki dpijak dsitu elu nurut maunya gue. Sering2 nunduk mbak liat kaki memijak br menghargai tradisi negara lain. Ini Indo bkn US”

“Teriakan dan suara nyaring menimbulkan kekhawatiran bagi keamanan yang berujung pada diambilnya keputusan untuk membatasi perilaku serupa, meskipun kami menghormati hak reporter untuk mengajukan pertanyaan, ” kata Rosan Roeslani, Dubes RI untuk AS yang ikut menetralkan situasi.

Patsy sebelumnya menyebut, “Setiap ada kesempatan untuk bertanya, memang harus digunakan. Kalau kita nurut, patuh, kepada instruksi kapan boleh nanya kapan tidak, itu berarti kita tidak menjalankan tugas sebagai wartawan. Itu berarti kita tunduk pada pemegang kekuasaan” .

Patuh pada protokol kenegaraan dan menghormati ketertiban acara resmi tidak serta merta berarti tunduk pada kekuasaan. Sebaliknya, cara mengkritisi kekuasaan juga tidak harus dengan melanggar acara kenegaraan.

Apalagi, mohon maaf, dia “cuman” wartawan rombongan Istana, yang semuanya difasilitasi, dipenuhi kebutuhannya: mau keterangan pers, foto, dan jumpa pers disiapkan – tinggal menyebarkan. Kalau mau berpayah payah, agar terkesan beda, ya menulis ulang (re-write) siaran pers (press release) yang sudah disebar, mengganti kalimat pembuka (lead) dan judulnya. Memotong atau memuat seluruhnya.

Bagaimana dia bersikap independen dalam kasus ini – wong semua kebutuhannya difasilitasi, diongkosi. Jelas dia juga membawa kepentingan AS – kepentingan Gedung Putih. Atau titipan suara dari korporasi swasta.

VoA pun menampilkan video saat dia ‘nebeng’ pesawat kepresidenan (AS) – dan dia nampak bangga. Artinya: Dia wartawan yang nempel dan “melekat”. Sebutan populernya, “Jurnalis Embedded”.

Boleh jadi teriakannya di tengah acara itu merupakan “titipan” pihak yang berkepentingan akibat krisis nikel yang memanas di antara Indonesia dan AS itu.

Bukan rahasia lagi, pers peliput di Gedung Putih sering dijadikan alat propaganda dan “bemper” kepentingan Amerika dalam sepak terjang mereka menguasai dunia – dengan mengatasnamakan kebebasan pers – “freedom of the press”.

Dalam kasus penyebaran hoax di Irak, yang disusul penyerbuan pasukan AS dan Sekutu, misalnya – kental keterlibatan pers gedung putih dan pejabat kepresidenan sehingga Irak hancur luluh.

Tak heran jika Patsy mendapat pembelaan dari koleganya di ‘Washington Post’ yang ikut serta, bahwa pengusirannya “memberikan citra buruk bagi pers Indonesia”.

Juga tentu saja, pembelaan dari pejabat gedung putih. “Merupakan suatu kebanggaan bagi kami sebagai diplomat dan pegawai negeri Amerika untuk membela kebebasan pers di luar negeri, dan sebagai bagian dari hal itu, untuk memberikan akses bagi korps pers Gedung Putih yang sedang melakukan perjalanan,” ujar Dean Lieberman, wakil penasihat keamanan nasional untuk wakil presiden, dalam sebuah pernyataan kepada VOA.

Hal yang tidak bisa dimengerti, dalam insiden teriakan Patsy Widakuswara, justru dia jurnalis asal Indonesia yang seharusnya dia lebih paham budaya Indonesia – bahwa berteriak di pertemuan resmi tidak sopan – tapi mengapa dia melakukan?

Mengapa dia cenderung menunjukkan ke-Amerika-annya di sini. Apa masih mengalami krisis, merasa “belum Amerika”? Ingin pamer kesetiaan pada pejabat AS? Dan menunjukkan bahwa di sini, dia mau serba bebas?

Di penghujung pernyataan dan penjelasannya, dia menyebut: “Aku sedih, karena aku memulai karir jurnalistik di Indonesia. Aku bangga jadi orang negara Indonesia meski sekarang jadi warga Amerika”.

Ini pernyataan super aneh, seperti coloteh pengidap kepribadian ganda, bipolar atau disorder. Bangga jadi orang Indonesia, tapi pulang ke Indonesia tidak menunjukkan tata krama Indonesia. Justru pamer kebebasan ala wartawan Amerika. Mentang mentang sudah jadi warga AS.

“Klo bangga terhadap RI, ojo lali adab nya bangsa RI mbakyu. Walaupun wartawan yo kudu beradab lah kan lg berdiri di tanah RI. Klo di negaramu sono sdh biasa teriak2, janganlah dijadikan alasan” komentar netizen di akun yang menampilkan pembelaan dirinya.

“Aku tuh bangga jadi orang Indonesia.. bla.. bla.. bla.. sekarang jadi Warga Negara Amerika” katanya, mengutip ucapan Patsy lainnya. “Come on.. kira² kalau bangga jadi orang Indonesia tapi melepaskan kebanggaannya untuk jadi Warga Negara lain. Pembodohan iki rek!!!

BUKAN RAHASIA lagi, kita punya masalah dengan sebagian orang Indonesia yang sedang berada di Amerika, baik untuk tugas belajar, bekerja, masih WNI maupun yang sudah melepaskan WNInya – seperti Patsy Widakuswara.

Sebagian dari mereka menjadi “lebih Amerika dari Amerika”. Menetapkan standar Amerika kepada dunia. Berlaku layaknya orang Amerika di mana saja, sambil merendahkan negeri mereka sendiri. Termasuk negeri Indonesia yang melahirkan dan membesarkannya.

Dalam kasus Patsy, dia menyatakan, “Di Amerika, berteriak itu biasa!”

“Patsy, it is nothing than you just arrogant in d way u’re expressing yr question. You forget of how Indonesian manner is? In bahasa I can say that you are just ‘tengil’. Enjoy yr day in Jkt! Begitu semprot netizen.

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

1 comment

News Feed