by

Anies yang Takut dengan Kata-Kata

Tapi, ketika orang tampil di acara TV yang dapat direkam dan dianalisa omongannya, sekadar kelincahan retorika tidak lagi mencukupi. Apalagi dalam sebuah acara debat kampanye Pemilihan Gubernur yang memperbincangkan program kerja.

Inilah masalahnya. Kelincahan olah kata tidak cukup memadai jika harus menjelaskan program yang detil, terukur, dan komprehensif. Sebab dia harus memahami target dan tujuan program. Juga bagaimana cara melaksanakannya, berapa biayanya, apa dampaknya, serta siapa yang disasar.

Jika formatnya adalah monolog atau semi monolog seperti debat versi KPU, mungkin Anies masih bisa menangulangi. Tapi begitu diubah seperti format Mata Najwa kemarin dimana sesama kandidat boleh saling mengkritisi secara terbuka, baru keliatan bolongnya. Ternyata banyak hal yang ditawarkan Anies sangat mentah. Bahkan pada beberapa tidak mungkin terealisasi.

Ini tentu saja menjadi bahan evaluasi tim kampanye di belakangnya. Makanya wajar jika mereka meminta format debat diubah menjadi semacam talkshow. Bukan debat terbuka. Sebab, ya itu tadi. Debat secara terbuka dan head to head akan membongkar kelemahan Anies-Sandi yang programnya baru sebatas berhenti di kerongkongan.

Lihat saja Anies melontarkan gagasan rumah tanpa DP itu hanya untuk memfasilitasi pembelian rumah tapak bekas. Sementara Sandi punya pemikiran lain tentang program itu. Baginya itu adalah rumah susun. Ini memperlihatkan bahwa di kalangan mereka berdua, program itu sama sekali belom matang.

Apalagi di acara Mata Najwa, penonton kaget dengan perubahan karakter Anies. Kemampuannya menyusun kata-kata indah, ternyata hilang disapu kenyinyirannya menyerang Ahok. Di acara itu, Anies seperti mengkonfirmasi tingkah pendukungnya selama ini –targetnya menjadi Gubernur semata-mata cuma ingin mengalahkan Ahok. Bukan melayani rakyat Jakarta.

Terus, jika Ahok sudah kalah, apa yang dilakukan Anies di kursi Gubernur? Mbuh!

Memang kekuatan kata-kata bisa membungkus sebuah gagasan di awang-awang menjadi seolah rasional. Tapi kata-kata tidak akan cukup untuk menutupi ketidakmengertian teknis.

Sejago apapun Anies mengolah kata, ketika sudah masuk persoalan-persoalan teknis, dia membutuhkan pemahaman dan pengetahuan yang cukup. Membutuhkan kematangan program yang sudah dipikirkan segala aspeknya. Sebab orang Jakarta memilih Gubernur untuk menikmati cara kerjanya. Bukan untuk mendengarkan bualannya.

Saya rasa pembatalan kehadiran Anies-Sandi ke acara debat Kompas TV berkenaan dengan pengaruh acara itu pada kepercayaan pemilihnya. Mereka kuatir pemilih yang sudah terikat malah melihat ketidaksiapan program dari Anies-Sandi. Dengan kata lain, mereka kuatir orang jadi melek matanya, bahwa ternyata kandidat yang diusungnya tidak punya program yang matang.

Sebab mereka ingin tetap mempertahankan alasan orang mendukung Anies-Sandi hanya semata karena alasan agama. Ini juga diyakini Eep Saefullah Fatah yang bertindak sebagai konsultan politik Anies-Sandi. Jadi mereka tidak mau orang mengetahui, selain karena seagama, ternyata Anies-Sandi memang tidak punya apa-apa lagi untuk dijual.

Ketidakhadiran Anies-Sandi pada program debat KompasTV mengkonfirmasi perkiraan ini.

Mereka sadar, kemampuan Anies menyusun kata bisa meninabobokan satu orang, dua orang, seratus orang atau seribu orang. Tapi tidak akan mampu megelabui semua orang.

Jadi ketimbang makin terbongkar aslinya, lebih baik menghindar.

Padahal saya sudah mengirimkan sebuah pertanyaan penting ke Kompas TV untuk paslon nomor 3. “Pak Anies kalau makan bubur ayam, diaduk apa gak, sih?”

Kini saya harus pasrah, pertanyaan penting itu tidak akan pernah terjawab.

 

(Sumber; Status Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed