by

April 2019, Saat “Kemaluan” Pendukung Prabowo Membesar

Saya kemungkinan besar akan berada di barisan orang-orang pendukung salah satu capres pada pilpres 2019 ini, but sorry to say, saya tidak pernah berminat menaruh respek kepada siapa saja yang masih menggunakan cara-cara tanpa adab dalam mengusung capres pilihannya. Sekali pun di kenyataannya kami mendukung capres yang sama. Untuk itulah, saya sebisanya menjadi sosok yang beberapa orang cap sebagai ‘munafik’ dan ‘sok baik’. Silakan saja, waktu akan membuktikan prasangka kalian. Dan seperti apa pula diri kalian yang sebenarnya.

Menjaga etika itu bukan perkara sulit, kalau kita memang mau berusaha. Kalau kita yakin bahwa di atas segala proses berdemokrasi yang maha penting ini, urusan menjaga hubungan baik dan ukhuwah juga sama pentingnya, saya yakin kita takkan semudah itu menggiring diri ikut mencaci maki yang berbeda.

Kalian menonton tayangan video Nurhadi capres no urut 10 dari Koalisi Indonesia Tronjal Tronjol, Maha Asyik yang diwawancarai Rosiana Silalahi di Kompas tv beberapa waktu lalu? Lelaki tukang pijat dari Kudus itu tak berbohong soal slogan Maha Asyik. Walaupun sangat irit kata dan lebih banyak mengundang gelak tawa lewat mimik dan sikap percaya dirinya yang nggak ada basa-basi sama sekali, pesan-pesan beliau sungguh dalam dan sarat makna.

Ada anjuran jangan memikirkan hal-hal yang tidak penting, selalu ingat Tuhan, ikhlas mengerjakan hal-hal baik tanpa mengharap pamrih atau pujian, dan tetap menggunakan hak memilih pemimpin dengan bertimbang secara bijaksana. Bahkan ketika calon yang ada buruk sekali pun, tetaplah mencoba membuat pilihan.

Lalu bagaimana Nurhadi sekian kalinya menyinggung kata ‘orang tua’. Bahwa segelintir orang (saya bilang segelintir supaya menjadi semacam doa) yang sering sekali mengeruhkan suasana di media sosial terkait urusan capres ini, semestinya mereka cukup tahu diri dan berlaku sebagaimana orang tua seharusnya. Menjaga sikap, menjadi teladan, mengayomi yang muda, bahkan jika bisa menjadi penengah.

Tapi tafsiran netijen memang selalu berpusar pada hal-hal yang ‘kalau nggak rame nggak seru’, semacam soal mengapa media menyeret Nurhadi sebagai bahan jualan atau ternyata si kreator meme koalisi fiktif ini diam-diam menyimpan misi mendorong masyarakat menjadi golput.

Nurhadi memang harus tayang di televisi supaya kita bisa melihat siapa dirinya dan paham apa sebenarnya maksud semua kelucuannya yang viral hanya dalam waktu yang sangat singkat. Lucu, menampar tapi alhamdulillah sebagian besar dari kita justru ndak marah-marah, gusar atau tergiring membenci dibuatnya. Bahkan selucu dan se-asbun (asal bunyi) itu, beliau masih sempat mengingatkan soal Tuhan dan sikap ikhlas. Kamu sendiri sudah ngingetin apa saja ke teman dan saudara selama ini selain menentukan mereka masuk surga apa neraka?

Ya, saya tahu. Risiko bermedia sosial, Kak Mimi… soal orang paham atau tidak, itu wajar. Kayak seorang netijen menulis komentar; KALAU SAYA MAU BILANG ANJING, MEMANGNYA KENAPA? SIAPA SURUH TULISAN INI DISETEL PUBLIK. Tahu ndak, tiap kali membaca komentar kasar, saya masih butuh bermenit-menit waktu untuk menghilangkan rasa mulas di perut dan keinginan untuk menohok balik. Lalu saya diam-diam menghapus komentar semacam itu sambil membatin, ayo sok nulis lagi yang sering dan panjang, biar enak toh dipisuhi orang nggak dikenal!

Jadi kalau saya baper tulisan saya dua kali tayang di sebuah fanpage penuh kerusuhan dan provokasi, merasa tak enak hati foto Bapak saya dipasang begitu saja tanpa ijin dari saya anaknya, keberatan saya terasa bodoh dan tindakan fanpage tersebut sudah benar legal. Ini murni adalah salah saya sebagai penulis. Jika saya menuliskan sesuatu lantas ada yang masuk ke kolom komentar dan memaki-maki tanpa saya mengerti kami pernah berinteraksi di mana, itu juga salah saya sebab saya sudah ‘menjemur pakaian di pinggir jalan umum’. Siapa pun bebas ‘melangkahi’ orang lain, itulah etika.

Ya, salah saya yang baru hari ini sadar, persepsi dan standar etika masing-masing kita tak sama.

Dan sepanjang kita masih beranggapan persoalan etika memang hal sepele saja, kita masih akan terus menonton hal-hal absurd lainnya yang wajib dimaklumkan terus-menerus di depan. Seperti contohnya, bagaimana sikap membenci dan memusuhi kaum lain itu bisa dianggap sebagai pelengkap ketaatan dalam beragama.

Omong-omong, saya boleh tanya ya? Jika pilpres 2019 nanti capres pilihanmu tak menang, bagaimana menghapus semua jejak serapah dan caci maki digitalmu supaya dirimu tidak terlalu malu?

#RabuSabtu

Sumber : Status Facebook Mimi Hilzah

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed