by

Apakah Terorisme Berhak Peroleh Perlindungan HAM

Di dalam perang, yang berlaku adalah hukum perang. Garda terdepan dalam peperangan adalah Angkatan Perang, yang di Indonesia diwakili oleh TNI. Berdasarkan pasal 7 Undang-undang no. 34 tahun 2004 tentang TNI (“Undang-undang TNI”) tugas pokok TNI adalah untuk melaksanakan operasi militer untuk perang, dan operasi militer selain perang. Pasal 7 ayat (2) b. mencantumkan secara gamblang operasi militer itu antara lain adalah MENGATASI AKSI TERORISME. Saya garis bawahi : MELAKSANAKAN OPERASI MILITER.

Undang-undang nomor 2 tahun 2002 tentang Kepolisian Republik Indonesia (“Undang-undang Kepolisian”) pada pasal 2 ayat 2 menyatakan Fungsi Kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat. Tidak akan anda temukan dalam 44 pasal undang-undang kepolisian mengenai tugas polisi untuk memberantas terorisme.

Bagaimana dalam hukum perang ?. Hukumnya sangat jelas. Anda membunuh atau anda terbunuh. The survival of the fittest.

Apakah ada perlindungan HAM pada saat perang ?. Konvensi Geneva 1949 (Geneva Convention Relative To The Treatment of Prisoners Of War) mengenal dua jenis perlindungan kepada tawanan perang, yaitu terhadap kombatan dan non kombatan. Non kombatan adalah penduduk satu wilayah yang terjebak dalam zona perang, dan menjadi tawanan. Sedangkan kombatan adalah lawan berperang di medan perang yang bersangkutan. Kombatan lawan harus terdaftar dan diakui oleh Negara lawan sebagai pasukan reguler atau milisinya, untuk mendapatkan treatment (perlakuan) sebagai tawanan. 
Bagaimana dengan teroris ? Mereka bukan merupakan warga non kombatan yang terjebak dalam sebuah peperangan. Apakah apabila mereka tertangkap berhak atas perlindungan HAM ?. Protokol konvensi Geneva hanya memberi pengakuan perlindungan kemanusiaan, kalau mereka adalah tentara atau milisi aktif dari suatu negara. Memangnya Negara mana yang mengakui para teroris laknat itu sebagai tentaranya ? 
Teroris yang tertangkap atau menyerah, bukan penjahat sipil. Mereka adalah kombatan yang tertangkap dalam sebuah perang. Hukum peranglah yang menahan, mengadili dan mengeksekusinya. Bukan hukum sipil. 
Apakah pengerahan Tentara untuk menghadapi Teroris memerlukan PERPU ? Jawabannya adalah TIDAK. Pasal 7 ayat 3 Undang Undang TNI menyatakan bahwa penggunaan Tentara itu sepenuhnya dilaksanakan berdasarkan kebijakan dan keputusan politik negara. Penjelasan pasal itu menyatakan …. Sudah jelas.
Presiden sebagai Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan tinggal meminta kepada TNI untuk mempersiapkan pasukan elitnya menerima tantangan dan membekuk para Teroris itu. Indonesia memiliki satuan anti teror yang andal. Kopassus memiliki Detasemen Khusus Gultor 81, Marinir dengan Detasemen Jala Mangkara (Denjaka), dan Satuan Bravo (Satbravo) PasKhas TNI AU. Jenderal Muldoko – tahun 2015 sudah mengantisipasi hal tersebut dengan menggabungkan ketiganya dalam Komando Operasi Khusus Gabungan (Koopssusgab). Dalam jabatan beliau yang sekarang sebagai Kepala Staf Kepresidenan, kiranya membawa hal tersebut lagi untuk dipertimbangkan penggunaannya oleh Presiden. 
Bagaimana dengan DENSUS 88. Detasemen Khusus 88 yang cikal bakalnya dibentuk tahun 2004 dipimpin AKP Tito Karnavian (yang saat ini adalah Kapolri), tidak diragukan kehebatannya. Kemampuan mereka melumpuhkan dan menangkal teroris yang akan beraksi sudah banyak teruji. Namun, mengingat pendekatan kepolisian adalah pendekatan hukum, harus ada dulu bukti permulaan baru akan bertindak, hal ini membuat tidak efektif. Ada ProTap. Ada HAM dan seterusnya. Kita miris. Di markas pasukan elit BRIMOB beberapa hari yang lalu terjadi penjagalan terhadap anggota, dan besoknya malah seorang lagi pasukan mati sia-sia. …dan hari ini perang itu diletuskan sepihak lagi di Surabaya. Oleh Teroris. 
DENSUS 88 tetap dapat diberdayakan dalam konteks penangkalan dini, dan pembungkaman calon teroris dan orang-orang yang bersimpati ke teroris. Itu sesuai dengan Undang-undang Kepolisian. Preemptive attact.

Presiden perlu menerbitkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-undang (PERPU). Bukan untuk membasmi teroris dan terorisme. Karena tanpa PerPu by definition, itu dapat ditugaskan ke Tentara.

PerPU ini perlu untuk mencari dan membungkam para simpatisan teroris. Suburnya terorisme adalah seperti antara air dengan ikan. Ikan atau teroris hanya akan hidup dalam air, yakni lingkungan yang bersimpati kepadanya. Siapa yang bersimpati itu ?. Yaitu mereka-mereka baik yang memberi bantuan langsung atau tidak langsung yang berupa opini, penggalangan dana, siaran tivi, pers, media sosial dan lain-lain. Bisa saja mereka ini politisi, birokrat, aparat, cendekiawan, mahasiswa, masyarakat biasa atau siapapun. 
Tugas utama dan pertama Pemerintah menurut pembukaan Undang-undang dasar RI adalah melindungi segenap bangsa Indonesia. By any means. 
Akhirnya, dengan mengutip buku bapak Hendropriyono … Esensi kecepatan dan ketepatan bertindak, mendahului pihak lawan untuk mencegah timbulnya damage, merupakan kondisi kedaruratan, yang merupakan norma hukum tersendiri, dimana norma norma hukum konvensional harus diabaikan (iustitium), dengan semangat necessitas legem non habet, yang dipopulerkan oleh filsuf Italia Santo Romano pada awal abad ke 20. 
Apakah ini tidak melanggar HAM, Undang-undang Pers dan Undang-undang Lain ?. Ya. Untuk itulah ada PERPU. Bagaimana kalau ada penggalangan pendapat atau pengerahan massa yang menentang PERPU itu ? Ya tangkap. Kerangkeng. Bungkam. PERPU itu akan tetap efektif berlaku sampai diundangkan atau dibatalkan dengan undang-undang. Kita berada dalam situasi perang. Perang melawan teroris !!!.

Sumber : Status Facebook Sampe Purba

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed