by

Antara Sains dan Soto

Para sarjana sastra tidak berperang karena perbedaan teori dan pendekatan. Para ahli hukum tidak bertikai secara fisik karena perbedaan mazhab. Para pelatih bola tidak berseteru karena perbedaan strategi.

Para chef tidak bertengkar karena berbeda dalam menilai resep makanan. Para juri dalam kompetisi musik tidak saling mengkafirkan karena berselisih pandangan dalam menilai penampilan seorang kontestan. Seorang kritikus seni atau lukisan bisa berbeda dalam menilai mana lukisan yang paling “menggetarkan”, tetapi mereka tidak saling baku-hantam.

Dua orang Ngawi (ini sekedar contoh saja) tak akan saling memurtadkan karena salah satunya beranggapan bahwa soto Lamongan lebih lezat ketimbang soto Bangkong. Mereka berbeda, tetapi tidak akan adu-jotos.

Contoh-contoh semacam ini tak terhitung jumlahnya dalam kehidupan sehari-hari. Sains bukanlah satu-satunya “human enterprise” yang patut merasa pongah dengan sebuah kleim bahwa perbedaan di dalamnya tidak menimbulkan konflik berdarah-darah. Tak ada yang spesial pada sains dalam aspek ini. Biasa saja.

Tidak semua perbedaan dalam agama juga berujung pada pengkafiran dan konflik. Perbedaan dalam forum bahtsul masa’il di antara para kiai NU dalam merumuskan sebuah fatwa, tidak berujung pada pengkafiran. Ribuan bahtsul masa’il saya saksikan dalam sejarah NU, dan tidak ada satupun cekcok berdarah-darah muncul di sana.

Harus diingat pula, perbedaan yang menimbulkan konflik dan perang tidaklah monopoli agama. Perang dingin yang melibatkan perlombaan senjata nuklir yang nyaris memusnahkan spesies manusia, berlangsung sejak dekade 50an sampai runtuhnya Tembok Berlin pada 1991. Dalam Perang Dingin ini, dua mazhab sekular, bukan agama, saling berseteru: kapitalisme dan komunisme.

Apakah para pendukung sains akan mengatakan bahwa: sains lebih unggul tinimbang ideologi kapitalisme atau sosialisme, hanya karena para saintis bisa berbeda secara beradab dan tidak berujung pada perang, baik dingin, setengah dingin, atau panas?

Nasionalisme adalah ideologi modern yang memiliki sejarah yang rumit: ada sejarah terang, ada sejarah gelap. Sejarah terang nasionalisme ditandai dengan lahirnya negara-negara nasional yang memberikan “ruang sosial-kultural” bagi milyaran penduduk bumi untuk membangun peradaban mereka masing-masing, termasuk bagi para saintis untuk bekerja.

Tetapi nasionalisme juga punya sejarah yang amat kelam. Kita menyaksikan hal ini berkali-kali dalam era modern: Kashmir, Palestina, Rohingya, Uyghur, Bosnia, Timor-Timur, dll. Apakah sains akan menepuk dada pula bahwa dirinya lebih unggul dari ideologi nasionalisme karena para saintis bisa berbeda pendapat tanpa menimbulkan “perang”?

Perbedaan dalam sains tidak menimbulkan konflik dan perang karena ia tidak melibatkan “the ultimate concern” yang menyentuh emosi manusia yang terdalam. Dia adalah kegiatan serebral yang tidak membangkitkan emosi.

Jika sebagian pendukung sains berpikiran bahwa agama harus dihapuskan saja (jika bisa!) karena hanya menimbulkan konflik, maka nasionalisme dan negara-negara nasional modern juga harus dihapuskan. Pemilu langsung juga layak ditiadakan sama sekali, karena potensial menyulut konflik, sekurang-kurangnya seperti terlihat dalam pilpres kita yang terakhir.

Apakah demokrasi juga kalah unggul dibanding sains, karena perbedaan di sana potensial memantik kerusuhan seperti terjadi di Amerika hari-hari ini?

Konflik dalam kehidupan manusia adalah fakta yang tak terhindarkan; pemantiknya bisa agama atau ideologi sekular. Konflik ini bisa diatasi, dan karena itu muncul disiplin keilmuan yang bernama “conflict resolution”.

Tetapi menepuk dada seperti dilakukan sebagian pendukung sains bahwa mereka bisa berbeda tanpa baku-hantam, dan karena itu bidang yang mereka geluti lebih superior tinimbang bidang-bidang lain, jelas menggelikan. Karena dua orang Ngawi yang saya ceritakan tadi juga melakukan hal yang sama: mereka berbeda, dan tidak berujung pada konflik.

Bedanya hanya satu: dua orang Ngawi itu tidak pongah. Mereka berbeda soal soto, dan tetap bersahabat, tidak saling mengkafirkan. Tetapi mereka tidak lalu berpikiran bahwa agama, nasionalisme, demokrasi, dan kapitalisme kalah unggul dibanding soto.

Bahwa soto perlu ada, saya sepakat. Tetapi meremehkan dan mengejek hal-hal lain di luar soto, seolah-olah yang non-soto adalah non-sense, itulah sejenis kepongahan.

Sekian.

Sumber : Status Facebook Ulil Absar Abdala
 
 
 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed