by

AHY Tak Layak Jadi Gubernur DKI Jakarta

Tapi lagi-lagi kebanggan itu hanya dirasakan di awal saja. Rasa manis yang dimiliki AHY untuk menarik semut-semut DKI sudah mulai pudar. Semakin kesini mulailah banyak yang mempertanyakan kualitas dan kapasitas AHY sebagai calon Gubernur DKI Jakarta.

Warga DKI mulai sadar bahwa dirinya telah dibutakan oleh kegantengan AHY, dan kini mulailah saatnya untuk melihat calon Gubernur bukan hanya dari fisiknya, melainkan dari kualitas, kapasitas dan visi-misi yang dibawanya. Dan lagi-lagi soal ini AHY hanyalah sebatas anak kemarin pagi, malamnya buat paginya jadi.

Pertanyaan demi pertanyaan mulai muncul. Jika awalnya pertanyaan yang muncul hanyalah, ‘AHY sudah punya istri atau belum sih?’ atau ‘Berapa sih usia AHY, kok ganteng banget?’, kini pertanyaan itu sudah menajam menjadi, ‘Sebarapa besar kemampuan AHY dalam bidang politik?’ ‘Sudah berapa lama dia terjun ke dunia politik?’ ‘Berapa besar kemampuan AHY untuk mengendalikan diri dari bayang-bayang ayahnya?’ dan pertanyaan-pertanyaan yang lain.

Namun lagi-lagi perlu diakui pula, semakin mendekati hari H, pertanyaan itu pun juga semakin meruncing lagi. Warga sudah tidak menanyakan pengalaman, kemampuan atau semisalnya, melainkan pertanyaan itu meruncing keranah komitmen atau personal AHY.

‘Apakah dirinya benar-benar bersih dari bayang-bayang korupsi, sedangkan di era kepemimpinan ayahnya saja banyak menteri yang korupsi?’ ‘Bagaimana AHY mampu memajukan DKI jika dalam memilih pasangan saja masih salah pilih, buktinya belum pemilihan saja Mpok Sylvi sudah terjerat dugaan korupsi?’ atau ‘Jika sang ayah meminta AHY maju menjadi Capres, apakah AHY akan mampu menolaknya, sedangkan AHY tahu menolak permintaan orangtua bernilai dosa dan durhaka?’ Dan pertanyaan-pertanyaan yang kian meruncing lainnya.

Hingga kemudian AHY pun merasa sendiri bahwa elektabilitasnya menurun. Dari kesadaran diri itu, mulailah AHY mencari cara agar pandangan warga DKI kembali seperti semula, dan debat pilkada DKI pun menjadi satu-satunya jalan yang terbaik. Bagaimana cara AHY berdebat, menunjukkan visi misinya di depan jutaan mata, akan menjadi jalan terbaik mengembaikan elektabilitasnya.

Tak tanggung-tanggung, ada yang mengatakan bahwa AHY harus persiapan panjang untuk menampilkan debat yang terbaik. Bahkan ada pula yang tega mengatakan kalau AHY harus dikursus intens terlebih dulu agar penguasaan data di DKI bisa lebih dikuasai.

Tapi apa yang terjadi selanjutnya? Peforma AHY dalam debat pilkada DKI dinilai seperti orang yang menghafal, bukan memahami. Ini sangat terlihat dari pola retorika dan gerak tubuhnya, benar-benar jauh tertinggal dari paslon nomor 3, apalagi kalau dibandingan dengan paslon nomor 2 yang sudah lebih dulu paham persoalan lapangan, jelas AHY tertinggal telak. Alhasil, harapan pun pudar.

Gara-gara kesannya yang menghafal dan masih deg-degan, penilaian masyarakat terhadapnya makin anjok. Yang dulunya kesem-sem sampai memburu hari ulang tahun AHY kapan, kini sudah merasa hambar sendiri oleh karena peforma AHY yang bisa dikatakan buruk.

Direktur Eksekutif Poltracking Indonesia Hanta Yudha mengatakan, ‘”Elektabilitas Agus-Sylvi mengalami penurunan cukup signifikan yaitu 4,50 persen,” kata Hanta di kawasan Menteng, Jakarta (Sumber Kompas). Mengutip dari data yang disampaikan Hanta Yudha, setidaknya ada 3 faktor besar mengapa elektabilitas AHY turun, dan kegantengannya pun tak mampu mengembalikannya.

Efek Kejut yang Hilang

Sekali pagi saya katakan, kedatangan AHY dijajaran calon Gubernur memberikan efek kejut yang luar biasa, terutama pada kaum hawa. Dari efek kejut inilah popularitas AHY naik, begitu pula dengan elektabilitasnya. Yang mula-mula orang tidak kenal siapa AHY, kini hampir seluruh warga DKI tahu kalau AHY adalah cagub paling ganteng dan paling imut.

Namun apa daya makin lama efek kejut itu telah hilang. Yang namanya kejutan hanya akan terasa di awal saja, selanjutnya sudah garing. Ya persis seperti apa yang saya katakan diawal, bahwa warga DKI sudah tidak lagi menanyakan ‘berapa pin bbm-nya?’ ‘Kapan ulang tahunnya?’ atau ‘apa bintangnya?’, melainkan warga DKI sudah mulai kritis dan berani untuk membedah ‘siapa sosok AHY sebetulnya?’ Dan ternyata, ya begitulah adanya.

Terkena Isu Hukum

Lagi-lagi entah siapa yang harus disalahkan. Apakah sang Ayah yang keliru merekomendasikan pasangan buat putra tergantengnya, atau AHY sendiri yang tidak pintar mencari pasangan, kita semua tidak tahu. Namun yang pasti gara-gara kasus yang menimpa Mpok Sylvi elektabilitas AHY turun drastis.

Bahkan ada warga yang mengatakan, ‘Belum jadi Gubernur saja sudah terlibat kasus korupsi, apalagi nanti?’ Ada pula yang mengatakan, ‘Untung kasus Sylvi bisa terlihat sekarang, jadi saya tahu siapa sebetulnya paslon nomor 1’.

Pernyataan-pernyataan semacam itu bermunculan bukan hanya satu dua kali saja, tapi sangat banyak. Tak sedikit pula yang mula-mula mendukung paslon nomor 1, kini berpindah ke paslon nomor 3 karena kebersihannya dari kasus hukum sebagaimana yang menjerat paslon nomor 1 dan 2.

Performa Debat Cagub

Kalau boleh jujur, dari debat pilkada kemarin, Ahok-Djarot jauh lebih santai dan lebih keren ketimbang AHY-Sylvi. Ya mau bagaimana lagi, dari semua gerak-geriknya sudah sangat jelas menunjukkan kalau ia sangat gugup dan gemeteran. Namanya juga pengalaman pertama nyemplung di dunia politik, maka wajar saja jika kesannya terlihat seperti menghafal, bukan memahami.

Dari peforma AHY yang semacam itu, akhirnya banyak kaum hawa yang masih jomblo berpikir 2 kali untuk memilihnya. Buat apa kalau hanya kegantengan semata, memangnya kegantengan cukup untuk mengatasi permasalahan di DKI? Alhasil, beginilah keadannya.

Terakhir manurut saya pribadi, kenapa saya benar-benar tak mau memilih AHY, karena saya paham bahwa AHY adalah anak yang baik, sopan, ganteng taat agama dan sangat patuh pada orangtuanya. Sekali lagi saya berprasangka demikian pada AHY. Loh lalu dimana masalahnya?

Kalau saja dari ketaatannya pada agama dan kepatuhannya pada orangtuanya, dan kemudian sang ayah yang perintahnya harus dipatuhi dan bernilai dosa serta durhaka jika tidak melaksanakannya meminta AHY untuk maju sebagai Capres, lantas apakah AHY akan menolak perintah ayahnya dan menjadi anak durhaka atau tetap setia pada warga DKI Jakarta? Itulah polemik yang saya rasakan saat ini.

Ah sudahlah, cukup sudah rasanya membeberkan pertanyaan-pertanyaan  buat AHY yang kian lama kian meruncing. Untung saja tidak ada yang bertanya ‘kabar bagaimana perjalanan politik keluarganya’, kalau ada yang tanya, pasti menteri-menteri era SBY akan ditanyakan semua serta kabar mertuanya AHY neng Aulia Pohan juga, bisa kalang kabut Mas AHY ini.

Kalau sudah demikian, apakah masih mau memilih AHY-Sylvi? Mikir!**

Sumber : qureta.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed