by

Bashar, Sosok Tenang Di Tengah Kepungan

Kebijakan politik dalam negeri Asad punya cacat. Tapi sikap luar negerinya trutama terhadap proposal damai AS dan dukungannya atas Hamas sangat tegas.

Semua yang berakal tahu bahwa penjatuhan Asad karena penolakannya untuk keluar dari koalisi resistensi terhadap proposal damai AS di Timteng.

Hamas, sejak pecah dari Fatah dan dicap sebagai organisasi teroris oleh AS, disupport habis-habisan oleh Suriah meski posisnya dalam liga Arab terkucil.

Saat rezim-rezim Arab menolak Hamas, Suriah mempersilakannya berkantor di Damaskus dan memberi Meshal fasilitas tingkat menteri untuk keliling dunia.

Sikap tegas Asad terhadap AS dan rezim perampas Quds serta dukungannya atas faksi-faksi militer Palestina mengundang simpati pemuda-pemuda di dunia Arab. Inilah awal krisis.

Bashar Asad memenuhi semua alasan untuk dianggap sebagai titisan Gamal Abdel Naser. Pemuda tampan dengan tinggi badan 190 cm ini mendukung Hezbollah.

Semua rayuan bantuan ekonomi dari Saudi dan rezim-rezim Arab sekutu AS ditolaknya. Janji normalisasi hubungan dengan AS juga tak membuatnya kemayu.

Suriah bukan negara kaya tapi Asad punya nasionalisme dan persahabatan. Rusia yang tak punya pengaruh di Timteng adalah sahabat setianya.

Itu semua menjadi alasan strategis bagi AS dan rezim anti demokrasi di Teluk terutama Saudi dan Qatar untuk memberi tugas Turki sebagai operator.

Satu-satunya cara efektif adalah menampilkan pemerintahan Asad yang sekular baathis sebagai rezim sektarian Syiah demi menciptakan konflik sektarian.

Bayangkan negeri dengan warga yang ramah dan situs-situs sejarah kuno dalam sekejap menjadi bak kelinci di tengah kepungan kawanan karnivora mancanegara.

Kedaulatannya diinjak-injak dan rakyatnya diadu domba oleh tetangga dan sesama Arab. Suriah ditampilkan sebagai pengganti Israel via manipulasi opini.

Sejak saat itu api sektarianisme kian membesar dan mengubah dunia Islam menjadi arena konflik sektarian dari ujung Afrika hingga akhir Asia.

Penghancuran Suriah menjadi titik temu Barat yang gemar bicara demokrasi dan Sekulerisme dan kelompok2 radikal yang anti demokrasi & Sekulerisme.

Inilah kisah perselingkuhan paling hot abad ini. Media-media ekstremis menyerukan jihad menjatuhkan rezim Assad. Media-media mainstream mengecam Assad.

Ternyata kalkulasi di meja tak selalu akurat.

Kelompok-kelompok bayaran yang semula hanya dijadikan sebagai bumper tidak mau dikendalikan. AS dan sekutu-sekutu Arab dan Turki bingung.

Setelah gagal di Irak, tak rela gagal di Suriah, AS teriak meminta dukungan militer sekutunya di Eropa dan Arab, tapi AS tak dapat respon besar.

Tapi api sektarianisme dan ekstremisme yang disulutnya di Suriah terlanjur membesar dan menyambar seluruh kawasan, termasuk Indonesia.

Kini yang memusingkannya adalah globalisasi ekstremisme agama. Agenda utamanya bukan lagi menjatuhkan Asad yang dikawal Rusia, Cina dan Iran.

Indonesia yang tidak ikut-ikutan konflik terkena dampak aksi konyol “main api” AS dan Turki di Suriah. Korupsi belum hilang, sektarianisme menghadang.

Kini bangsa yang sedang dirundung krisis multidimensi ini dapat PR baru yang sangat sensitif, yaitu intoleransi dan ekstremisme global.

Tidak lama lagi kita akan sibuk menghitung kerugian mental, ekonomi, keamanan, kerukunan, dll bila silent majority yang kritis tidak mengantisipasi.

Intoleransi berupa penyesatan/pengkafiran adalah bibit ekstremisme yang bertujuan melnyapkan kebhinnekaan dan memaksakan satu otoritas absolut.

Itulah sekelumit analisis saya tentang konflik di Suriah, peran Turki dan dampaknya di Indonesia. Semoga bermanfaat.

(Sumber: Facebook Muhsin Labib)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed