by

Ahok, Tionghoa, dan Masjid-Masjid Cheng Hoo

Arsitektur masjid Cheng Hoo di Purbalingga, misalnya, diilhami oleh arsitektur masjid Niu Jie (Ox Street) di Bejing, yang dibangun pada 966 masehi. Gaya arsitektur ini tampak pada bagian puncak, atap utama, dan mahkota masjid. Selain itu, ada perpaduan arsitektur Timur Tengah dan budaya lokal Jawa.

Masjid Cheng Hoo Purbalingga tak lepas dari kisah Thio Hwa Kong (Heri Susanto), muallaf yang peduli pada perkembangan agama. Mulai 2014, Heri bersama warga menginisiasi masjid ini, yang diresmikan pada 5 Juli 2011.

Masjid Cheng Hoo di Surabaya menjadi ruang interaksi antar-kelompok lintas etnis dan agama. Masjid ini, oleh pengurusnya, disulap menjadi ruang publik yang mengakomodasi kepentingan ibadah sekaligus interaksi antar-warga. Inilah masjid yang menjadi oase, bukan masjid yang menjadi ruang kontestasi politik.

Pada 9 Desember 2016 lalu, Masjid Cheng Hoo di Surabaya menjadi tempat penyelenggaraan Haul KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur). Hadir pada acara tersebut pengasuh pesantren Tebu Ireng Kiai Shalahuddin Wahid, Inayah Wahid (putri Gus Dur), pengurus Persatuan Islam Tionghoa Indonesia (PITI), pengurus Yayasan Mohammad Cheng Hoo, tamu kehormatan dari Konsulat Jenderal Republik Rakyat Tiongkok (RRT), Konsulat Jenderal Amerika Serikat, dan komunitas-komunitas santri.

Masjid Muhammad Cheng Hoo di Surabaya, Jawa Timur.

Dalam orasinya, Inayah Wahid mengungkap betapa Gus Dur menjadi teladan, dengan nilai-nilai humanisme dan pluralisme yang melekat pada tindakan. Keberpihakan Gus Dur bermuara pada kesejahteraan masyarakat di sekitarnya (mashlahah ‘ammah). “Selama ini kita gagal fokus terhadap ide utama Gus Dur,” kata Inayah. Ia menambahkan, nilai-nilai utama Gus Dur harus menjadi referensi keteladanan kita bersama.

Sembilan nilai-nilai utama Gus Dur—sebagaimana dirumuskan Jaringan Gus Durian—yakni: ketauhidan, kemanusiaan, keadilan, kesetaraan, pembebasan, kesederhanaan, persaudaraan, keksatriaan, dan kearifan lokal.

Haul Gus Dur di Masjid Muhamamad Cheng Hoo itu menjadi refleksi betapa komunitas lintas etnis dan agama bisa saling berinteraksi, tanpa terjebak pada kecurigaan-kecurigaan sektarian. “Ini malam yang luar biasa, karena berkumpul ratusan orang dari berbagai suku dan agama,” ungkap pendiri Yayasan Haji Muhammad Cheng Hoo, Yusuf Bambang Sujanto, sebagaimana dilansir Antara (10/12/2016).

Menjadikan isu etnis sebagai amunisi untuk kampanye negatif akan berdampak negatif bagi integrasi sosial dan kebudayaan negeri ini. Persaudaraan lintas etnis-agama yang sebelumnya menjadi wajah kebhinekaan bisa memudar.

Inilah harga mahal dari kontestasi politik yang menghalalkan segala cara. Ketionghoaan dipersepsi sebagai bukan bagian dari “keislaman dan keindonesiaan”. Persepsi inilah yang harus direvisi dengan menghadirkan segenap kisah-kisah interaksi lintas etnis.

Jika Anda memiliki waktu luang, berkunjunglah ke masjid-masjid Cheng Hoo di seantero negeri ini. Anda akan menemukan betapa ketionghoaan bukanlah ancaman, melainkan ikatan persaudaraan. **

Sumber : geotimes

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed