by

Ahok Membangun Masjid, Anies Mempolitisasi Masjid

Mempolitisasi Masjid

Ironisnya, saat Ahok membangun banyak masjid, justru Anies Baswedan menggunakan masjid sebagai tempat politik. Ia menggunakan masjid sebagai tempat rapat dan strategi pemenanganya. Padahal, tidak ada Undang-undang/peraturan KPU yang membolehkan masjid sebagai tempat kampanye. Namun, bagi Anies, segala cara adalah halal demi memenangkan kontestasi Pilkada DKI, termasuk menjadikan masjid sebagai tempat kampanye.

Beberapa masjid kerap digunakan Anies sebagai tempat kampanye. Misalnya ia berkampanye di Masjid Agung Al-Furqon, Kompleks Dewan Dakwah Islamiyah Indonesia (DDII). Anies bahkan menggunakan momentum Maulid Nabi untuk berkampanye di sebuah Masjid Menteng Dalam, Tebet, Jakarta Selatan. Menjelang Aksi Bela Islam, Anies juga berkampanye di Masjid Al-Azhar, di acara shubuhan pada (15/1/2017).

Seharusnya, kalau memang tidak ada biaya untuk rapat di gedung pertemuan atau hotel, tim Anies bisa menggunakan rumah sebagai rapat. Karena menjadikan masjid sebagai tempat kampanye sama halnya mengotori tempat ibadah yang suci ini. Akhirnya, tempat ibadah tidak lagi menjadi sakral karena politik tidak bisa dicampuradukkan dengan agama.

Dalam sejarah Islam, politisasi masjid semacam ini pernah terjadi pada saat kepemimpinan Muawiyah bin Abu Sufyan. Muawiyah menjadikan masjid sebagai tempat politis, ia memerintahkan pemuka agama di seluruh masjid untuk melaknat Ali bin Abi Thalib di setiap khotbah Jumat. Demi mempertahankan kekuasaan, Muawiyah rela mempolitisasi masjid untuk memperoleh legitimasi umat.

Keadaan seperti itu mirip dengan apa yang terjadi di berbagai masjid di Ibu Kota mutakhir ini, yang mana pada saat sholat jumat, Masjid dijadikan tempat pembunuhan karakter oleh khotib Jumat terhadap salah satu paslon dengan caci maki dan pelaknatan. Bahkan banyak masjid yang melarang mensholatkan pendukung pemimpin non-Muslim. Masjid dipolitisasi untuk kepentingan calon tertentu atas nama agama.

Di Timur Tengah, yang atmosfer politiknya cukup panas, oknum-oknum politisi juga kerap mempolitisasi masjid. Tempat-tempat ibadah tak luput dari upaya politisasi. Masjid menjadi magnet dengan berbagai manuver politik praktis di atas mimbar-mimbar masjid. Mulai dari pembunuhan karakter lawan politik dengan taktik (vonis kafir) sampai propaganda kekerasan yang memecah belah dan meluluhlantahkan keutuhan negara.

Politisasi masjid ini membuat negara-negara di Timur Tengah porak-poranda karena khatib dan penceramah memiliki kebebasan melakukan hujatan melalui mimbar masjid hingga mengaburkan agama yang sakral dan profan. Bahkan penggerakan masa kerap dilakukan di hari Jumat seusai shalat Jumat. Mirip sekali dengan apa yang terjadi di Ibu Kota.

Tentu saja kita tidak ingin negeri yang damai ini terbakar api perpecahan karena perilaku oknum politisi yang menggunakan agama sebagai alat politik. Pengalaman Politik di Timur Tengah semestinya memotivasi bangsi ini untuk semakin waspada, karena fenomena alih fungsi masjid menjadi komoditas atau alat politik praktis sudah lama terjadi di negeri ini, apalagi dalam momentum Pilkada DKI.

Banyak khotib yang meminta umat Islam untuk tidak memilih calon pemimpin non-muslim dalam Pilkada DKI. Seruan ini jelas merupakan politik praktis, bukan politik keumatan. Umat Islam mempunyai tanggungjawab moral menjawab tantangan ini. Rasul bahkan pernah memerintahkan, dalam rangka menjaga “kesucian” masjid, dilarang melakukan perniagaan di masjid, begitu pula mengumumkan barang yang hilang di dalamnya.

 Sudah sepatutnya umat Islam lebih cerdas menggunakan rumah Allah sesuai dengan fungsinya, yaitu untuk beribadah dalam rangka mendekatkan diri kepada Allah, bukan kampanye yang bisa memecah belah. Sikap Anies yang telah menggunakan masjid sebagai mimbar kampanye politik praktis adalah sikap menodai kesucian agama. Ia telah mengotori kesucian agama hanya demi kepentingan politik semata **

Sumber : qureta

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed