by

Bahaya Laten Pasca-Komunisme

Kaum Islamis adalah kelompok Muslim yang memiliki ambisi kuat mendirikan, klaim mereka, “Negara Islam” atau sistem pemerintahan Islam. Dengan demikian, kaum Islamis adalah kaum yang berpaham atau berideologi Islamisme, yakni sebuah gerakan agama-politik fundamentalis-konservatif yang bertujuan mendirikan sebuah sistem politik-pemerintahan berdasar pada “ajaran Islam”.

Islamisme juga berarti sebuah gerakan agama-politik guna mentransformasi sistem dan bentuk pemerintahan yang ada di kalangan umat Islam, yang dianggap “belum Islami” menjadi sebuah pemerintahan yang “lebih Islami”. Tentu saja kata “Islami” ini menurut standar, kriteria, dan ketentuan yang sudah disepakati oleh kelompok Islamis tadi.

Penting juga dicatat bahwa masing-masing kelompok Islamis memiliki “standar ideal”, yang berlainan tentang apa yang disebut sebagai negara/pemerintahan “Islami”. Misalnya, Islami menurut ISIS (Islamic State of Iraq and Syria) belum tentu Islami menurut Hizbut Tahrir. Begitu seterusnya.

Untuk mencapai tujuan pendirian “negara/pemerintahan Islam” ini, ada kelompok Islamis yang memakai “jalur damai” dan menggunakan “kekerasan minimal”, tetapi ada pula yang memakai jalan kekerasan, ekstremisme, dan terorisme.

Sejumlah kelompok teroris seperti Al-Qaidah (Afganistan), ISIS (Irak-Suriah), Jabhat al-Nusra (Suriah), Bako Haram (Nigeria), Jama’ah Islamiyah (Indonesia/Asia Tenggara), Islamic Salvation Front (Aljazair), Ansar al-Sharia (Libya), Abu Sayyaf Group (Filipina), dlsb adalah contoh dari kelompok Islamis-teroris yang menggunakan cara-cara kekerasan dan terorisme untuk mewujudkan impian dan ambisi politiknya mendirikan “Negara Islam”.

Menurut Oxford Dictionary, terorisme adalah “the unlawful use of violence, especially against civilians, in the pursuit of political aims.” Kaum teroris, apapun afiliasi politik dan agamanya, menggunakan berbagai macam strategi, taktik, dan cara kekerasan dan ekstremisme (penyanderaan, intimidasi, penyerangan, pengeboman, dsb) demi merealisasikan tujuan-tujuan politiknya (simak studi Randall Law, Terrorism: A History atau Mark Juergensmeyer, Teror in the Mind of God: The Global Rise of Religious Violence).

Strategi dan taktik yang sama juga dilakukan oleh kelompok Islamis-teroris di berbagai belahan dunia: Irak, Suriah, Afganistan, Aljazair, Libya, Tunisia, Mesir, Filipina hingga Indonesia.

Terorisme dengan demikian merupakan ancaman global-internasional bukan hanya lokal-regional-nasional. Para aktor terorisme dewasa ini bukan hanya para “pemain lokal” yang amatir, tetapi merupakan jaringan transnasional yang memiliki kontak di berbagai negara. Sebagian merupakan kelompok “teroris profesional” yang memiliki “jam terbang” tinggi.

Di era Internet dan digital sekarang ini, mereka dengan mudah memposting doktrin-doktrin terorisme-jihadisme melalui media sosial dan “grup khusus” di WhatsApp, atau mailing list untuk meyakinkan publik tentang pentingnya “Islamisme”, sekaligus guna menggalang atau merekrut massa menjadi “calon-calon martir” dan “kandidat teroris-Islamis”.

Untuk meyakinkan sekaligus mencuri hati publik Muslim, mereka juga memposting di media sosial berbagai foto penderitaan atau kekejaman rezim politik (baik rezim Muslim maupun bukan) terhadap umat Islam. Berbagai strategi dan taktik terorisme sejak zaman pra-Internet sampai era digital ini telah dipaparkan dengan baik oleh Bruce Hoffman, direktur Center for the Study of Terrorism and Political Violence, dalam bukunya Inside Terrorism.

Hasil dari “propaganda jihadisme” melalui dunia maya itu lumayan efektif. Terbukti sejumlah teroris seperti Dzhokhar Tsarnaev dan Tamerlan Tsarnaev, para pelaku “Bom Boston” tahun 2013, Salim Mubarok Attamimi yang mengaku sebagai “komandan ISIS” Indonesia (w. 2014), atau yang paling mutakhir Ahmad Syukri, pelaku bom bunuh diri di Kampung Melayu yang tewas belum lama ini, adalah para korban “propaganda digital” jaringan global terorisme.

Sangat menyedihkan menyaksikan sebagian kaum Muslim dan kelompok Islam di Indonesia yang “kesengsem” atau “terpesona” dengan “perjuangan kelompok teroris ISIS.

Padahal, bagi yang melek sejarah politik Arab dan Timur Tengah, mereka akan tahu kalau ISIS tidak lebih sebagai kaum pecundang, teroris kejam, dan ekstremis bengis yang menggunakan atau memanipulasi Islam semata-mata sebagai medium untuk menggapai cita-cita politik-kekuasaan duniawi (simak misalnya kajian-kajian tentang ISIS oleh William McCants, The ISIS Apocalypse; Michael Weiss, ISIS: Inside the Army of Terror; atau Joby Warrick, Black Flag: The Rise of ISIS).

Untuk menanggulangi bahaya laten Islamis-teroris ini, atau guna mengantisipasi dampak buruk Islamisme-terorisme di masa mendatang, pemerintah Indonesia, aparat keamanan, tokoh masyarakat, dan rakyat secara umum perlu bahu-membahu bekerja sama secara intensif-integral. Berbagai strategi, taktik, dan metode baik “hard power” (sepertimelalui “pendekatan militer/keamanan”) maupun “soft power” (seperti melalui dunia pendidikan, kajian-kajian keagamaan, pengajian-pengajian keislsman, dls) perlu diterapkan secara ekstensif.

Senapan mungkin bisa membunuh kaum teroris, tetapi ia tidak mampu membunuh ideologi terorisme. Tetapi sistem pendidikan yang baik, peningkatan kesejahteraan warga, dan penyebaran wacana keagamaan yang toleran, humanis, dan pluralis, pelan tapi pasti bisa menghapus atau minimal mengurangi bahaya laten Islamis-teroris ini.

Masjid-masjid harus digunakan dan dimaksimalkan penggunaannya sebagai medium untuk melawan penyebaran paham Islamisme, radikalisme, dan terorisme yang mulai mewabah di Tanah Air. Para ustaz, dai, khatib, dan pengurus masjid juga harus di-training tentang pentingnya Islam yang ramah dan toleran serta bahaya laten Islamis-teroris bagi kehidupan beragama, berbangsa, dan bernegara di Republik Indonesia tercinta. Wallahu a’lam bi-shawwab.**

Sumber : liputan6.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed