by

Ahok, Bambang dan Serangan Haters

Oleh : Teh Pahit Indonesia

Belakangan kita melihat di medsos, banyak pihak menyerang Ahok karena, entah benar entah tidak, Ahok dianggap memelintir ayat Al-Qur’an. Untuk tuduhan itu kemudian sekelompok orang bertubi-tubi menghardik Ahok. Tidak ada ruang medsos yang kosong dari cerita Ahok. Setelah gagal mengkasuskan ke-cina an Ahok, serangan bergeser ke ‘ketergelinciran’ Ahok perihal Surat Al-Maidah 51 yang berkisah tentang cara memilih pemimpin dalam Islam. Tidak ada tokoh yang paling dipergunjingkan saat ini lebih dari Ahok. Dimana-mana jadi serba Ahok. Dalam kacamata popularitas jelas ini meninggikan tingkat kepopuleran Ahok.

Pertanyaannya adalah apakah derasnya penyebaran kebencian pada Ahok ini memang bermaksud mengganjal Ahok dalam Pilkada DKI, mengingat ditetapkan sebagai calon gubernur oleh KPUD saja belum. Atau ini merupakan gerakan ‘operasi salah paham’ yang memang digulirkan tim Ahok untuk cek ombak sekaligus mengkristalisasi dukungan yang makin menguat akibat kebisingan yang diciptakan para pembenci Ahok, yang kemudian justru mempersolid keberpihakan pada Ahok.

Teringat kita pada ‘akting’ Bambang DH, mantan walikota Surabaya yang menjadi Ketua bidang Pemenangan Pemilu DPP PDIP. Bambang pagi-pagi sudah menabuh genderang perang pada Ahok. Dalam kapasitasnya sebagai Ketua Bapilu PDIP, ia melakukan manuver yang berhasil membentuk sentimen anti Ahok dilingkaran PDIP DKI Jakarta.

Banyak pihak, menganalisa langkah Bambang saat itu menghadang Ahok dimaksudkan untuk menggiring Risma, walikota Surabaya, ikut serta dalam pilkada DKI. Itu berarti menempatkan ‘sohibnya’, Wisnu, sang wakil walikota Surabaya, naik mengganti Risma sebagai walikota. Bambang menyerang, PDIP ikut meradang. Lalu semua tiba-tiba senyap seketika ketika Megawati memutuskan PDIP mendukung Ahok. Seluruh barisan PDIP di DKI patuh berkhidmat mengikuti keputusan sang ketua umum. Orang lalu berpikir, Bambang DH tamat. Gerakan awalnya yang agresif dianggap tindakan offside, karena tidak menunggu dulu sikap Megawati. Bambang diperkirakan akan tenggelam. Tapi, siapa yang mengira langkah Bambang itu adalah dalam rangka menjalankan peran. Peran Bambang yang antagonis dipergunakan sebagai alat yang efektif bagi PDIP memperkuat posisi tawar politiknya terhadap Ahok.

Bambang sukses menjalankan peran itu. Ia dianggap layak dapat bintang. Kelihaiannya memerankan watak pembenci Ahok berhasil memprovokasi para elit partai lain keluar sarang, hingga pagi-pagi sekali Eko Patrio, si pelawak yang gayanya bak politisi handal, menginisiasi terbentuknya koalisi kekeluargaan, yang porak poranda sebelum perang. Kini, muncul lagi para pembenci Ahok yang tiap hari, gak perduli jam berapapun, mengkhotbahi para pengguna medsos dengan ayat-ayat dan dalil-dalil pentingnya tidak memilih Ahok.

Tingkah mereka menempatkan warga muslim di DKI seperti orang yang baru masuk Islam, orang yang gak mengerti apa-apa soal Islam sehingga perlu dicekoki ayat dan dalil tiap hari, hanya untuk sekedar tahu bagaimana memilih gubernur. Tindakan yang meremehkan tingkat kematangan intelektualitas dan pemahaman keberagamaan muslim di DKI.

Semakin masif penyebaran kebencian pada Ahok, semakin bosan orang mendengarnya. Padahal pencoblosan masih empat bulan lagi. Ingatkah pesan bahwa janganlah kita membenci sesuatu berlebihan karena itu justru akan menciptakan rasa cinta yang besar pada akhirnya? Atau jangan-jangan kebencian masif dan berlebihan terhadap Ahok ini memang didisain untuk menghadirkan rasa suka yang besar pada Ahok. Semua bisa terjadi. Politik adalah segala kemungkinan. Pasca Bambang DH, sangat mungkin ada agenda benci Ahok yang justru membesarkan Ahok. Atau jangan-jangan kebencian yang digulirkan justru hanya untuk meningkatkan posisi tawar jangka pendek. Tidak ada yang tahu. Yang ingin tetap benci Ahok biarlah tetap benci, walaupun ada resiko mereka bisa tiba-tiba mendadak cinta. Yang ingin menebar ayat dan dalil biarlah menebar ayat dan dalil dengan resiko suara mereka malah makin parau dan gak nikmat lagi didengar, jangankan diikuti. Dan yang waras sebaiknya santai saja. Menyeruput teh hangat sambil menanti saat datang ke tps 15 Februari 2017, memberikan hak pilih yang diberikan oleh negara untuk memiliki pemimpin di DKI. Tabik.

Menikmati Teh Pahit, Menikmati Indonesia**

Sumber : kompasiana.com

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed