Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati sendiri pernah memprediksi, ada sebanyak Rp 1.000 triliun lagi dana warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri yang belum terdata, hampir 60 persen di antaranya atau sebesar Rp 600 triliun berada di Singapura. Namun berkat adanya perjanjian tersebut, mau tidak mau membuat para koruptor berpikir ulang bila ingin menyembunyikan kekayaannya di Singapura. Efeknya tentu saja ikut mempengaruhi arus uang masuk dari Indonesia ke perbankan di Singapura.
Lantas bagaimana dengan kewenangan di udara? Tahukah Anda? Bila ruang udara di atas Kepulauan Riau dan Natuna atau dikenal sebagaiFlight Information Region (FIR) Natuna, ternyata masih dikelola Singapura, dan hal ini sudah berlangsung sejak Indonesia merdeka, tepatnya sejak 1946.
Tujuh puluh tahun berselang, FIR Natuna telah menjelma menjadi salah satu ruang udara tersibuk di dunia. Diperkirakan setiap harinya sekitar 20 ribu pesawat melewati kawasan udara Selat Malaka dan Laut Cina Selatan.
Dan Semua penerbangan itu ternyata membayar Air Transport Control Fee (ATC Fee) atau Jasa Pandu Udara kepada otoritas bandara Singapura selama ini. Diperkirakan Singapura mendapat ATC Fee sebesar 10 milyar USD per tahun. Itu masih dari sisi ekonominya, belum kita hitung dari sisi militernya, di mana setiap pesawat Indonesia yang ingin melintasi kawasan udara kepulauan Riau dan Natuna itu diwajibkan minta ijin terbang kepada Singapura, aneh bukan?
Jadi katakanlah bila suatu saat ada pesawat asing masuk ke kawasan udara di kepulauan Riau, pesawat TNI tidak akan bisa terbang untuk mencegat pesawat asing tersebut sebelum mendapat ijin dari ATC Singapura.
Atas dasar inilah, maka pada September 2015, Presiden Joko Widodo menginstruksikan agar pengambilalihan pengelolaan ruang udara tersebut dipercepat. Bila sebelumnya melalui UU Nomor 1 Tahun 2009 tentang Penerbangan, yang menargetkan paling lama tahun 2024.
Maka Jokowi menginginkan agar bisa diambil alih paling lambat tahun 2019. Tidak hanya di kawasan udara di atas kepulauan Riau, Natuna namun juga untuk kawasan Kalimantan Utara yang berbatasan dengan Sarawak, Malaysia.
Luar biasa bukan? Dari berbagai hal yang telah saya sebutkan di atas, tidak mengherankan bila Singapura lebih mendukung Prabowo ketimbang Jokowi untuk menjadi Presiden Republik Indonesia di tahun 2019 nanti. Hal ini terbukti dari undangan Singapura kepada Calon presiden nomor urut 02 Prabowo Subianto untuk menjadi pembicara utama dalam acara The World in 2019 Gala Dinner yang diselenggarakanThe Economistdi Hotel Grand Hyatt Singapura, Selasa 27 November 2018, belum lama ini.
Bahkan dalam Instagram-nya, PM Lee Hsien Loong dengan bangga juga mengunggah pertemuannya dengan Prabowo. Tidak hanya itu saja, Lee juga tak segan mendoakan sahabatnya yang akan maju dalam kontestasi Pilpres 2019 mendatang tersebut. Artinya dengan terpilihnya Prabowo sebagai presiden di Indonesia, mungkin saja harapannya agar segala sesuatu yang sudah dijadwalkan di atas dapat dinegosiasikan ulang.
Bisa jadi dengan alasan menjaga hubungan baik, kedaulatan Indonesia di kawasan udara kepualuan Riau, Natuna dan sekitarnya biarlah tetap dikuasai oleh Singapura. Dengan alasan hubungan baik juga, usaha pandu kapal, lego jangkar, transhipment, ATC Feebiarlah tetap dipegang oleh Singapura. Bahkan kalau perlu Petral dihidupkan lagi, kilang dan penyulingan minyak tetap di Singapura, biarlah uang Indonesia mengalir ke sana.
Sebagai gantinya, yah atas nama hubungan baik, janganlah diusut harta kekayaan para koruptor yang tersimpan di Singapura. Tidak perlu lah dilakukan pertukaran data perbankan antara Indonesia dan Singapura. Dengan demikian Singapura tetap makmur sementara Indonesia juga ikut makmur, koruptornya..
Hal-hal demikian inilah yang tidak dapat dilakukan Singapura terhadap Jokowi.
Bukannya tidak pernah Singapura merayu Jokowi, di tahun 2015 yang lalu Singapura mengabadikan nama Iriana Jokowi ke dalam salah satu bunga anggrek hasil persilangan Dendrobium christabelladanDendrobium haldis morterud menjadi Dendrobium iriana jokowi. Jokowi ketika itu menyebutnya sebagai “Diplomasi Bunga“.
Namun upaya tersebut tidak mampu melunakkan hati Jokowi yang tetap kokoh ingin memperjuangkan bangsa Indonesia agar memiliki kedaulatan atas negaranya sendiri. Jokowi sendiri sadar, negara singa yang luasnya (718,3 km2) hanya lebih besar sedikit dari Jakarta (661,5 km2) ternyata memanfaatkan kelemahan Indonesia selama berpuluh tahun. Caranya dengan menguasai sektor-sektor yang harusnya bisa menghasilkan devisa untuk Indonesia malah menjadi sumber penghidupan bagi negara kota tersebut.
Langkah Jokowi tentu saja membuat Singapura ketar-ketir memikirkan kelangsungan hidup negaranya ke depan. Apalagi beberapa tahun terakhir pertumbuhan ekonomi negara tersebut juga mulai melambat. Jadi pemilihan presiden di tahun 2019 ini mempunyai arti penting, tidak hanya bagi rakyat Indonesia, melainkan negara Singapura juga.
Dimana negara kota tersebut mengharapkan agar presiden terpilih kelak akan lebih mudah diajak kompromi, lebih lunak dan lebih gampang dipengaruhi. Dan semua itu didapat dari sosok seorang Prabowo yang tidak ragu menjelek-jelekkan bangsa sendiri dengan menyebutnya sebagai bangsa yang rakyatnya gampang disuap dengan hanya beberapa karung beras dalam pertemuan internasional tersebut.
Padahal dalam bayangan saya, hanya seorang bajingan yang nasionalismenya dipertanyakan sajalah, yang mau mempermalukan bangsa sendiri dalam sebuah pertemuan internasional. Saya tidak tahu dirinya termasuk kategori itu atau bukan? Biarlah pembaca yang menilainya.
Sekarang semua tergantung rakyat Indonesia sendiri, mau bersatu padu mendukung calon presiden yang ingin menegakkan kedaulatan bangsa sendiri melawan firnah pro asing dan aseng yang ditudingkan kepada dirinya selama ini. Atau mendukung calon presiden yang berkoar-koar anti asing dan aseng namun tindakannya malah mencerminkan dirinya pro asing dan aseng? Bagaimana dengan Anda?
Sumber : Status Facebook Mohammad Monib
Comment