by

Antara Institusi dan Individu

Oleh : Sunardian Wirodono

Setelah rekonstruksi, isu pelecehan seksual justeru kembali mengemuka dalam kasus Sambo. Bahkan didorong oleh dua komisi negara, bernama Komnas HAM dan Komnas Perempuan. Bukan main dan bukan main-main, dua komnas, komisi nasi-onal.

Tak lama kemudian, muncul karangan bunga belarasa untuk pasangan FS dan PC, dari beberapa kalangan yang bersimpati pada ‘nasib’ keduanya. Persoalan selesai. Tanpa persidangan. Kebebasan pers menjamin itu semua. Dan Dewan Pers tak bisa dibanggakan sama sekali dalam disrupsi media abad ini, tapi tetap merasa bangga sebagai penyangga marwah.

“Yang membuat kita rapuh adalah karena institusi tak bisa memiliki sifat-sifat baik (kehormatan, kejujuran, keberanian, kesetiaan, keuletan) seperti yang biasa dimiliki individu,” demikian tulis Nassim Nicholas Taleb (62), pemikir unik seunik campuran nama lelaki kelahiran Libanon berkebangsaanAmerika, Britania Raya dan Lebanon tempat kelahirannya. Pemikir paling keren di dunia dengan kecerdasannya yang istimewa, demikian puja-puji media barat atas seorang ‘flaneur’ ini.

Apa itu flaneur? Menurut Baudelaire, istilah itu direkatkan pada orang yang kerjaannya berjalan keliling kota, untuk mengalami berbagai peristiwa, bermeditasi di kafe-kafe yang tersebar di planet ini (kemudian berpikir dan menulis). Wow, apakah para mahasiswa yang beredar di kafe-kafe kopi, yang banyak bertebaran di Yogya, dan mungkin kota-kota lainnya di seluruh Indonesia, adalah juga para pemikir? Entahlah, tidak penting. Karena bermeditasi dengan asyik ngobrol atau berselancar di dunia maya, dengan wifi gratisan, tentu beda. Tidak penting.

Tetapi bagaimana menjelaskan bahwa institusi atau lembaga sama dengan individu (manusia)? Mungkin karena insitusi itu dijalankan oleh manusia. Kalau computerize? Mungkin juga sama saja, ketika yang memprogram AI juga manusia. Karena ada kemelekatan di sana. Ketika Kepolisian bobrok, bisakah disebut karena kebobrokan manusia-manusianya di institusi itu? Bisa jadi begitu, karena yang berada di Kepolisian adalah manusia-manusia.

Tetapi bukankah manusia-manusia memiliki individualitasnya masing-masing? Yang satu sama lain berbeda? Lagi-lagi, mungkin saja, karena itu mereka diatur dengan suatu sistem dan mekanisme. Tetapi, lagi-lagi, bukankah yang membuat aturan, sistem, mekanisme adalah individu-individu juga? Dan seterusnya, kita akan pusing sendiri. Tapi kenapa kita mesti pusing sendiri, walhal sebenarnya kita sedang pusing bersama-sama?

Maka jadilah oportunis sebagai jalan keselamatan, sebagaimana agama juga sesungguhnya berinti pada salvation, penyelamatan. Apakah agama menyebarkan oportunisme? Saya tak berani menuliskannya. Di jaman kesenian makin diapresiasi, dan kehidupan ekonomi para artis makin menggirangkan sekali, dari medsoslah kita merasakan paradoks itu. Tak apa, karena hidup adalah dinamika dari perubahan ke perubahan.

Bahwa pemikiran mengurangi subsidi BBM sebagai ganti kenaikan harga BBM, dengan alasan subsidi salah sasaran (Presiden mengatakan subsidi BBM justeru 70 persen dinikmati orang kaya) sesungguhnya kata lain dari salah logika. Karena fokus mengurusi orang yang punya kendaraan bermotor (yang membutuhkan BBM), yang terkena imbas orang yang tidak punya kendaraan bermotor. Seperti jalan-jalan mulus yang kemudian dihiasi dengan polisi tidur, untuk menghukum tukang ngebut tanpa memikirkan yang tidak ngebut pun jadi korban aturan itu.

Salah logika bukan hanya dari selisih besaran konsumsi. Tampaknya benar, perhitungan orang miskin dengan satu tanki sepeda motor berukuran 3 liter hanya tersubsidi 3 liter. Sementara orang kaya bermobil dengan tanki 40 liter, mengkonsumsi 37 liter lebih banyak dari yang hanya punya daya tampung 3 liter. Ternyata lebih dari itu, menurut pakar pemesinan motor dengan logika ilmu-pengetahuan, mengatakan bahwa tidak ada korelasi antara kualitas mesin dengan besaran CC dengan nilai oktan tinggi atau rendah. Sementara dasar ukurannya, semakin besar CC mesin linier dengan tingkat ekonomi pemakainya. Perhitungan BBM mahal untuk orang kaya, dan sebaliknya, lagi-lagi menjadi persoalan logika. Jadi, sebetulnya, apa pertimbangannya? Entahlah. Rakyat jelantah ‘kan manusia jelantah. Jadi nggak bisalah pinter.

Bertambah miris ketika kerusakan terparah dibuat oleh orang-orang kompeten yang mencoba berbuat baik, sementara perbaikan terhebat telah dihadirkan justeru oleh orang-orang tak kompeten yang tidak mencoba berbuat baik (Taleb, 2011). Lantas, apa perbedaan antara bankir dan mafia? Bankir punya keahlian dalam membuat aturan hukum yang lebih baik, tetapi kata Taleb, mafia lebih memahami opini publik. Dan mungkin itu benar terjadi, di Indonesia. Karena konon jauh lebih mudah menipu trilyunan rupiah daripada jutaan rupiah. Cobalah tanya pada Gus Samsuddin, kira-kira berapa penghasilan calo kebijakan?

Padal Gus Mus sudah mengingatkan, jangan sibuk mengoreksi orang lain, koreksi diri sendiri. Jadi jangan sok kritis pada Pemerintah, kau sendiri contoh manusia tidak sukses, yang artinya salah koreksi. Intinya jangan mikir, bukankah agama mengajarkan kita bertakbir; Salvation! Salvation! Salvation! Tetapi masalah lainnya, kita juga nggak boleh bershalawat ‘Jaka Tingkir ngombe dhawet’ karena dituding menghina. Dhawet minuman para jelantah, tidak layak untuk Jaka Tingkir yang mulia. Wis, pikiren dhewe! Aku ‘ra kuwat! Kuwat Makcrut! |

Sumber : Status Facebook Sunardian Wirodono III

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed