Bahkan akhir Desember 2014 lalu ada konferensi kaum ateis Arab di Mekah, di sebuah hotel dekat Masjidil Haram. Tentu diadakan dengan diam-diam. Ledakan atheisme di Saudi ini disebabkan muaknya anak-anak muda Arab atas praktek Islam ala Salafi Wahabi di Saudi yang sarat kemunafikan.
Secara garis besar persentase atheis dan gnostik lebih tinggi di dunia Arab (22%) dibandingkan di Asia Selatan (17%) dan Amerika Latin (16%).
Sebetulnya ini bukan fenomena yang aneh. Gelombang anti ketuhanan di Eropa, misalnya, juga berkembang ketika gereja-gereja menjalankan ajaran agama yang sangat keras. Dengan model inkuisisi dan pensesatan.
Dengan kata lain, Saudi Arabia dan negara-negara Arab bisa menjadi pelajaran bagi kita bahwa mengkampanyekan Islam dengan norak, jumud, irasional, intoleran dan penuh diksi-diksi kekerasan justru menjauhkan anak-anak muda dari Islam.
Harus diakui atheisme ini marak di kalangan anak-anak muda Arab berbarengan dengan maraknya ide-ide Islam radikal yang lahir dari rahim Wahabisme. “Ajaran Wahabi yang dianut Arab Saudi, menjadi pendorong maraknya atheisme di kalangan anak-anak muda Arab,” ujar Buya Syafii Maarif, dalam salah satu diskusi.
Bagaimana di Indonesia? Saya rasa gejalanya tidak jauh berbeda. Semakin maraknya ide-ide wahabisme yang kaku, norak, jumud dan anti-toleransi itu, akan semakin menjamur juga ide-ide anti ketuhanan di kalangan anak-anak muda muslim.
Artinya propaganda paling efektif gerakan anti-ketuhanan justru dilakukan oleh mereka yang paling sering mengaku dekat dengan Tuhan. Mereka yang hobi teriak kopar-kapir. Benar kata pepatah, orang-orang bodoh itu mengira mereka sedang berbuat kebajikan, padahal yang dilakukannya melulu kerusakan.
Masyarakat primitif pun, ketika membutuhkan api untuk menghalau dingin, tidak melakukan dengan cara membakar rumahnya.
Sumber : Status Facebook Eko Kuntadhi
Comment