by

Bahrun Naim dan Empuknya Pengajian SMA sebagai Tempat Menyemai Bibit Radikalisme

 

Oleh: Niken Satyawati

Nama residivis kasus terorisme, Bahrun Naim disebut-sebut menjadi otak serangan di Sarinah, Kamis (14/1/2016). Bahrun Naim alias Abu Rayyan, oleh Kompas disebut mempunyai nama asli Singgih Tamtomo. Sedangkan oleh Detik disebut punya nama panjang Muhammad Bahrun Naim Anggih Tamtomo. Adapun seorang kawan saya di Solo menyatakan nama aslinya sebenarnya Singgih Bagiono. Entah mana yang benar.

Yang jelas, Naim berasal dari Kelurahan Sangkrah, Solo, tepatnya dekat Pasar Klewer, persis sebelah timur Pusat Grosir Solo/Beteng Trade Center. Keluarganya pun masih tinggal di sana. Naim adalah alumnus SMA Al Islam 1, sekolah legendaris yang cukup ternama di Kota Bengawan. Dan dia juga merupakan alumnus Jurusan Ilmu Komputer program D3 pada Fakultas MIPA Universitas Sebelas Maret. Dia masuk kuliah tahun 2002.

Naim kini ditengarai berada di Suriah atas “jasa” pegawai nakal Kantor Imigrasi yang diduga menerbitkan paspor buat dia dan istrinya, Siti Lestari, seorang mahasiswi Universitas Muhammadiyah Surakarta. Lestari adalah gadis asal Demak yang dilaporkan hilang setelah membawa calon suami (Naim) pulang. Namun orangtua Lestari tak setuju karena Naim sudah punya anak dan istri yang lain. Sejak itu Lestari tak pernah pulang ke Demak.

Adapun salah satu tetangga Naim kebetulan kawan saya sekantor dulu saat saya masih kerja kantoran. Kawan saya itu bernama Aristyani. Bahkan mereka berdua (Aris dan Naim), pernah sama-sama aktif di masjid kampung setempat. “Keluarga Naim adalah keluarganya yang sangat baik. Saya mengenalnya dengan baik,” kata Aristiyani saat menanggapi postingan saya tentang Bahrun Naim di Facebook.

Menurut Aristiyani, kawan-kawan di masjid mengetahui dan sudah mengingatkan Naim ketika memutuskan ikut gerakan radikal. “Saya ingat sekali waktu pengajian remaja masjid, saya waktu itu menjadi ketua, saya sudah memarahi dia untuk tidak ikut organisasi itu,” Aristiyani memaparkan.

Tak hanya kawan-kawan, kakek Naim dan anggota keluarganya yang lain juga sudah menasehati. Naim mulai bersikap radikal sejak SMA, ketika dia mengikuti organisasi tertentu. “Pergaulan di luar rumah sangat menentukan sekali gerak langkah berikutnya. Keikutsertaan organisasi waktu SMA membuat dia menjadi sosok seperti ini.”

Aristiyani yang aktivis kajian remaja menambahkan, pergaulan sangat penting. “Selama lebih puluhan tahun sampai sekarang saya aktif memberi kajian remaja baik menyangkut agama, psikologi, probelm solving , manajemen dan lain-lain. Peluang sangat besar bagi siapapun untuk merebut perhatian pada remaja,” ujar dia.

Sudah menjadi rahasia umum, organisasi radikal menyemai pengaruh mulai pada anak-anak SMA yang aktif di kajian agama. Saya pun ingat saat SMA, mulai mengenal pemateri-pemateri yang cukup keras di masjid sekolah. Saya bukan pengurus organisasi Kerohanian Islam, namun cukup aktif. Saya di garis depan ketika berjuang agar jilbab diperbolehkan di sekolah negeri pada era 1990-an.

Sebagian besar pemateri yang masuk di masjid sekolah berstatus  mahasiswa. Mereka sangat mudah dikenali dari ciri-ciri fisiknya. Melalui forum-forum di pengajian Rohis, mereka merekomendasikan pengajian-pengajian lain di “luar sana”. Sesekali saya pun mendatangi forum yang direkomendasikan.

Tanpa saya sadari, tahu-tahu saya menjumpai sejumlah hal yang aneh. Saya yang sudah terbiasa mengaji sejak kecil baru menjumpai TV dan musik mulai diharamkan di forum-forum pengajian saat SMA. Sejumlah kawan menganggap sekolah tak lagi penting karena porsinya jauh lebih besar dari kajian agama. Bahkan saya menyaksikan teman saya sendiri menikah dengan sesama anak SMA dari sekolah lain. Itu dilakukan tanpa sepengetahuan orangtua. Di sini saya merasa sangat tidak cocok. Namun saya mengunci mulut saya atas nama solidaritas. Sementara kawan saya yang lain saat lulus sekolah rela menjadi istri keempat pria yang dulunya ketua Rohis SMA sebelah.

Ketika mendengar kasus Lestari yang memilih ikut Naim dibanding mendengarkan orangtua yang mengasuh, mencurahkan kasih sayang dan membiayai hidupnya sejak lahir, saya ingat kisah kawan SMA saya. Kadang saya menyesal mengapa waktu itu saya bungkam.

Benar kata kawan saya Aristiyani, remaja adalah sasaran empuk. Gampang sekali menggeret mereka ke mana pun termasuk ikut dalam organisasi radikal karena secara kejiwaan mereka masih sangat labil. Ingin mencoba hal baru, dan kemudian tanpa sadar sudah terlalu jauh berada di dalamnya tanpa bisa keluar lagi. 

Solo, 16 Januari 2016

 

Sumber: kompasiana

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed