Pada sisi lain, mengatakan bahwa terorisme muncul karena adanya ketidakadilan, kesejahteraan dan karena adanya kesenjangan bisa ditafsir seolah sedang menuding pelaku terorisme itu masyarakat ‘bawah’, kaum akar rumput alias rakyat miskin. Seolah masyarakat kecil dan rakyat jelata itu manusia biadab yang tidak mampu mengungkapkan aspirasinya secara beradab sesuai dengan koridor hukum dan sesuai dengan fatsun politik bangsa kita. Ucapan itu bisa disebut blaming the victim, suatu sikap yang justru menyalahkan korban. Bila benar itu terjadi, ucapan petinggi partai ini secara moral sangat tidak patut. Tidak etis!
Motivasi untuk melakukan aksi-aksi kekerasan dan terorisme bisa beragam. Bisa muncul oleh karena nafsu terhadap kekuasaan politik dan ekonomi, tetapi bisa juga muncul karena faktor ideologis, baik sekuler maupun yang bersifat agamis. Oleh karena itu aksi kekerasan dan terorisme ini bisa muncul dari kelas sosial mana saja. Bahkan Noam Chomsky, dalam kritiknya terhadap kebijakan luar negeri Amerika Serikat, mengatakan aksi terorisme bisa juga dilakukan oleh negara (State terrorism) terhadap negara lain. Hitler dengan Nazi-nya adalah pelaksana state terrorism terhadap Yahudi dan bangsa-bangsa lain. Myanmar sedang menjadi pelaku state terrorism yang menindas dan melakukan ketidakadilan terhadap bangsanya sendiri. Kita harus waspada karena semua negara, termasuk Indonesia punya potensi untuk itu.
Dari kelas mana saja para teroris berasal? Bisa dari mana saja! Kaum kelas menengah dan orang yang sangat kaya raya pun banyak yang menjadi pelaku dan pendukung terorisme. Satu keluarga yang menjadi pelaku terorisme di Surabaya, misalnya, secara sosial-ekonomi adalah kaum kelas menengah.
Timothy McVeigh, teroris pelaku pemboman gedung pemerintah di Oklahoma City yang menewaskan 168 orang berasal dari kelas menengah dan disinyalir anggota Kristen fundamentalisme. McVeigh terus-menerus dicekoki dengan indoktrinasi bahwa pemerintah federal Amerika Serikat adalah pemerintahan yang bengis dan tiran. Masih banyak contoh lain yang menunjukkan bahwa pelaku teror atau kekerasan, termasuk bom bunuh diri, bisa berasal dari kelas sosial mana saja, dari kelas bawah sampai kelas elite. Motivasinya pun sangat beragam, dari sekuler sampai agamis. Mereka bukan orang yang sakit jiwa. Mereka manusia sehat, bahkan manusia yang sangat rohaniah.
Bila ucapan elite partai Bukhori Yusuf tidak dimaksudkan untuk menuding masyarakat kelas bawah sebagai biang terorisme, kita masih bisa bersyukur. Kita hanya berharap komentar politisi kita bisa disampaikan dengan lebih cerdas. Kita juga berharap dalam kasus-kasus seperti ini komentar para elite politik, dari partai mana pun, bukan konsumsi politik yang memanfaatkan momentum untuk mengeritik pemerintah. Bila ini yang terjadi maka elite politik kita sungguh tidak bemoral karena mengutamakan kepentingan politik partisanship daripada kepentingan bangsa.
Pada saat tragedi seperti ini, masyarakat kecil di akar rumput lebih membutuhkan sikap yang tulus dan non-partisan para elite politik (dan tentu saja para pemuka agama). Apa yang lebih dibutuhkan adalah kata-kata penghiburan dan penguatan terhadap korban, siapa pun korbannya. Apa yang dibutuhkan adalah komentar yang berisi pengakuan terhadap kerapuhan kita bersama dan tekad untuk memperkuat persatuan dan persaudaraan kita sebagai saudara sebangsa.
Sumber : Status Facebook Albertus Patty
Comment