by

Afi Nihaya dan Pengkritiknya

NALAR APOLOGETIK

Masih mending kalau cuma matematik; pondasi berpikir GKS dan para followernya adalah adalah nalar apologetik. Qur’an itu benar karena al-Quran mengatakan dirinya benar. Apa buktinya Qur’an itu benar? Karena menurut Surat al-Baqarah ayat 2, al-Qur’an itu benar, tidak ada keraguan di dalamnya. Gagah sekali GKS mengatakan “Balik lagi ke tantangan yang kakak sebutkan diatas, adakah agama lain yang punya ayat setegas Al-Baqarah ayat 2?”

Jiah. Ya untuk apa meladeni tantangan naif begitu. Kalau mereka tidak yakin kebenaran agamanya 100%, ya sudah mereka tinggalkan lama-lama.

Salahkah cara berfikir apologetik itu? Nggak sih. Cuma ada tempat dan waktunya. Di ruang-ruang khutbah Jumat, tempat ketika audien tidak boleh bertanya mengapa dan tempat khatib hanya diwajibkan berwasiat taqwa (dan turunannya). Di luar ruang itu, beragama ya tidak boleh apologetik. Karena al-Qur’an sendiri tidak pernah apologetik: selalu menantang orang untuk berpikir, berakal, merenung alam, merenung lingkungan.

Afi melampaui nalar apologetik itu dengan sangat baik. Menggunakan analogi-analogi yang tak terbantah dengan cara yang mudah dicerna. Adakah jaminan kita akan menjadi Muslim kalau kita lahir di Swedia? Akankah kita jadi Muslim kalau agama orang tua kita Yahudi? Dalam bahasa sosiologis Afi, itu disebut “warisan”. Dalam bahasa teologis ini disebut “takdir”. Kita tidak pernah bisa memilih untuk lahir dari rahim siapa. Apakah orang tua kita Muslim atau Yahudi, Allah yang menentukan.

Bahkan, dalam bahasa tasawuf, iman itu hanya bisa masuk karena pertolongan Allah semata (bahasa lain dari “takdir”). Kalau kita mendapat iman dari cara begitu, ya jangan sombong-sombong amat. Pertama, berterimakasih kepada Sang Pemberi hadiah iman; Kedua, menyebarkan manfaat hadiah itu kepada orang lain. Bukan malah ngolok-ngolok yang nggak dapat hadiah seolah-olah mereka memilih untuk tidak dapat hadiah.

INGIN DAMAI DENGAN INGIN RIBUT

Hal yang paling saya sedihkan, tulisan Afi itu merangkul semua orang tanpa batas. Ia ingin semua manusia bergandengan tangan tanpa peduli “warisan” mereka. Orang tidak ada yang memilih menjadi “Cina” atau “Jawa”; maka jangan bawa-bawa kecinaan untuk membenci. Ajakan Afi baik dan untuk dunia yang lebih baik.

Loh. Ajakan baik dengan argumen yang tak kalah baiknya, koq ditolak dengan argumen yang jelas tersusun tidak baik. Jujur, saya nggak paham niatnya orang kayak gini ini apa. Para pelapor akun Afi itu keterlaluan sekali . Apa yang dicari kalau bukan ribut.

Kesedihan saya membaca akun-akun facebook orang tua yang kekanak-kanakan sungguh terobati dengan membaca akun “anak” bernama Afi yang dewasa. Afi ingin damai. Jangan diajak ribut Om, Tante. Malu.

Sebagai dosen, saya akan sangat merasa bangga kalau Afi Nihaya kuliah di Jogja. Saya yakin Pak rektor Yudian Wahyudi Asmin juga akan dengan senang hati menerima Afi di sini.

Sampaikan salam hormat saya untuk Afi. Salam kenal dan saya tunggu kuliah di UIN Sunan Kalijaga.

Sumber : Status Facebook Arif Maftuhin

Comment

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

News Feed