by

Arkeologi Banjir Jakarta

Masyarakat masa kini juga tidak memiliki kearifan lingkungan, padahal kearifan lingkungan adalah kunci ketenteraman hidup sejak ratusan tahun lalu. Pada abad ke-9—ke-10 masyarakat Jawa kuno, sudah mengenal organisasi yang berkenaan dengan lingkungan hidup. Beberapa petugas kerajaan yang berhubungan dengan lingkungan hidup, antara lain tuha alas, juru alas, atau pasuk alas (menunjukkan profesi pengawas kehutanan).

Sebutan demikian terdapat pada Prasasti Jurungan (876 M), Tunahan (872), Haliwangbang (877), Mulak (878), Mamali (878), Kwak I (879), Taragal (830), Kubukubu (905), Cane (1021), Sarsahan (908), dan Kaladi (909). Selain itu, ada jabatan tuhaburu, yakni pejabat yang mengurusi masalah perburuan binatang di hutan.

Untuk menanggulangi timbulnya bencana alam yang dapat mengakibatkan ketidakseimbangan ekosistem, Raja Airlangga pernah memerintahkan pembangunan Bendungan Wringin Sapta. Berkat adanya penampungan air tersebut, sebagaimana informasi dari Prasasti Kamalagyan (1037), kehidupan penduduk menjadi tenang.

Sebelumnya, Sungai Brantas sering kali menjebolkan tanggul di Wringin Sapta sehingga banyak desa di bagian hilir kebanjiran. Tapi setelah adanya bendungan, aliran Sungai Brantas dipecah menjadi tiga bagian, sehingga air menjadi tenang.

Petugas lain yang disebutkan prasasti adalah hulair atau lebleb, sekarang mungkin ulu-ulu. Hulair bertugas mengurusi masalah irigasi di pedesaan. Berkat adanya petugas itu, lahan-lahan pertanian tidak pernah kekeringan.

Dulu kemurkaan Sungai Brantas dan Bengawan Solo bisa diminimalisasi lewat pembuatan bendungan dan kearifan lingkungan. Seharusnya keganasan Sungai Ciliwung dan sungai-sungai lain pun mampu ditanggulangi dengan cara demikian. Sudah saatnya pemprov DKI Jakarta mengacu pada data arkeologi.

Sumber : Status Facebook Awan Kurniawan

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed