Oleh : Ary Sudiargo
Orang normal biasanya punya kalkulasi sederhana seperti ini: “ketika kita melakukan sebuah kejahatan, atau sebuah pelanggaran, apakah kenikmatan yang diperoleh ketika melakukan kejahatan atau pelanggaran itu sebanding dengan hukuman atau sanksi yang diperoleh?”
Aku ambil contoh misalnya umat yang beragama islam kepuingin makan daging babi, biasanya kita akan mikir apakah ketika kita melanggar pantangan makan babi maka apakah kenikmatan ketika makan babi itu setara dengan dosanya? Kalau bagi sebagian orang kenikmatannya luar biasa sampai mengalahkan rasa bersalah dan dosa memakannya, ya patut dicobalah daging babi itu sekali sekali biar gak penasaran. Kalau misanya ternyata daging babi itu rasanya ya setara lah dengan daging tenderloin atau sirloin yang bisa kita bisa beli di pasar, mungkin icip-icip daging babi tidak sepadan dengan rasa bersalah dan dosanya.
Atau misalnya kita ini kepikiran untuk berselingkuh dengan orang selain pasangan kita, pertanyaannya juga kira-kira sama. Apakah kenikmatan bersenggama dan bercumbu dengan orang selain pasangan sah kita itu juga setara dengan resiko rusaknya rumah tangga, rasa sesal, rasa bersalah, dan dosa yang harus kita pikul. Ada orang-orang yang hanya mendahulukan nafsu seksualnya daripada berpikir tentang rumah tangganya, pasangannya, anak-anaknya, dan (mungkin) dosa yang nanti akan ditanggungnya. Ada yang mengembangkan teknik berselingkuh yang canggih sampai rumah tangganya tetap utuh. Ada juga, banyak, yang memilih untuk tetap setia.
Nah akhir-akhir ini ada dua kasus yang menarik perhatianku tapi aku baru bisa nulisnya sekarang. Yang pertama adalah tentang budiman sudjatmiko yang memilih untuk menyeberang dari partainya dengan mendukung prabowo subianto. Kita semua tahulah budiman dan prabowo itu siapa dan latar belakangnya apa. Kita semua tahu bahwa budiman dulu berjuang menentang orde baru dan prabowo adalah salah satu elemen terkuat di akhir orde baru. Prabowo adalah jenderal yang memerintahkan penculikan 13 aktivis yang kita bisa kesemuanya berada di sisi yang sama dengan budiman. Walaupun dia sudah dihukum, tapi dia tidak pernah minta maaf dan menunjukkan di mana makam para mahasiswa yang dibunuh atas perintahnya.
Dalam sebuah talkshow budiman bilang bahwa dia memilih untuk mendukung prabowo subianto karena budiman mengikuti jejak presiden jokowi yang selalu melihat kedepan dan mampu “berdamai” dengan prabowo. Tapi setidaknya ada dua hal yang tidak diungkapkan oleh budiman sudjatmiko. Satu, presiden joko widodo tidak termasuk sebagai orang yang pernah secara tegas turun ke jalan untuk menentang orde baru. Jadi walaupun prabowo subianto (beserta partai gerindra dan para kadrun simpatisannya) selalu menjadi rival yang memfitnah presiden joko widodo tetapi beliau tidak kehilangan 13 sahabat seperjuangannya. Dua, apakah budiman sudjatmiko sudah melakukan kalkulasi secara matang tentang peluang prabowo untuk menang di pemilu 2024 jika dibandingkan dengan kehilangan rasa hormat dari para sahabat? Survey survey terbaru menunjukkan bahwa peluangnya untuk menang memang besar, tapi tidak cukup dominan untuk memastikan kemenangan karena calon -calon yang lain juga punya peluang yang cukup besar. Aku tidak bisa berpikir bagaimana dia akan menghadapi cibiran “ah sudah berkhianat tapi masih kalah juga”.
Yang kedua adalah tentang duet anies dan muhaimin. Jika foto (atau scan?) surat dari anies baswedan itu benar dan faktual, maka kita bisalah menyatakan bahwa anies baswedan menerima muhaimin dengan menyingkirkan agus harimurti – orang yang dia ajak untuk ber”pasangan”. Aku bukan pendukung agus harimurti atau simpatisan pdi perjuangan apalagi aku ini paling males dengan susilo bapaknya agus harimurti. Tapi pertanyaanku sebagai orang biasa adalah apakah peluang untuk menang pemilu 2024 sama atau lebih besar jika dibandingkan dengan dosa pengkhianatan kepada “pasangan” yang dulu kita undang? Dalam survey yang terakhir, muhaimin tidak banyak mendongkrak popularitas anies baswedan karena walaupun basis suara pendukungnya di jawa timur agak besar, basis penentangnya juga sangat besar terutama dari pendukung fanatiknya almarhum kyai abdurrahman wahid.
Kita, orang-orang normal ini mungkin akan lebih mementingkan keutuhan rumah tangga, menjaga keyakinan kita, memupuk tali persahabatan dengan para sahabat lama dan menjaga kepercayaan orang-orang yang telah kita undang untuk datang ke dalam hidup kita. Itu sebabnya kita tidak menjadi politikus.
Sumber : Status facebook Ary Sudiargo
Comment