by

Anis Baswedan : Di Balik Tradisi Mudik

Selamat Mudik ….
Mudiklah Dengan Selamat ….

Hari-hari ini ada jutaan orang tua bersiap di rumah, bersiap menyambut anak-anak mereka pulang. Benak mereka dibayangi oleh wajah anak-anak mereka ketika kecil, ketika mulai tumbuh dewasa. Anak-anak yang kemudian berangkat merantau, berangkat untuk berjuang merebut masa depan yang lebih baik.

Sementara, orang tua tetap di rumah, tetap di kampung halaman. Di dalam sujudnya, mereka mendoakan setiap langkah dan usaha anak-anak mereka di perantauan.

Tidak cukup kata untuk menggambarkan bagaimana bahagianya para orang tua itu menyambut kedatangan anak-anak mereka dari perantauan, mereka datang bersama menantu dan cucu-cucu.

Persiapan penyambutan bisa jadi sudah dimulai sejak pertengahan puasa, mulai dari membersihkan rumah, masak ketupat-lontong, menyiapkan kamar untuk dipakai saat lebaran. Semua demi menyambut anak-anak mereka, yang mungkin hanya bisa pulang kampung setahun sekali, ketika lebaran tiba.

Malam sudah larut, dua hari sebelum lebaran, dalam perjalanan mudik menuju Jogjakarta, saya duduk di sisi kiri mobil. Memperhatikan arus mudik yang amat deras itu. Setiap motor yang disalip, saya lihat pelat nomornya, lalu lihat jumlah penumpang motornya, lalu lihat barang bawaannya. Luar biasa, sungguh luar biasa!

Belum jauh selepas daerah Cikampek, Jawa Barat, melewati sebuah motor berpelat nomor N, bapak-ibu dengan 2 anak dalam satu motor. Kode N itu adalah kendaraan dari daerah Malang, sebelah selatan Surabaya, Jawa Timur. Malam itu gelap, hujan dan tentu dingin. Mereka tetap jalan terus. Bisa jadi ada yang tidak setuju dengan mode transportasi berisiko yang harus mereka pilih tapi satu hal yang pasti, mereka tangguh, mereka pantang menyerah. Mereka tak berkeluh kesah, tak cengeng, tak banyak bicara. Mereka jalani hidup, jalani mudik dengan keapaadaannya. Ya, lagi-lagi kita lihat bukti tambahan bahwa Ibu kita di republik ini masih tetap melahirkan dan membesarkan orang-orang tangguh!

Hampir semua berangkat ke Jakarta dengan niat yang kurang lebih sama: ingin lebih sejahtera. Setiap akhir Ramadhan, hampir semua pulang kampung dengan niat yang kurang lebih sama: ingin kumpul keluarga.

Saya bayangkan luapan kebahagiaan orang tua itu di mana-mana sama. Bukan karena oleh-oleh yang mereka bawa, bukan karena tampilan mereka, melainkan karena kepulangan anak-anak mereka itu. Tidak lagi penting anak pulang naik motor, atau bus, atau kereta atau pulang naik mobil atau pesawat.

Momen yang ditunggu-tunggu adalah saat anak-anak mereka sampai di depan rumah, saat anak-anak mereka kembali ke tempat main mereka saat kecil. Momen saat berhamburan saling memeluk, bersalaman dalam dekapan keluarga. Momen itu tidak ternilai.

Melihat ribuan motor di sepanjang jalan malam itu, ada rasa yang bercampur: bangga, iba, bahagia dan hormat. Semua jalani ritual pulang kampung dengan apa adanya.

Tugas moral kita hari ini adalah memastikan bahwa anak-anak yang sekarang dibonceng motor dari Jakarta melintasi pesisir pulau Jawa itu meraih pendidikan berkualitas, sebuah eskalator yang bisa mengubah nasib dan mengubah masa depan.

Mudah-mudahan anak-anak itu kelak bisa mudik dengan nyaman. Mereka kelak duduk di ruang tunggu bandara udara sambil bercerita nostalgia pada anak-anak mereka, tentang masa kecil mereka di atas motor setiap pulang lebaran. Jika itu bisa terjadi maka lunaslah sebuah bait dari janji kemerdekaan: mencerdaskan dan menyejahterakan.

Buat teman-teman yang merayakan lebaran  di kampung halaman: selamat mudik. Perjalanan mudik yang melelahkan ini harus tetap bisa berubah jadi perjalanan yang mengesankan.

Ingat, setiap putaran roda adalah denyut penantian orang tua dan keluarga. Hati-hatilah dalam perjalanan. Kurangi kecepatan kendaraan, kurangi resiko kecelakaan. Jangan lupa, alamat tujuan mudik adalah ke rumah orang-tua, bukan ke rumah sakit.

Di kampung halaman orang tua sedang menunggu. Di kampung halaman mereka sedang mendoakan. Tiap ada deru suara kendaraan berhenti mereka bergegas ke serambi berharap anaknya telah tiba. Tiap ada suara ketukan pintu depan, mereka melonjak bahagia berharap anaknya di depan pintu.

Saat pintu dibuka, saat berhamburan anak-cucu memeluk, di sanalah kebahagiaan orang tua menjulang tanpa batas. Anaknya telah pulang, anaknya kembali ke kerahiman ibu dan ayahnya. Di mata Ibu yang basah itu mengalir cinta tanpa batas seorang ibu pada anak cucunya.

Jauhkan mereka dari rasa tegang apalagi duka. Hampiri orang tua dan keluarga di kampung halaman dengan membawa kebahagian.

Selamat mudik …..
Mudiklah dengan selamat ….

Salam hangat, Anies ** (ak)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed