by

Archandra Tahar Tidak Salah, tapi DPR dari Zaman Batu

Oleh : Salman Rais

Pada saat Presiden Joko “Jokowi” Widodo menanggalkan zirah baja,  perisai, dan pedang dari Archandra Tahar, hanya dua minggu setelah dirinya mencicipi garis depan pertarungan Jokowi vs Mafia, setelah Tahar memberikan suatu pola serangan menjanjikan, kita rakyat di bawah bisa sama sama melihat bahwa Presiden terlalu ambil resiko.

Presiden terlalu mengejar target dibandingkan suatu “order”, keteraturan, Presiden tidak rapih, dan Indonesia tampak bagai meja kerja-nya saat jadi pebisnis yang berantakan. Adapun sebagaimana dalam pepatah, “Kerapihan dan keteraturan adalah hukum pertama yang diterapkan di Surga”. Dan bagaimanapun Indonesia bukan meja kerja swasta dengan segala pencapaian hebatnya. Meja kerja suatu negara bukan meja kerja Mark Zuckerberg, bukan meja kerja Joseph Stiglitz yang kapitalis jenius, atau meja kerja Slavoj Zizek yang marxis jenius. Jika urusannya negara, tidak boleh ada satu jarum jatuh ke lantai tanpa melewati screning UU, atau lebih lanjut konsultasi dengan DPR. Karena itulah peradaban suatu negara, dengan kelemahan dan kelambanannya yang memerihkan mata generasi abad ini.

Dan sejenak orang orang lupa, bahwa mafia, suatu “mafia” yang hendak diperangi oleh Jokowi di sini, bukan organized crime yang mengkorup duit rakyat, Karena bagaimanapun korupsi adalah tindak rendahan orang berkerah putih yang tidak punya otak. Mereka yang berkerah putih dan memiliki otak panjang, dan oleh karenanya bisa mengeruk uang negara tanpa melanggar UU, adalah mafia birokrasi. Mafia kelambanan, mafia hitung asal-asalan, mafia evaluasi dan statistik pesanan, atau mafia program asal jadi.

Sehingga mengapa Jokowi “asal comot” orang di jalan, tanpa lewat litsus ketat, karena minset presiden adalah “penyederhanaan birokrasi” itu sudah sedari awal dia tekankan, sejak berbusa-busa di kampanye Pilpres, sembari menyumpah agar bisa sederhanakan semua setan birorkasi. Termasuk dalam hal ini memilih menteri. Saat menerima rekomendasi yang menjanjikan, sosoknya terbilang bersih, out of alley, tidak ada di arsipnya para mucikari politik, bahkan membuat para aktivis galak dan anarkis pembenci birokrasi mesti mencari google map untuk cari tahu orang ini tinggal di mana? Artinya ini pilihan ideal dalam langkah perangi mafia.

Orang baru bernama Tahar ini lumayan bikin keringat birokrat dan para mucikari politik bercucuran, dari yang sebelunya keringat dingin sebesar bulir jagung sejak Sudirman Said memainkan pion “Papa Minta Saham”, menjadi sebesar batok kelapa. Ya, berbeda dengan Said, orang Padang ini menggandeng KPK masuk ke birokrasi ESDM. Konon skema penyelamatan triyunan rupiah sudah disusun sejak hari hari pertama Tahar berkantor.

Jika ini yang diinginkan Jokowi, maka demikianlah Jokowi sukses. Tapi sayang sekali, negara bukan swasta. Negara memiliki tata cara, etiket, mekanisme yang harus dijalani menuju negara sipil yang kita cita-citakan bersama. Dan sayangnya, saat eksekutif di Istana negara telah berganti minset menuju percepatan birorkasi ala abad 21, dengan perlawanan pada mafia birokrasi, pada saat yang sama parlemen  masih merasa hidup di zaman batu,

Goddamn archaic, kira kira Anda ingat kapan terakhir parlemen kita membuat UU baru? Tentang apa? Stop jangan dijawab, karena saya tidak mau dengar dari Anda kisah anggota dewan yang sudah dipecat partainya tapi kukuh tidak mau lepas jabatan, atau anggota dewan yang berkelahi dengan gubernur incumbent dan mengurusi pilkada suatu provinsi, atau anggota dewan yang menjadikan KBRI semacam biro travel. Nah, lantas fungsi modern atau kebaruan jenis apa yang telah diberikan oleh parlemen kita? Oleh DPR yang terhormat?

Sejak awal banyak UU kita menyisakan masalah besar, kepada para diaspora, kepada fenomena “brain drain” dan itu berlangsung sejak era Suharto melitsus para cerdik cendikia yang sekolah di luar negeri, disekolahkan Soekarno, bahkan disekolahkan oleh Soeharto sendiri dan kini jauh dari negerinya sendiri. Ada lubang menganga di UU Kewarganegaraan, dan tentu saja di banyak UU lain yang ada, lalu apa pekerjaan parlemen kita? Adakah inisiatif dari mereka untuk melakukan pembaruan UU agar disesuaikan dengan semangat zaman, agar kiranya kisah dual paspor yang dihadapi orang orang seperti Archandra Tahar selesai dalam hitungan jam, cukup di kantor catatan sipil?

Jika parlemen kita diisikan orang orang yang satu nafas dengan nafas presiden, dalam memuluskan kode kode cheat pada perubahan bangsa melalui Nawa Cita, maka masalah Tahar akan selesai dan semua orang bahagia, termasuk DPR sendiri. Bagaimanapun, nama harum mereka, kehebatan mereka, profil profil tinggi kenegarawanan di parlemen, ditentukan oleh sikap proaktif yang mengejar fungsi fungsi ideal dari parlemen sendiri. Yakni tukang stempel pada progesifitas.

Kadang di lubuk hati paling dalam, saya bermimpi, pimpinan DPR, dan anggota fraksi-fraksi DPR adalah para kolumnis tetap dan founder di Indoprogress.com atau di Mojok.co. Sosok sosok labil yang cerewet dan tidak pernah puas. Dan sejujurnya, bangsa kita membayar mereka mahal-mahal memang untuk menjadi orang paling akhir untuk puas pada setiap gejolak pembangunan dalam arti yang positif membangun, tanpa mencelakai satu anak bangsa pun.****

Sumber : gugah.id

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed