by

Amin Rais Bengis Seperti ‘Teroris’

Oleh : Susy Haryawan

Maaf beribu maaf, kepada yang terhormat Bapak Amien Rais, judul ini jangan membuat sakit hati, juga untuk para pendukung, penyayang, dan pengaggum beliau. Isi sama sekali bukan hal tersebut, hanya soal pemilihan kata yang mengambil akhiran yang menarik. Sama sekali bukan soal kepribadian beliau. Ini hanya soal pernyataan beliau, tentu satu sisi dari seluruh hidup beliau. Jangan baca judul saja kemudian mem-bully, sebagaimana pengalaman soal artikel lain yang d-share ke medsos lain, dan saya di-bully, tanpa tahu isi.

Bagaimana jika panjenengan atau keluarga panjenengan dikatakan bengis bahkan hampir-hampir seperti bandit? Jengkel, marah, dan tentu bisa malu. Apalagi anak-anak Ahok itu masih kecil lho Pak Amien, apakah hal itu nanti tidak jadi bahan teman-temannya mem-bully? Meskipun anak Pak Ahok sudah dipersiapkan mentalnya dengan cara gila ala Ahok, toh anak bisa saja suatu saat tidak lagi mampu.

 Saya tidak akan melihat panjenengan sebagai mantan ketua umum Muhammadiyah, karena panjenengan jauh lebih dekat ke sosok politikus. Sangat jarang mengeluarkan pernyataan yang meneduhkan sebagaimana Buya Syafei, yang menggantikan panjenengan.

Panjenengan sangat lekat dengan jiwa politikus di mana esuk dele sore tempe,bukan sosok agamawan, mohon maaf bagi keluarga besar Muhhamadiyah, sama sekali bukan menyinggung panjenengan semua. Ini penuh sosok pribadi Yang Terhormat Pak Amien Rais. Dulu sebelum pilpres, maju mendekati Pak Jokowi dengan segala puja puji, entah karena ditolak atau apa, kemudian menyerang dengan mengatakan yang pinter itu Mas Rudy, Jokowi bukan apa-apa.Llho, kalau memang Mas Rudy yang jauh lebih segalanya mengapa Pak Jokowi yang dipromosikan ke atas dan ke atas lagi?

Panjenengan juga pernah memberikan pin demokrasi ke Ahok, kini mengatakan dia bengis, tentu panjenengan sebagai pioner demokrasi dan reformasi tahu dengan baik, bahwa bengis bertolak belakang dengan demokrasi bukan? Bagaimana pertanggungjawaban pin panjenengan dulu itu? Apa dengan mencabut, penghargaan yang panjenengan sampaikan itu usai begitu saja, apa bukan malah menunjukkan panjenengan yang salah menilai, entah yang dulu atau sekarang?

Belum lagi soal janji jalan Jakarta Yogya yang fenomenal itu, sama sekali belum terealisasi, tidak ada kog yang menginginkan panjenengan kemudian terkapar di tepi jalan karena kelelahan. Tentu bangsa ini tidak ingin salah satu ketua MPR-nya meninggal dengan tidak hormat kog. Maksud rakyat itu menghormati panjenengan, dan sudahlah tidak ditambah-tambah lagi.

 Manufer PAN yang sama sekali tidak mungkin tanpa restu panjenengan. Bagaimana besan panjenengan kini mesra dengan Pak Jokowi yang tidak penjenengan sukai, bahkan janji mau jalan itu, kalau suka atau minimal tidak ada apa-apa tidak akan sebesar itu sumpahnya.

 Pak Amien yang terhormat, lucu bin ajaib sebenarnya panjenengan itu, bagaimana ’98 meneriakkan reformasi malah mendukung Pak Prabowo yang sangat erat, lekat, dan dekat dengan penguasa ’98 itu sendiri. Mosok panjenengan juga bisa begitu saja melupakan apa yang dituduhkan ke Pak Prabowo, ingat ini bukan soal menjelekan Pak Prabowo, hanya soal sikap panjenengan.

 Pak Amien panjengan itu selangkah saja bisa menjadi negarawan hebat sebesar Pak Habibi, ikon sejarah hidup yang membanggakan bangsa ini, jika tidak dipenuhi dengan amarah dan dendam demikian. Menjadi bapak atas pemimpin muda yang memang kini eranya mereka. Coba penjengan dampingi Pak Jokowi, Pak Ahok, Bu Risma, dan semua pemimpin muda potensial itu. Kritik itu harus, wajib, dan penting memang, namun bukan yang meruntuhkan semangat dan mental.

Panjenengan seperti “teroris” yang meneror keadaan yang tenang, baik, dan nyaman. Bahasa panjenengan dengan kata bengis, perang badar, dan sejenisnya itu menakutkan lho Pak, coba bagaimana suka citanya Pak Presiden itu kalau salah disapa dengan kebapakaan, dan penuh penerimaan sebagai manusia yang tidak lepas salah. Pemimpin itu tidak ada yang sempurna lho Pak, kan namanya juga dunia.

Apa panjenengan pas jadi ketua MPR juga sukses, gilang gemilang, tanpa kesalahan Pak? Tidak bukan? Jika iya, mengapa menuntut orang lain sempurna, menyenangkan semua pihak, dan sukses dalam sekejab? Tidak mungkin lho Pak.

Coba panjenengan ini sudah sepuh, kaya akan pengalaman dan pengetahuan, relasi, bahkan yang mengikuti, dan ada yang buta mendengar kata-kata panjenengan sebagai kebenaran lho Pak, dan bisa menjadi pemicu permusuhan makin panas.

Sayang perjuangan besar panjenengan di masa Pak Harto kuat-kuatnya itu malah panjenengan runtuhkan di era di mana panjenengan bisa melakukan banyak hal sebagai bapak bangsa. Bapak bangsa itu bagi saya tidak perlu menjadi pejabat negara, presiden, atau ketua ini itu kog Pak, namun bisa mendukung negara dengan baik, memberikan kritik dan masukan yang baik demi kebaikan bersama dan itu bisa dilakukan dengan berbagai cara dan status panjenengan. Apalagi akses panjenengan tentu jauh lebih luas. Salam.**

Sumber : kompasiana.com

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed