by

Akbar Faizal-Luthfi Andi Mutty; Dua Menit yang Memalukan

Oleh: Tomi Lebang
 

KABAR-kabar angin itu rupanya seperti bola salju. Kian jauh menggelinding kian membesar. Berita pun begitu, semakin lama semakin menggelembung. Ditambahi sana sini, dikomentari pula dengan membuta. Seperti peristiwa bersitegangnya dua anggota DPR di Plasa Indonesia, Jakarta, Rabu 2 Maret lalu, kini menggelinding ke seantero Makassar — ditulis koran-koran yang dibaca pula tautannya di media sosial.

Sesungguhnya saya tak ingin bercerita soal itu. Apa pula urusan saya dengan perseteruan seperti ini. Tapi ujung-ujungnya, kabar dari Jakarta ini menjadi buah mulut para politisi. Dan tentu lebih banyak bohongnya… hehe.

Apa boleh buat. Saya terpaksa bercerita, tak menambah tak mengurangi, dari yang saya saksikan sendiri.

SAYA datang ke kafe Ya Kun Kaya di lantai bawah Plasa Indonesia pukul empat sore dan langsung bergabung dengan kawan saya, pengacara Amran Alimuddin. Lalu datang pula Makhfudz Sappe, editor majalah Lion Air dan Harian Nasional, serta staf khusus wakil presiden, Husain Abdullah. Saya duduk membelakangi dinding, menghadap ke tengah kafe.

Di seberang kami di meja lain, duduk pula seorang lelaki paruh baya bersama lima atau enam orang lainnya. Sepintas saya melihatnya bercincin batu akik, rambut agak cepak. Ia duduk di posisi yang sama dengan saya. Saya tak mengenalnya, juga tak familiar dengan tampangnya. Tapi Husain Abdullah ternyata kenal dekat, ia bahkan sempat bergabung di meja seberang beberapa menit lamanya, bersalaman dan berbasa-basi, lalu kembali ke meja kami.

Gelas kopi saya belum lagi tandas ketika muncul Akbar Faizal, anggota DPR yang tentu tak asing lagi. Senyumnya mengembang. “Halo pak jubir,” katanya kepada Husain. Ia duduk tepat di depan saya, membelakangi pengunjung kafe di meja seberang.

Belum sampai semenit, obrolan belum dibuka, tiba-tiba terdengar suara dari belakang Akbar, dari lelaki paruh baya yang duduk di seberang itu. “Telaso kau … ,” saya kaget, makian jalanan ala Makassar ini jarang terdengar di Jakarta. Tiga kali dia mengucapkan kata itu, dan ia tak beranjak dari kursinya. Matanya mengarah ke Akbar.

Akbar tampak kaget. Ia menoleh ke lelaki itu dan menjawab dengan marah: “Apa maksudmu?”

Lelaki itu masih mengeluarkan kata-kata kotor. Akbar berdiri dan beranjak mendatangi. Gelagat yang buruk. Husain Abdullah serta merta berdiri di tengah dan tangannya dikembangkan memberi isyarat damai dan menenangkan.

Saya menarik tangan Akbar, sedikit memaksa, membawanya menjauh keluar kafe. “Kita ke kafe yang suasananya lebih bermartabat,” kata saya. Saya menggiring Akbar ke kafe Tous Les Jours yang letaknya di pojok lain sekitar 50 meter dari Ya Kun Kaya. Sembari berjalan itu saya mendengar suara lelaki itu tetap mengulang-ulang makiannya. Yang jelas terdengar adalah: “telaso,… la borro…”

Begitulah. Di kafe Tous Les Jours saya memaksa Akbar duduk, memesan segelas cappuccino buatnya. Lalu saya tanya: “Siapa orang itu? Ada apa?”

Saat itulah baru saya tahu jika lelaki paruh baya yang memaki-maki Akbar itu adalah Luthfi Andi Mutty. Oalaaa… yang itu toh orangnya.

Saya sudah sering mendengar namanya sejak tahun 2000 dari obrolan dengan bekas Menteri Otonomi Daerah, Ryaas Rasyid, kawan-kawan saya mendiang Wempy S. Cecep atau bekas Menteri Hukum, Hamid Awaludin. Saya juga tahu, Luthfi adalah Bupati Luwu Utara di Sulsel selama dua periode dan kini duduk di DPR dari Partai Nasdem.

Saya tahu Luthfi Andi Mutty sedari dulu. Tapi sungguh, saya tak mengenalnya, tak tahu wajahnya, dan baru sekali ini melihatnya.

Ada pun Akbar Faizal, dia kawan lama saya. Kawan akrab. Kami bahkan pernah tinggal bertetangga kamar di satu rumah kos yang dihuni anak-anak muda Makassar di Gang Guru Demar II, Jalan Kalipasir, Jakarta Pusat. Di rumah kos ini, tinggal pula mendiang Ridwan Effendy, Ami Ibrahim, Moelawarman, dll yang sudah saling mengenal sejak dari kota Makassar. Kami adalah para santri Pesantren Kalipasir hahaha.

Tapi Akbar Faizal kemudian menjadi politisi yang karirnya mentereng. Ia jadi selebritis, dan saya masih seperti teletubbies: bila bertemu dengannya, berpelukaaaan. Hanya itu saja. Saya jarang mengingatnya, mungkin seperti itu pula dirinya, tak ingat lagi kawan lama hehe…

Sampai pertemuan di kafe Ya Kun Kaya di lantai bawah Plasa Indonesia itu, saya tak tahu apa gerangan yang Akbar lakoni saat ini.

Di kafe Tous Les Jours, Akbar duduk di depan saya, mengetik pesan di telepon genggamnya dengan wajah ditekuk. Saya kehilangan minat untuk menggali latar peristiwa hampir adu jotos dua politisi terhormat di ruang terbuka ini.

Lalu sejak kemarin, koran-koran di Makassar memuat peristiwa yang hanya berlangsung tak lebih dari dua menit itu, melintas di lini masa, dan yang saya baca adalah kabar-kabar yang sudah menggelembung di sana sini. Saya tak tahu keduanya tengah merintis jalan jadi Gubernur Sulsel, atau sedang berseteru di partai asal keduanya, Partai Nasdem. Urusan merekalah itu. Tapi tentang peristiwa di depan saya kemarin itu, inilah faktanya. Tak lebih, tak kurang.

Dan kalau saja peristiwa itu terulang lagi di depan saya, saya akan membiarkan mereka berkelahi, bertinju sepenuh dendam. Mungkin saya akan sigap mengangkat telepon genggam, mengambil foto selfie yang unik: foto dengan latar dua politisi handal sedang beradu jotos.

Selamat siang kawan-kawan yang tak termakan berita menggelembung.

— Jakarta, 4 Maret 2016

(Sumber teks dan foto: Facebook Tomi Lebang)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed