by

Ahok Dapat Ribuan Bunga, Fadli Zon Satu Bunga Kesasar

Ahok-Djarot boleh kalah dalam Pilkada DKI Jakarta. Tetapi mereka memenangkan banyak hati yang membanjirinya dengan cinta dan karangan bunga. Lantas Fadli Zon yang suka nyinyir dan menyebut peristiwa itu hanya pencitraan murahan, dapat apa? Rupanya dia dapat juga karangan bunga, hanya saja itu cuma titipan karena Balai Kota Jakarta sudah penuh. Tetapi, Fadli Zon rupanya lebih berharap sembako daripada karangan bunga itu. Katanya, sembako lebih bermanfaat daripada karangan bunga.

Apakah Fadli Zon dan koleganya sedang krisis “moneter” sehingga harus mengencangkan ikat pinggang? Tidak jelas juga. Biasanya orang yang sedang krisis “moneter” itu memang lebih membutuhkan sembako. Tapi, itu mustahil. Masa, wakil ketua DPR yang pernah dengan gagah berani menitipkan uang Rp 2 juta pengganti transport penjemputan anaknya di Bandara John F Kennedy, ke Menlu Retno Marsudi kok kekurangan sembako. Itu jelas tidak mungkin.

Fadli Zon sahabat Presiden Donald Trump, lho. Tapi, sudahlah. Cuitan Fadli Zon di twitter jelas menyatakan dia lebih senang dikirimi sembako saja. Mungkin, dia punya rencana mau buka bazar murah sembako bersama Hari Tanoesoedibjo orang kaya pendiri Partai Perindo, yang fotonya mejeng di Forbes itu. Bazar sembako murah itu jelas merakyat dan disuka banyak warga dan pernah terbukti sukses lho di masa kampanye pilkada  kemarin.

Twitter: @Hary_Tanoe Kembali ke soal karangan bunga titipan untuk Fadli Zon. Satu buah karangan bunga itu dikirim ke Gedung Nusantara III, Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta. Sebuah karangan bunga dengan tulisan

“Dear Bp. Fadli Zon. Mohon titip bunga di sini ya!! Karena Balai Kota sudah penuh”.

Fadli Zon pun membalas dengan suka cita di akun twitternya @fadlizon screenshot-20170501-091916-01-5906adfc8c7e610103a3a3be.jpeg

Saya harus mengakui, Fadli Zon memang OK OCE dalam soal kiriman karangan bunga ini. Hatinya yang lembut itu ternyata lebih memilih sembako daripada karangan bunga. Ribuan paket sembako bisa menggaet hati rakyat. Ini sangat cocok dengan jabatannya sebagai wakil rakyat. Kalau bunga kan tidak bisa dimakan, paling dilihat doang.

Namun, masalahnya hidup ini tidak melulu soal makan dan bazar sembako, lho. Manusia itu juga perlu cinta, kasih sayang, dan keindahan. Nah, inilah yang terungkap dalam banjir karangan bunga ke Balai Kota Jakarta, tempat Ahok-Djarot berkantor melayani rakyat warga ibu kota.

Ada cinta dalam karangan bunga, cinta rakyat kepada pemimpinnya. Begitu banyak cinta di Balai Kota Jakarta di pekan akhir April 2017 ini. Jajaran ribuan karangan bunga bak festival bunga, memenuhi halaman hingga luber sampai ke pinggiran Monas. Hilir mudik masyarakat hadir di sana dengan beragam ekspresi, untuk bisa menatap, bersalaman, atau berfoto dengan idola mereka Gubernur Ahok, walau telah kalah pilkada.  Ini adalah sebuah ekspresi massa yang unik dan langka dalam sejarah republik ini.

Setelah 71 tahun lebih Indonesia merdeka, baru kali ini seorang Ahok yang keturunan Tionghoa dan bukan muslim, mampu menyatukan hati beragam lapisan masyarakat. Bukan karena bagi-bagi duit hasil korupsi, bukan karena bagi-bagi janji. Ahok mampu menyentuh hati mereka dengan kejujuran, kerja keras, sikap adil, mengayomi, taat hukum. Ahok dan Djarot pasangannya mampu menunjukkan bahwa pejabat itu adalah pelayan masyarakat.

Ahok-Djarot garang dalam menjaga APBD dari pencoleng uang rakyat lewat proyek fiktif, mark up, dan kebocoran lain. Ahok yang bersuara keras dan tajam, dan Djarot yang kalem tetapi pekerja keras, telah banyak membawa perubahan di Jakarta. Kalau mau jujur, yayasan pencatat rekor semacam Museum Rekor Indonesia (MURI) seharusnya sudah datang tanpa diundang. Ini jelas rekor baru untuk Indonesia. Tak hanya dari jumlah karangan bunga yang datang, tetapi banyak hal unik di sana termasuk pengirimnya yang datang dari berbagai negara, juga kalimat ucapan selamatnya yang lain daripada yang lain. 

MURI bisa mendokumentasikan, mencatatnya satu per satu, sebagai dokumen yang layak disimpan di museum mereka. Itu kalau MURI bukan yayasan rekor politis, atau yayasan yang mencatat rekor karena pertimbangan politis. Jadi, mengapa MURI belum datang mencatat dan mengumumkan sebagai sebuah rekor di Indonesia?

Mungkin Pak Lek Jaya Suprana yang lebih tahu. Kalau MURI tidak berkenan, momen ada banyak cinta dan karangan bunga di Balai Kota Jakarta ini cukup layak dapat perhatian dunia. Konon sudah ada pula yang mengusulkan agar hal ini bisa tercatat di Guiness Book of Record.  

Cinta memang bisa memunculkan segala yang tak terkira, termasuk cinta kepada pemimpin model Ahok, si Nemo ikan kecil di belantara karang politik Jakarta. Entah memenuhi syarat atau tidak untuk dicatat di Guiness Book of Record, parade ribuan karangan bunga di Balai Kota Jakarta adalah sebuah ekspresi politik yang elegan. Sebuah ekspresi cinta rakyat kepada pemimpin yang mereka nilai cakap, loyal, melayani, jujur, adil, dan mengayomi.

Bahasa bunga yang penuh ekspresi cinta, telah dipilih sebagai ekspresi nilai demokrasi yang menyejukkan. Itulah pilihan para pendukung Ahok-Djarot dalam mengekspresikan perasaannya setelah jagoan mereka kalah di Pilkada DKI Jakarta. Mereka tetap konsisten dalam menolak cara-cara “teror” yang menakutkan, yang mewarnai pilkada. Demokrasi yang penuh kemarahan dan teror bukanlah demokrasi tetapi sebuah pemaksaan kehendak. Mereka melawan itu semua dengan bahasa bunga. 

Kini meski jagoan mereka kalah, mereka tetap menyemangati, memberi penghormatan, mengutarakan dukungan, dengan bahasa bunga. Tanpa harus mengganggu harmoni kehidupan, memacetkan jalan, memaki, dan menghardik, mereka konsisten dengan sikap bahwa kebaikan tetaplah sebuah kebaikan tak peduli kalah atau menang. Apa yang telah dilakukan Ahok-Djarot tetap mereka nilai sebuah keutamaan yang patut diberi penghormatan.

Suasana kebatinan inilah yang mungkin gagal ditangkap dan dimaknai oleh Fadli Zon yang juga wakil ketua DPR itu. Dia menilai mengalirnya ribuan karangan bunga ke Balai Kota Jakarta itu tak lebih dari politik pencitraan murahan.

[1] Dengan ucapannya itu, Fadli seolah kehilangan cinta dan tak bisa lagi merasakan kehadirannya pada ribuan karangan bunga dari beribu orang itu. Dan, saat ada yang menitipkan satu karangan bunga kepadanya karena Balai Kota sudah penuh, Fadli Zon malah teringat bungkusan paket sembako. Tidak nyambung, gitu lho. Masak di saat orang terharu biru oleh perasaan cinta, Fadli Zon hanya ingat penderitaan perut yang harus dipenuhi dengan paket sembako. Mungkinkah ini yang disebut ungkapan “tak perlu cinta yang penting perut kenyang”?  Bisa saja. Fadli Zon mungkin juga telah lupa pada masa mudanya, saat dia berbahasa bunga juga. Saat datang ke makam Karl Mark tokoh marxisme yang dikaguminya itu, dia datang dengan seikat bunga mawar di tangannya.

[2] Adakah cinta Fadli Zon saat itu? Atau, mungkinkah hanya itu bunga yang dia punya sehingga tidak bisa lagi merasakan sentuhan cinta di hamparan karangan bunga  di Balai Kota Jakarta?

Bunga adalah bahasa cinta yang universal. Tentu saja, hanya orang yang punya cinta dan kelembutan hati yang bisa merasakannya. Ia bisa jadi simbol pemujaan, penghormatan, kehilangan, hingga  permohonoan ampunan ke Dzat Yang Kekal untuk orang yang sudah menghadap ke hadlirat-Nya. Ada cinta dan kepasrahan di sana. Tentu, masih banyak makna pada bahasa bunga. Apa yang terjadi di Balai Kota Jakarta ini memang sedikit menyimpang dari kebiasaan yang terjadi pada sebuah momen “pertandingan”.

Umumnya para pemenanglah yang akan dikirimi karangan bunga ucapan selamat. Tetapi, kebiasaan itu tidak berlaku di Pilkada DKI Jakarta. Ahok-Djarotlah yang justru dibanjiri karangan bunga dari para pendukungnya, baik yang dari dalam maupun luar negeri. Tak hanya karangan bunga, secara fisik para pendukung Ahok-Djarot juga terus berdatangan ke Balai Kota untuk bertemu langsung dengan idola mereka. Ini meneguhkan adanya ikatan emosional yang kuat antara Ahok-Djarot dan para pendukungnya.

Sebuah ikatan yang mustahil diraih hanya dengan upaya pencitraan semata. Seharusnya seperti inilah hubungan yang ideal antara seorang pelayan masyarakat dengan pendukungnya. Hubungan yang dibangun atas dasar nilai-nilai kemanusiaan dan emosional yang dilandasi rasa saling penghormatan dan kepercayaan. Namun, hubungan model ini jelas tak bisa dijalin atas dasar kesenangan buta yang tidak didasari penilaian kinerja sang pelayan masyarakat Ada faktor dominan yang melandasi hubungan emosional semacam itu, yaitu sang pelayan mampu menempatkan dirinya sebagai pihak yang jujur, bisa dipercaya, adil, pekerja kuras dan ulet untuk melayani rakyatnya.

Faktor itulah yang mampu menyentuh hati rakyat sehingga mereka terikat secara emosional dengan yang melayaninya. Andai saja para politisi Indonesia mampu membangun pola hubungan yang demikian dengan para pendukung di akar rumput, mungkin negeri ini akan dengan cepat maju dan bisa sejajar dengan negara maju lain.  Sayangnya, mental melayani dengan segenap kejujuran, keadilan, pengayoman, dan sifat yang bisa dipercaya masih menjadi barang langka hingga saat ini.

Akhirnya, biarkan saja rasa cinta itu terus mengalir di Balai Kota Jakarta, menjadi monumen rasa yang abadi dalam kenangan rakyat, yang memilih memperjuangkan kebaikan dengan cinta. Mungkin enam bulan lagi, saat cinta mulai mengering di sana, kenangan akhir April ini bisa sedikit menyejukkan hati.  Sementara itu, yang suka berhura-hura biarkan terus berhura-hura, seperti musyafir di padang tandus yang kehilangan cinta. Mereka mungkin sudah tak bisa menerima bahasa cinta dalam karangan bunga. Sembako dan nasi bungkus mungkin lebih bermanfaat di saat perut lapar, usai lelah letih berteriak hak… hak… hak…. 

Salam
mohammad mustain

 

 

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed