by

Akun Dihidupkan Facebook, Afi Nihaya Curhat soal Ancaman Pembunuhan

 
Berikut postingan lengkap Afi Nihaya:
 
Kemarin saya menghadiri undangan dari rektor Universitas Tribhuwana Tunggadewi Malang untuk berbicara di depan para profesor dan perwakilan Badan Eksekutif Mahasiswa se-Jawa timur.
Sejujurnya saya tidak tahu apa yang akan saya katakan di sana. Ya sudah, saya sampaikan saja semua aspirasi saya menyangkut kebhinekaan Indonesia, sesuai tema acaranya.
Beberapa hal yang saya katakan adalah:
“Hadirin yang saya hormati.
Secara akademik, saya tentu jauh lebih rendah dibandingkan Anda semua. Saya hanyalah anak yang baru lulus SMA di bulan ini, sungguh tidak ada apa-apanya dibandingkan Anda. Di tengah segala keterbatasan, saya hanya berusaha melakukan hal yang saya mampu untuk memberi kontribusi bagi negara ini. Tapi, dengan kemampuan Anda dan segala yang Anda miliki sejauh ini, saya yakin Anda semua pasti bisa melakukan hal yang jauh lebih hebat daripada apa yang telah saya lakukan. Demi NKRI, demi negara yang di atasnya kita mencari makan tiap hari.
Saya juga senang berdiri di sini, di tengah-tengah para akademisi. Sebab, seperti yang Malala Yousafzai katakan, dengan pistol Anda bisa membunuh teroris. Tapi dengan pendidikan yang baik Anda bisa membunuh terorisme. Saya muslim dan saya mencintai toleransi. Mari bersatu tolak diadu!”
Beberapa hadirin bertepuk tangan sambil berdiri ketika pidato saya yang benar-benar tanpa persiapan tersebut sudah selesai.
.
Salah satu momen paling mengesankan dalam hidup saya adalah ketika setelah rampungnya acara, seorang ibu dosen tiba-tiba menghampiri dan memegang pipi saya, kemudian beliau berkata dengan mata yang berkaca-kaca, “Nak, kau tahu tidak, begitu banyak orang yang punya pendapat dan suara tapi lebih memilih untuk tidak mengungkapkannya. Saya adalah salah satu orang diantara mereka. Dan kamu berani, Nak. Saya tidak tahu apa yang harus saya ungkapkan padamu. Saya terharu!.”
***
Hari ini saya diberi kesempatan untuk jadi salah satu tamu pembicara di panggung Car Free Day Jakarta. Adalah sebuah kehormatan tersendiri bagi saya untuk berdiri dengan Bapak Menteri Kominfo di sana.
.
Seorang wartawan mewawancarai saya setelah turun dari panggung.
“Bagaimana perasaanmu ketika dibully atau diserang?”
“Saya hanya 1 orang, sedangkan serangan datang bergantian dari sekian puluh ribu orang. Peristiwa semacam itu menguji kualitas diri saya pribadi, apakah selama ini saya benar-benar sebaik tulisan-tulisan saya ketika menghadapi masalah. Lagipula, saya sepenuhnya sadar terhadap konsekuensi yang akan saya hadapi setelah sebuah tulisan dipublikasi.”
“Oke. Lalu, bagaimana rasanya dikontra bahkan dikecam sekian banyak orang?”
“Tujuan saya menulis bukan untuk disetujui, bukan pula mereguk sanjung puji. Jika itu tujuan saya, kan mudah saja. Tinggal menulis hal yang memuaskan semua orang lalu mengalirlah beragam pujian. Bagaimanapun, saya selalu menulis untuk menyampaikan pemikiran, bukan untuk membuat orang-orang terkesan. Seperti kalimat terakhir di tulisan WARISAN, saya hanya ingin mengajak pembaca untuk berpikir. Sebab, kalau sekadar percaya, anak kecil saja bisa. Lingkungan dan segala doktrinnya berperan dalam mengkerdilkan nalar, mengkondisikan manusia sedemikian rupa seolah-olah berpikir itu dosa, seolah-olah kita tak punya pilihan lain yang lebih baik daripada sekadar berpengangan pada pedoman “sudah percayai dan ikuti saja, jangan banyak tanya!”
“Oh jadi gitu ya, Fi. Terus bagaimana tanggapan kamu jika ada orang yang memberimu cap macam-macam? Apa kamu selalu kuat?”
“Jadi gini, mengapa saya harus menyia-nyiakan begitu banyak waktu dan energi hanya untuk meladeni tingkah orang yang kenal saja tidak? Hater’s gonna hate.”
“Oke, Fi. Sekarang enak dong jadi terkenal?”
“Jika sekarang saya menjadi sorotan, itu sama sekali bukanlah sebuah kesengajaan. Seperti saya yang tidak menyangka bahwa ada orang yang menelepon dengan nomor pribadi pukul setengah tiga pagi, berkata bahwa ia dan kawan-kawannya tidak hanya bisa menghabisi akun saya, tapi juga bisa menghabisi pemiliknya. Mereka menganggap bahwa saya menjadi penghalang sebuah perjuangan di jalan Tuhan.
Saya heran, sebenarnya bahaya apa yang disebabkan hanya dari ajakan seorang anak untuk berpikir?”
© Afi Nihaya Faradisa

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed