by

Balada Pak Timbul dan Becak Pemberian Legenda Sepakbola Indonesia

Oleh: Niken Satyawati

 

Pagi yang sejuk di kampung Baron, Laweyan, Solo, Selasa (24/5/2016). Saya hendak pulang ke rumah setelah melakukan sebuah kegiatan sosial bersama kawan. Saat itulah melintas sebuah becak antik. Becak yang dihias dengan berbagai macam ornamen terdiri dari mainan anak-anak, berdera di berbagai sisinya tampak menonjol dan menjadi pemandangan menarik. Di dalam becak masih ada tumpukan mainan dan berbagai perlengkapan seperti kursi pendek dan selimut.

Pengayuhnya seorang bapak tua berambut putih dengan janggut panjang. Sebuah topi pet melindungi kepalanya dari sinar matahari. Yang membuat hati saya berdegup adalah penumpang becaknya. Seorang gadis yang kurang normal perkembangan fisiknya. Tangannya menekuk, kedua kakinya kecil tak mampu menopang tubuhnya yang lunglai dan didudukkan di kursi becak. Tangan bergerak-gerak tak terkontrol dan mulutnya meneriakkan kata-kata yang tak jelas maksudnya. 

Kawan saya mencegat si Bapak. Kebetulan sekali saya membawa dua boks nasi. Spontan saya serahkan nasi itu kepada mereka. Pak Timbul tampak senang sekali dan mengucapkan terima kasih. Kami pun berkenalan dan berbincang di pinggir jalan. Nama bapak itu Sugiarto. Nama panggilannya Pak Timbul. Usianya 65 tahun.

“Ini anak saya. Dia perempuan. Namanya Rismawati, umurnya 38 tahun,” ujar Pak Timbul memperkenalkan penumpang becaknya yang tak berhenti berteriak. “Dia memanggil-manggil adiknya, Hana,” jelas Pak Timbul dalam bahasa Jawa.

Pak Timbul terus bercerita tanpa kami tanya lagi. Dia mengisahkan kini hanya hidup berdua dengan Risma. Risma adalah anak ketiga. Dia lahir dengan kelainan bawaan sejak lahir. “Dia lahir dua minggu setelah hari perkirakaan lahirnya,” kata Pak Timbul. Saat lahir bidan langsung meminta Risma dibawa ke Rumah Sakit untuk dirawat karena kelainan yang dideritanya. “Kami bawa dia ke Rumah Sakit Brayat, dia lama dirawat di sana,” sambung Pak Timbul. 

Adapun istrinya telah meninggal 12 tahun yang lalu. Keempat anak Pak Timbul sudah dewasa. Tiga orang saudara Risma sudah berkeluarga. Tinggal Risma yang harus terus diasuhnya karena kondisi fisiknya tak memungkinkan untuk hidup mandiri. Bapak-anak ini tinggal di Kampung Cemani, Grogol, Sukoharjo.

Dulu, Pak Timbul adalah seorang tukang becak. “Saya setiap hari mengantar sekolah Arsy dan Sendy, putrinya  Ricky Yacobi dan Harly Ramayani,” kisah Pak Timbul. “Tahu kan Ricky Yacobi? Pemain Arseto Solo,” lanjut Pak Timbul. Kami manggut-manggut. 

Menurut Pak Timbul, becak yang sekarang menjadi kendaraan tetap Rismawati adalah pemberian Ricky. “Saya ditanya, sudah punya becak sendiri apa belum? Mau tidak dikasih becak? Ya saya jawab mau,” kenangnya. 

Kini Pak Timbul sudah tidak menarik becak lagi, karena harus merawat Risma. Setiap hari Pak Timbul dan Risma berkeliling kota.  Risma senang diajak berkeliling dengan becaknya. Risma senang naik becak. “Saya biasanya keluar malam hari jam delapan (20.00 WIB). Mangkal di Sami Luwes atau Gendengan. Pagi pulang ke rumah setelah membantu mengatur lalu lintas dan menyeberangkan orang di daerah Takmirul,” Pak Timbul menambahkan. 

Hari itu, ban becak Pak Timbul pecah. Dia harus ganti ban. “Alhamdulillah banyak yang memberi uang setelah saya bantu menyeberang. Uangnya cukup buat ganti ban,” ujar Pak Timbul sambil menunjukkan ban bekas yang sudah sobek. 

Saat kami temui, Pak Timbul dan Risma hendak pulang ke Cemani untuk beristirahat. Malam harinya, Pak Timbul akan kembali membawa Risma berkeliling kota, untuk menyenangkan hati buah hatinya itu. Pak Timbul tulus ikhlas merawat dan menjalani rutinitas itu setiap hari demi Risma.

Pak Timbul dan Risma berlalu. Kami pun pulang ke arah yang berlawanan. 

Dan hari itu, saya dan kawan saya belajar tentang kasih sayang orangtua yang tak terbatas kepada anaknya. 
Tanpa terasa butiran hangat mengalir membasahi pipi.

 

(Sumber: Kompasiana)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed