by

Akun Ongen #Jalamangkara Ditangkap Bareskrim

 

Oleh : Indria Salim

Pemilik akun twitter Yulianus Paonganan (45) atau yang dikenal dengan nama Ongen @ypaonganan ini barusan ditangkap Subdirektorat Cyber Crime Bareskrim Polri dengan dugaan menuliskan kicauan-kicauan hate speech dan yang berkonten pornografi.

Detik[dot]com melansir bahwa “YP” bekerja sebagai dosen dan Pemred Majalah Maritim. Kompasianer (baca: penulis) yang sempat melihat akun twitter di atas, berpendapat bahwa memang selayaknya dia dilaporkan – kalau bukan untuk hate speech-nya, sekurangnya adalah untuk kicauan-kicauannya yang menggunakan bahasa sarkasme berlebihan, termasuk istilah-istilah yang secara kontekstual bisa memberi pengaruh buruk terhadap pengguna twitter generasi muda.  

Dosen ini disebutkan aktif di media sosial twitter dengan jumlah followers tercatat lebih dari 26.000 . Penangkapan di rumah terduga tersebut dilakukan setelah penyidik memperoleh dua alat bukti dan izin dari pengadilan.

Atas perbuatannya, YP bisa dijerat sebagai orang yang melanggar Pasal 4 Ayat (1) Huruf a dan Huruf e Jo Pasal 29 UU Nomor 44 Tahun 2008 Tentang Pornografi dengan ancaman pidana penjara paling singkat 6 (enam) bulan dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp250 juta dan paling banyak Rp 6 miliar, serta Pasal 27 Ayat (1) Jo Pasal 45 UU Nomor 11 Tahun 2008 Tentang ITE dengan ancaman pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan atau denda paling banyak Rp1 miliar. Pada saat tulisan ini diposting Kompasianer, akun twitter @ypaonganan masih bisa diakses oleh publik.

Sementara itu, berita terakhir mengabarkan bahwa yang bersangkutan menyesali perbuatannya dan menyatakan kalau kicauannya diunggah tanpa motif politik. Sebagai orang tua, kita wajib melindungi remaja dan anak kita (baca: generasi muda) dari pengaruh penyalahgunaan media sosial yang tampak semakin intens dan memburuk terkait beragam motif – perdagangan (bisnis prostitusi) online, kampanye politik tidak sehat, fenomena buzzer yang menghalalkan segala cara demi mencapai tujuan sepihak, pengguna media sosial yang mengabaikan etika komunikasi dan pemikiran sehat, dan sejenisnya. Harapan penulis sebagai Kompasianer, suasana yang bisa berkembang menjadi banal seperti itu bisa diminimalisir, dan ini juga termasuk di Kompasiana.

Merujuk pada pesan Presiden RI dalam kesempatan perjamuan makan siang di Istana bersama Kompasianer hampr sepekan lalu (12/XII), mari kita sebagai makhluk berbudaya meningkatkan kesadaran diri untuk turut berperan menumbuhkan kebiasaan menulis secara baik, tidak sekadar “kritis”, berkomentar dengan baik, dan bermartabat. Mari kita berkompetisi secara sehat, saling mendukung budaya menulis dan bersosial media dengan bertanggung jawab, dan bersikap dewasa. Contoh sederhana, untuk memberikan kritik atau ungkapan protes terhadap ketidakmerataan undangan Presiden yang dilaksanakan oleh Admin Kompasiana, penulis sempat membaca ada ungkapan dari Kompasianer yang tertulis, “Seratus Kompasianer yang diundang itu sebaiknya menjadi pengemis jalanan.”

Dari sisi pemaknaan harafiah, memang seakan tidak ada kata yang vulgar. Namun di pihak lain hal ini mungkin menyiratkan penghinaan. Belum lagi komentar-komentar yang membinatangkan sesama Kompasianer. Penulis rasa ini bukan budaya Indonesia yang mencerminkan kehalusan akal budi dan intelektualitas sesungguhnya. Mohon maaf penulis terpaksa menyampaikan hal ini. Satire, jelas tidak sama dengan sarkasme dan penghinaan.

Protes atau kritik sungguh berbeda dengan kebisingan tanpa dasar. Kalau boleh mengajukan usulan kepada Admin dan pengelola Kompasiana, hendaknya komentar dan tulisan yang secara prinsip dan mendasar jauh dari kriteria kepantasan berkomunikasi di ruang publik itu bisa diminimalisir.

Menurut penulis, karya yang baik itu selain isinya bagus, penyajiannya menarik, namun sebisa mungkin juga bermanfaat. Inilah salah satu bentuk nyata niat baik Kompasianer mengamalkan kemampuan menulis, kesempatan mengekspresikan pendapat dan aktualisasi intelektualitas dan keterampilan menganalisis suatu persoalan atau fenomena kehidupan demi kebaikan anak cucu keturunan kita sendiri. 

Kalau kita simak kejadian yang menjerat dosen berakun twitter di atas, sungguh ironis. Dari kicauan dan foto yang diunggahnya, penulis melihat ada foto suasana ujian mahasiswa S3 (calon Doktor) dan dosen ini menyatakan diri sebagai dosen para mahasiswa tersebut. Memalukan.

Akhir kata, ada pepatah berbahasa “Jawa Kuno” yang bunyinya, “Walk the talk, and Walk the walk”. Arti bahasa Indonesianya kurang lebih, “Kita amalkan perkataan kita, dan kita lakukan apa yang sesuai dengan janji dan rencana kita.” Dengan rendah hati, penulis mohon maaf bila ada yang tidak berkenan. Bagaimana pun, penulis ingin mengingatkan diri sendiri agar tak segan belajar dari para bijak.

 

Sumber: Kompasiana Indria Salim

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed