by

Airmata Meiliana Menciprati Wahyu

Kasus Meiliana digoreng. Massa didatangkan membuat kerusuhan. Ibu rumah tangga ini dicap menista adzan. Rumahnya dibakar. Dia juga harus dipasung kebebasannya hanya karena keluhan kecil.
 
Kini Wahyu, hakim yang mengetuk palu petaka itu, akan merasakan dinginnya jeruji penjara. Masa depannya lebih gelap dibanding Meiliana.
 
Mungkin saja saban malam, di antara dinding dingin penjara, Meliana berbisik lirih pada Tuhan. Mengadukan derita hatinya. Mengadukan ketidakadilan yang menimpanya. Ia berdoa dengan rasa pedih. Ia melawan dengan air mata.
 
Mungkin Meliana sudah memaafkan semua orang yang menyakitinya. Dia memasrahkan hidupnya. Mengikhlaskan bathinnya. Tapi air mata punya kekuatan sendiri. Air mata adalah saksi yang tak terbantahkan atas sebuah tragedi.
 
Kita tahu. Tuhan selalu berdekatan di hati orang yang merintih. Air mata adalah jalan tercepat mengapai kasih sayang Allah. “Carilah Aku di antara orang-orang yang hancur hatinya,” ungkap sebuah hadist Qudsy.
 
Dan berita penangkapan Wahyu membuat saya bergidik. Air mata Meiliana telah menciprati wajah hakim yang memenjarakannya. Doa dan rintihan lirihnya menguncang tahta Suci.
 
Doa orang-orang yang diperdaya keangkuhan. Doa seorang perempuan yang didzalimi keadaan.
 
(Sumber: Facebook Eko Kuntadhi)

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed