by

Alasan Memilih Jokowi, Karena Bu Iriana

 
 
Suatu ketika saya melihat sebuah wawancara Pak Jokowi dan Bu Iriana di sebuah stasiun televisi. Waktu itu, ketika ditanya apa kekurangan Ibu Iriana, Pak Jokowi menyebutnya ‘ndeso’. Khas perempuan yang tak terima disebut ‘ndeso’ oleh suaminya sendiri, Ibu Iriana spontan mencubit pinggang Pak Jokowi, “Ih… Bapak yang ‘ndeso!” Keluhnya. Pak Jokowi tertawa. Ibu Iriana terus mencoba mencubit pinggang Presiden. Sambil tertawa dan menahan malu.
 
Ada banyak momen hangat serupa yang ditampilkan Pak Jokowi dan Ibu Iriana—suami istri sederhana yang tampak begitu saling mencintai. Keduanya sudah selesai, sudah penuh dengan cinta satu sama lain. Ibu Iriana bagi Pak Jokowi, dengan segala kelembutan dan kharismanya, bagaikan Michele bagi Barack Obama. Kita melihat dua sosok yang dekat, saling mengagumi, saling menghormati. Iriana adalah ibu negara yang bisa kita banggakan.
 
“Apakah Ibu selalu ikut Bapak kemanapun Bapak pergi?” Suatu hari Ibu Iriana ditanya.
 
Ia menggeleng. “Enggak, kalau pas harus ikut dan ada tugas aja. Pas kunjungan ke luar negeri. Atau kunjungan Bapak ke daerah, yang saya juga punya acara dengan istri-istri Menteri.”
 
“Kalau sedang tidak ikut, Ibu ngapain aja?”
 
“Ya… Di rumah aja. Beres-beres rumah. Atau kadang jalan-jalan kalau bosan.”
 
Kurang lebih begitu percakapannya. Sesekali disela tawa khas Ibu Iriana yang anggun dan keibuan. Bagi saya, ia sosok ibu negara yang dibutuhkan Indonesia. Ia masih dibutuhkan. Ibu negara bagi anak-anak Indonesia. ‘Role model’ bagi banyak perempuan yang mendampingi sukses suaminya. Di dalam maupun luar rumah.
 
Belakangan, beredar viral foto Ibu Iriana sedang menggendong cucu perempuannya, Sedah, di sebuah warung makan. Ibu Iriana memakai kain ‘samping’ atau ‘jarik’, duduk tenang sementara Sedah bermain di pagkuannya. Lewat foto itu, saya seperti melihat ibu-ibu Indonesia pada umumnya, seperti ibu saya: Yang ‘bela’ pada keluarganya, yang rela melakukan apa saja demi kenyamanan keluarganya, yang menempatkan dirinya sendiri di urutan kesekian setelah segala keperluan orang-orang tercinta terpenuhi. Tetapi, tatap saja, sosok itu tak kehilangan keagungan dan pesonanya—sebagai ibu, sebagai nenek.
 
Mengapa saya meletakkan alasan “Ibu Iriana” di posisi kedua? Sederhana, Pak Jokowi adalah pemimpin yang sudah selesai di rumah. Ia sudah mendapatkan banyak cinta di rumah. Ia sudah penuh dengan kasih dari Ibu Iriana—perempuan yang melepasnya pergi dan menyambutnya pulang. Maka di luar, Pak Jokowi tinggal berjuang, untuk rakyat saja…
 
Bagi Anda, alasan ini mungkin terdengar aneh atau sepele. Anda boleh punya argumen bahwa seorang istri tidak berpengaruh dalam kontestasi suaminya yang sedang menjadi calon presiden. Namun, bagi saya itu penting. Saya selalu punya keyakinan bahwa untuk melihat kualitas diri seseorang, kita perlu melihat orang-orang terdekat di sekelilingnya. Dan istri adalah orang terdekat yang darinya bisa kita lihat karakter, sikap, mentalitas, cinta, kasih sayang dan akhlak seorang suami…
 
Saya melihat cerminan Pak Jokowi dari segala yang ada pada diri seorang Ibu Iriana. Dan itu luar biasa.
 
Tabik!
 
FAHD PAHDEPIE
 
PS: Sesuai janji, saya sudah tiba pada alasan kedua. Saya akan terus kemukakan alasan saya, tanpa sedikitpun menjelekkan apalagi merendahkan pihak lain. Karena tidak perlu.

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed