by

Antara Pakaian dan Kesalehan Tak Ada Hubungannya

 

Tapi sayangnya banyak orang masih melihat dan mengukur akhlak dan moralitas seseorang dari sehelai pakaian. Banyak orang berhasil “dikelabui” dengan sehelai pakaian penutup angggota tubuh: bokong, perut, dada, muka, rambut. Jadi, kesalehan dan ketidaksalehan ukurannya dari sejauh mana seseorang memakai pakaian: dari wudel (pusar) ke atas dan dari pusar ke bawah.

Ironisnya atau lucunya lagi: kesalehan/ketidaksalehan atau relijiusitas / irelijiusitas atau moralitas / imoralitas itu bukan hanya atau tidak cukup diukur dari pakaian saja tapi dari jenis pakaian itu sendiri.

Misalnya, pakai “kupluk kaji” atau turban dianggap lebih Islami ketimbang blangkon, meskipun sama-sama dipakai di kepala. Abaya ala Arab dianggap lebih Islami ketimbang kebaya atau aneka pakaian tradisional. Padahal fungsinya sama-sama menutup tubuh. Gamis dianggap lebih syar’i ketimbang jeans. Padahal fungsinya juga sama: menutup “perabotan” dan “burung piaraan” (beserta telur dan sarangnya) laki-laki (sunat atau tidak nggak penting. Yang penting kualitasnya).

Karena itulah, saya berpendapat keliru besar jika orang-orang di negara-negara Barat misalnya yang mengaitkan antara jubah dan hijab dengan radikalisme, ekstremisme, intoleransi, anti-kemanusiaan, dan seterusnya.

Hal itu sama kelirunya dengan sebagian umat Islam di Indonesia yang menganggap kaum Muslim / Muslimah lain yang tak berjubah dan berjilbab (apalagi bercadar) itu sebagai Muslim / Muslimah sesat, tak berakhlak, tak agamis, tidak Islami, dan seterusnya sesat. Lebih konyol lagi yang beranggapan bahwa surga itu hanya untuk kaum Muslim yang berjubah, berhijab, dan bercadar.

Padahal realitasnya tidak selalu demikian. Banyak yang berjubah tapi kelakukan mereka seperti preman pengkolan. Banyak yang berhijab tapi merangkap sebagai koruptor, maling, garong dan penipu umat. Banyak yang bercadar tapi hanya untuk menutupi kelakuannya yang semprul.

Beragama itu tidak cukup hanya dengan membaca ayat ini, hadis itu, perkataan ulama ini-inu, tanpa melihat konteks ayat, hadis, dan perkataan ulama tadi. Segala teks ada konteksnya. Setiap dalil ada sejarahnya, setiap hadis ada latar belakangnya. Oleh karena itu teks jangan “diuntal” (ditelan) gelondongan, nanti bisa “keloloden”.

Membacalah dengan perspektif dan kacamata yang jembar atau luas bukan dengan “kacamata” kuda poni. Jadilah elang atau rajawali, bukan kodok pilek yang ngumpet di dalam gentong yang sempit.

Jabal Dhahran, Jazirah Arabia

 

(Sumber: Facebook Sumanto AQ)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed