by

Akbar-nya Patrialis

Benar saja. Begitu keluar dari ruang pemeriksaan dan memakai baju indah berwarna oranye sebagai yang pertama dikatakan oleh Patrialis di depan wartawan adalah, “Saya dizalimi”. Katanya, dia tidak menerima uang sesen pun dan Pak Basuki yang disangka menyuap dirinya itu bukan orang yang beperkara di MK. Lihatlah ke belakang. Hampir semua orang yang dicokok oleh MK selalu berdalih seperti itu sehingga kalimat “Saya dizalimi, dikriminalisasi, dijadikan korban politik dan sebagainya,” seakan-akan menjadi semacam lafal-lafal baku, hampir sama dengan lafal standar doa iftitah di dalam salat.

Nyatanya pula orang-orang yang di-OTT itu selalu bisa diantar ke penjara oleh KPK. KPK selalu bisa menunjukkan bukti-bukti yang kuat sehingga vonis hakim selalu memuat kalimat, “Terbukti secara sah dan meyakinkan.” Pembuktian oleh KPK tidaklah main-main, ia selalu dibangun dengan konstruksi hukum yang kuat sehingga jika terhukum naik banding ke pengadilan tinggi atau mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung, vonisnya selalu dikuatkan, bahkan banyak yang hukumannya dinaikkan.

Saya percaya akbarnya drama Patrialis ini takkan keluar dari pakem yang selama ini sudah baku, yakni, KPK akan mampu membuktikan dakwaannya. Setahun terakhir ini memang mulai banyak orang mempertanyakan profesionalitas, kredibilitas, bahkan independensi KPK sehingga mereka ragu, apakah kasus Patrialis yang akbar ini benar-benar bukan bagian dari permainan politik dan kebal dari intervensi. Tetapi secara umum saya pribadi masih memercayai dan masih sangat berharap kepada KPK untuk tetap menjadi instrumen negara yang perkasa dalam memerangi korupsi.

Dalam kasus Patrialis ini saya percaya KPK tidak sedang memainkan akrobat politik. Pertanyaan wartawan yang lebih jauh adalah bagaimana pola seleksi hakim konstitusi dilakukan. Bagaimana orang seperti Patrialis bisa menjadi hakim MK yang menurut konstitusi mensyaratkan kenegarawanan? Harus diakui, masuknya Patrialis sebagai hakim di MK didahului dengan masalah serius.

Patrialis diangkat oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono tanpa proses transparan dan partisipasi publik sebagaimana dipersyaratkan oleh Pasal 19 UU MK . Patrialis diangkat dengan Keppres Nomor 87/P Tahun 2013 dalam satu paket dengan Maria Farida Indrati tanpa seleksi terbuka. Untuk Maria Farida memang tidak ada masalah saat diangkat lagi karena dia sudah pernah mengikuti seleksi terbuka dan lulus dengan baik serta sudah menjadi hakim MK selama lima tahun dengan prestasi yang baik pula.

Tetapi pengangkatan Patrialis memang sangat janggal sehingga banyak yang mencibir dan menentang. Karena pengangkatan Patrialis dirasa sangat tidak fair, maka sekelompok masyarakat melalui, antara lain, YLBHI dan ICW, menggugat Keppres itu ke pengadilan tata usaha negara (PTUN). Maria, meskipun tak banyak dipersoalkan, menjadi ikut terbawa dalam gugatan itu karena pengangkatannya kembali dijadikan satu Keppres dengan pengangkatan Patrialis Akbar yaitu Keppres Nomor 87/P Tahun 2013.

Ternyata gugatan itu dikabulkan dan PTUN memutus pengangkatan hakim dalam Keppres tersebut tidak sesuai UU MK dan harus dibatalkan. Pada saat itu masyarakat sudah berteriak, saya juga ikut berbicara dan menulis di berbagai media massa, agar Presiden SBY tidak mengajukan banding atas putusan PTUN itu.

Tetapi Presiden SBY tetap mengajukan banding dan bandingnya dimenangkan oleh PTTUN untuk kemudian dimenangkan lagi di tingkat kasasi di Mahkamah Agung. Bisa dipahami jika kemudian muncul gerutuan, “permainan apa dan siapa ini?” Ternyata ujung dari permainan yang bersubjek Patrialis tersebut seperti ini, di-OTT, sehingga menghancurkan harapan rakyat dan merusak pembangunan negara.

Pemerintahan SBY memang tidak bisa dimintai tanggung jawab hukum atas peristiwa OTT ini karena MA mengukuhkan pengangkatan Patrialis sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya. Sekali lagi, “sesuai dengan prosedur dan kewenangan yang dimilikinya”, tak lebih.

Tetapi ini tentu menjadi beban dan menuntut tanggung jawab moral bagi pejabat yang dulu memainkannya. Soalnya, apakah pemimpin- pemimpin kita masih mempunyai kepekaan moral? Itulah yang nanti jawabannya bisa bercabang-cabang.(nasionalsindonews)

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed